Sudah hampir dua bulan pernikahan yang dijalani oleh Winda dan Ardi. Tidak mudah, terlebih teror yang masih mengganggu kedua nya terutama Winda.
Sore ini, Prakostama kakek dadi Ardi mengundang mereka berdua untuk makan malam bersama.
Winda sedang bersiap-siap, begitupun Ardi yang tengah menyelesaikan pekerjaannya agar segera pulang ke rumah.
Tentang peneror itu, Ardi juga belum menemukan titik terang siapa dalangnya. Apa salah satu pesaing dalam bisnisnya karena ingin menjatuhkan dirinya, atau justru orang terdekat.
"Fani, bisa kamu bawakan laporan keuangan untuk bulan ini?" pinta Ardi menggunakan telepon kantor pada sekretarisnya.
Setelah menutup telepon itu. Ia memejamkan matanya beban pikirnya bercabang pada keselamatan Winda akhir-akhir ini.
Bahkan beberapa bodyguard sudah ia kerahkan beberapa orang untuk menjaga Winda kemanapun Winda pergi.
Celah itu selalu ada, Winda bahkan pernah hampir di perkosa oleh orang yang sangat bejat itu.
"Argh!" teriaknya.
"Permisi!" terdengar ketukan pintu dari luar.
"Masuk!" mata Ardi masih terpejam, "Pak Brama?" sontak mata Ardi terbelak. Itu bukan suara Fani sekretarisnya.
"Riska!" gumam Ardi melihat siapa yang datang.
"Duduk" titah Ardi.
Riska pun mendudukan diri di kursi yang sudah di sediakan. Wajahnya menampilkan senyum yang menawan untuk siapa saja yang tergoda. Untuk Ardi? Tentu tidak, ia sudah mepunyai Winda untuk dirinya saja.
"Ada apa?"
"Ini, ada revisi mengenai laporan yang sudah saya kasih pada sekretaris bapak" Riska menunjukan laporan pada Ardi.
Dengan sigap, Ardi menerima laporan itu. Di bacanya dengan saksama, "Baiklah" ujar Ardi.
Riska tambah berseri, ia tidak menganggap dirinya pelajaran atau apapun. Ia hanya masih mencintai Ardi, apakah salah mencintai pria yang beristri?
(Salah dodol!)
Ardi melihat ke arah Riska yang terus menatapnya, err tatapan memuja.
"Ehm!" dehem Ardi keras sembari menaruh laporan itu kembali ke meja.
Riska tersadar akan khayalannya, tersenyum lalu berbicara.
"Pak Brama, apa bapak ada acara makan malam ini? Kalau tidak mungkin kita bisa makan malam?" tanya Riska dengan nada mendayu.
Telinga Ardi bahkan sudah gatal mendengar ucapan Riska. "Saya ada makan malam keluarga!" tolak Ardi tanpa menyinggung Riska.
Tiba-tiba wajah Riska berubah masam, namun ia tetap mempertahankan raut wajah yang biasa.
"Em, baik Pak! Mungkin lain kali" balas Riska.
Ardi diam tak mengindahkan ucapan Riska. Pandangannya kini tajam menatap Riska seolah ingin Riska segera enyah dari ruangannya. (Dari muka bumi juga boleh :) )
"Ada lagi yang perlu di sampaikan?" tanya Ardi fokus pada Riska.
"Ng, Tidak Pak Brama! Kalau begitu saya permisi dulu" Pamit Riska undur diri, meski setengah jengkel setengah bahagia.
Ardi hanya mengangguk, notifikasi ponselnya jika ada telpon berdering.
Bi Inah
"Bi Inah? Ada apa ini?"
"Assalamualaikum?" sapa Ardi setelah menggeser tombol hijau.
"Winda kenapa?"
"Pingsan? Oke, Sudah dibawa ke rumah sakit?Baiklah, Saya akan segera menyusul ke sana kirim alamat rumah sakitnya"
Tut tut tut
Panggilan terputus sepihak oleh Ardi. Yang tadinya ingin memarahi Fani karena menyuruh wanita itu yang menyerahkan laporan, kini Ardi terlihat khawatir.
Dengan tergesa-gesa, Dia membereskan berkas yang penting. Tak lupa kunci laci mejanya.
Selesai, Ardi segera keluar dari ruangan dan menemui Fani.
"Fani! Kalau ada yang mencari saya, bilang jika saya ada keperluan"
"Bapak mau kemana?"
"Ke rumah sakit" tukas Ardi sebelum turun untuk segera ke rumah sakit.
Saat berjalan keluar, karyawan yang berpapasan degannya membungkuk dan memberi hormat, tetapi tak satupun ada yang dibalas Ardi. Bukan sombong, namun dirinya kini tengah terburu waktu.
***
Sebelum pingsan, dan sebelum kembali ke rumah.
"Mbak, Sisil mau mengundurkam diri" ujar Sisil membuat Winda dan Dedi terkejut.
"Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Winda meminta penjelasan yang lebih pada Sisil.
"Aku, nggak bisa lagi tinggal di kota ini" Winda masih bingung dengan perkataan Sisil.
Apa ini ada hubungannya dengan Raka yang tiap kali kesini dan bicara aneh dengan Sisil.
"Maksud kamu? Ada yang jahatin kamu di sini?" Sisil lantas menggeleng.
"Kamu nggak kasian sama aku Sil? Jadi ojek bunga sendirian?" kini Dedi berujar sedih.
Sisil menatap kedua orang yang ada di depannya. Tersenyum namun dipaksakan.
"Nggak kok, pengen aja cari suasana baru di desa. Ibu juga udah sembuh kok" katanya sembari menengadah ke atas.
"Raka?" ujar Winda hati-hati.
Tubuh Sisil seakan menegang mendengar nama itu di sebutkan.
"..." tak ada sahutan.
Winda yakin ini ada sangkut pautnya dengan Raka. "Ya udah, kalau kamu udah yakin. Besok bicara sama Bu Retno".
"Yah, jabgan mendadak dong Sil. Nggak kasian kamu sama aku heh?" tanya Dedi tak terima.
"Dedi! Udah, ini udah jadi keputusan Sisil. Kita hargai "
Sisil kemudian menghambur ke pelukan Winda. Meminta maaf jika ada salah dengannya selama ini.
"Udah jangan nangis. Kamu udaj mbak anggap sebagai adik sendiri"
Setelah aksi berpelukan dan berbincang sedikit, mereka kembali ke pekerjaan masing masing.
Winda tengah menyusun laporan bulanan simple ala Bu Retno. Sedang Sisil sedang membuat bucket bunga karena ada pesanan.
Dedi? Sedang mengantar bunga pesanan.
drtttt drttt
"Sil! Ponsel kamu ada yang nelpon"
"Tolong angkat mbak, nanggung ini" ujarnya sembari memperlihatkan bucket yang sedang ia susun.
"Oke"
Dengan segera Winda mengambil ponsel milik Sisil dan mengangkat telpon.
"Sil! Andini sakit. Ibu udah bawa ke klinik. Tapi harus di rujuk ke rumah sakit. Anak kamu sekarang udah di runah sakit, ibu akan kirimkan alamatnya sama kamu, Ibu tutup dulu ya, Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Winda masih terkejut dengan pernyataan wanita paruh baya yang diketahui ibunya Sisil.
"Mbak, tadi siapa yang telpon aku?" Sisil sudah menyelesaikan ponselnya.
"Sisil, apa yang kamu sembunyikan dari mbak? Kamu udah punya anak?"
Sisil menegang, rahasianya akankah secepat ini terbongkar. Bagaimana kalau Winda menjadi benci padanya.
"Maksud mbak?"
"Tadi ibu kamu nelpon, Andini sakit dan sekarang ada di rumah sakit" pernyataan Winda membuat Sisil membulatkan matanya tak percaya.
"Ibu kamu sudah kirim alamat dan ruangannya" Sisil tersadar dari keterkejutannya.
"Kalau begitu Sisil izin ya mbak, Sisil mau jenguk dulu!" tanpa menunggu persetujuan Winda. Sisip segera mengambil tas dan helmnya.
Kemudian meninggalkan Dedi dan Winda dalam kebingungan. Sisil melajukan motornya dengan tergesa.
"Dedi, kita tutup saja! Lagi pula ini juga sudah sepi" ujar Winda.
Dedi mengangguk dan berjalan keluar membereskan yang ada di luar.
Winda kini juga sibuk menata bunga untuk di bereskan. Selama lima belas menit akhirnya mereka berdua berhasil menutup toko bunga ini.
Dedi sudah pulang dengan motornya, Winda dengan mobil jemputan nya. Kalau tidak Ardi pasti akan memarahinya.
Sampai di rumah, Winda teringat jika malam ini ada makan malam keluarga Prakostama.
Winda memilih menuju dapur, ia teringin memakan puding coklat sekarang.
Lama berkutat dengan dapur di bantu oleh bi Inah. Puding yang dimaksud Winda tinggal menunggu dingin.
"Bi, Winda mau mandi dulu ya. Gerah banget hawanya"
"Baik nyonya" Winda menatap sebal Bi Inah.
"Jangan panggil nyonya! Winda aja nggak papa"
"Tidak, nanti tuan Ardi marah"
"Ck, nanti biar winda yang urus. Pokoknya jangan panggil nyonya"
"Ng, kalau nona?" tawar Bi inah. Winda terlihat menimbang tawaran Bi Inah.
"Oke, itu lebih baik" Winda menepuk bahu Bi Inah setuju.
Setelah itu, ia segera menuju ke kamarnya untuk membersihkan diri.
"Nanti pakai baju yang mana?" tanya Winda pada dirinya sendiri sembari melihat isi lemarinya.
Entah mengapa ia merasa ada yang aneh dalam dirinya. Dan tubuhnya kini kian bertambah.
"Yang biru deh" tatapannya menuju gamis biru.
Selesai dengan ritual mandinya. Winda turun menuju dapur dan membuka isi lemari pendingin untuk mengambil puding.
"Hoeek" begitu membuka kulkas, Winda mual karena baunya.
Sudah tidak tahan dengan baunya, kesadaran Winda menghilang. Pandangannya mulai mengabur, hingga akhirnya ia jatuh ke lantai.
Bi Inah yang baru saja membersihkan halaman depan kembali ke dapur dan menemukan Winda tak sadarkan diri.
"Udin! Udin!" teriak Bi Inah memanggil supir rumah ini.
Udin yang mendengar namanya dipanggil segera menuju ke sumber suara.
*
*
*
"Bi, Winda gimana?" tanya Ardi begitu sampai ke ruangan Winda.
"Bibi juga belum tahu tuan. Dokternya belum keluar. Ini wong non Winda baru saja di periksa" jelas Bi Inah, Ardi mengangguk mengerti.
Tak lama setelahnya, seorang dokter keluar. Ardi berdiri dan menanyakan keadaan Istrinya.
"Keluarga pasien?"
"Saya suaminya, bagaimana keadaan istri saya?"
"Sebaiknya ini kita bicarakan diruangan saya. Mari Pak"
Ardi mengangguk dan mengikuti dokter itu menuju ruangannya.
"Bagaimana dok?"
"Istri bapak hanya kelelahan dan sedikit pikiran. Namun, karena terlalu dipikir hingga tertekan janinnya sedikit lemah" dokter itu memberi jeda.
"Tolong diperhatikan agar istrinya tidak banyak pikiran dan kelelahan".
Ardi mencerna apa yang dokter katakan. Janin?
"Istri saya hamil dok?"
"Iya, dan usianya sekitar tujuh minggu. Saya akan tuliskan vitamin silahkan menebusnya di apotek. Dan mengingat kondisinya, saya sarankan untuk rawat inap satu hari..."
Setelah menerima resep obat, Ardi segera menuju apotek untuk menebus obatnya. Lalu menuju kembali ke ruangan Winda.
Bi Inah sudah pulang, Ardi yang menyuruhnya. Tak lupa Ardi juga memberitahukan pada keluarganya bahwa ia tidak bisa ikut makan malam.
"Winda!" panggil Ardi.
"Mas, kok aku bisa sampai sini? Aku kenapa?"
"Tenang, kamu cuma kecapaian aja"
"Lalu, kapan aku boleh pulang? Sore ini ada makan malam keluarga kamu Mas"
"Tidak apa, mereka paham karena mereka menyambut cucunya dalam sini" ujar Ardi sembari mengelus pelan perut Winda yang sedikit menonjol.
"A... Aku hamil?" Ardi lantas mengangguk.
"Terimakasih ya sayang" kecupan itu mendarat di kening Winda.
Winda terharu, setitik airmatanya luruh. Kemudian ia teringat tentang Sisil.
"Mas, aku mau ketemu Raka"
"Ada apa? Kenapa bertemu Raka?"
"Ada yang perlu aku pastikan. Tolong pertemukan aku sekarang, lagi pula ini rumah sakut tempatnya bekerja bukan?"
Ardi masih penasaran, hanya saja ia akan memenuhi permintaan Winda.
.
.
.
.
AN : :) koment dong. Biar up semangat. Masih mau lanjut? Masalah Raka & Sisil atau Winda Ardi dulu nih?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Farida Wahyuni
ceritamya sprti lompat2 thor
2022-10-22
0
Rekha R Irawan
bgus cerita x thor
2022-03-26
0
Amie chie
mungkin anaknya siail anaknya raka juga
2021-04-02
3