Reina menunggu dikamarnya dengan gelisah, menunggu para penghuni meja makan selesai dengan makan malamnya.
Ia hanya berharap semoga ada sedikit makanan layak untuk ia nikmati.
Sudah dua hari ini dia makan dengan tidak layak sebab Meike dan para pelayan seperti sengaja melakukan itu padanya.
Kemarin dia bahkan hanya bisa mengisi perutnya dengan kuah. Di pesta ayah Edwin dia bahkan belum mencicipi hidangan karena sibuk diajak berkeliling oleh Edwin.
Hari ini, entah dia bisa makan atau tidak. Reina memegang perutnya yang sudah memprotes sejak tadi.
Sayup-sayup Reina mendengar pembicaraan mereka.
Ternyata Elyana masih saja sibuk membujuk ibunya agar diperbolehkan belajar mengendarai motor.
Meike terdengar tidak senang. Wanita itu menjelaskan jika berkendara roda dua sangat berbahaya.
Lagi pula menurut Meike lebih menarik mempelajari diri agar menjadi lebih anggun dari pada mengendarai motor.
Reina tak tahu pada akhirnya Meike luluh atau tidak. Jika luluh kemungkinan Vano yang akan pusing mengajari Elyana kelak.
Setelah tak lagi terdengar pembicaraan mereka, Reina lantas keluar saat para pelayan tengah membersihkan meja.
"Astaga, kasihan sekali kucing liar ini kelaparan, sayangnya tak ada makanan apa pun tersisa," ucap Seca sinis.
"Kalau mau, ini masih ada bekas ikan milik nona Elyana. Lebih baik kamu makan dari pada kelaparan 'kan?"
Kemarin aku hanya makan memakai kuah, hari ini aku diminta makan bekas sisa Elyana, benar-benar mengenaskan sekali hidupku.
"Kenapa diam? Kamu ngga mau?"
"Aku makan nasi saja!"
Seca mengedikkan bahu tak peduli. Dalam hati Reina berjanji setelah bisa mendapatkan gaji pertamanya, dia akan keluar dari rumah ini.
Semoga saja.
.
.
Reina berangkat lebih pagi. Bahkan para penghuni rumahnya belum juga bangun. Tama juga belum datang karena lelaki itu biasanya akan datang pukul enam pagi.
Tama selain bekerja sebagai tukang kebun dia juga akan bekerja sebagai keamanan rumah.
Meski rumahnya juga sudah ada pihak keamanan di depan pintu perumahan, hanya saja sang ayah ingin ada yang berjaga saat siang sampai malam. Barulah tengah malam lelaki itu kembali pulang ke rumahnya.
Hanya Astrid yang memiliki kamar di rumah ini dan sesekali pulang ke rumah mereka sendiri.
Reina benar-benar merindukan pelayan sekaligus pengasuhnya waktu kecil itu.
"Shuut non!" pekik seseorang saat Reina tengah menutup pintu gerbang.
Reina menoleh dan terkejut mendapati Astrid berdiri di seberang rumahnya, tepatnya di rumah tetangganya yang memiliki pagar berupa tanaman yang sangat lebat.
Reina bergegas lari mendekati Astrid dan memeluknya.
"Bibi, kamu baik-baik aja?"
Astrid terkekeh tapi tak urung membalas pelukan majikan mudanya. Ia juga sama merindukan gadis itu. Lebih tepatnya ia juga khawatir dengan keadaan Reina.
Sayangnya dia tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Reina karena sang suami juga ikut melarangnya.
"Non baik-baik aja?" tanya Astrid dengan mata berkaca-kaca.
"Aku baik Bi, syukurlah bibi baik-baik aja. Maaf karena aku bibi terkena masalah," lirihnya.
"Non ngga perlu minta maaf. Ini bibi bawakan non makanan, bibi yakin Non rindu masakan bibi."
Astrid lantas memberikan rantang makanan yang sengaja dia siapkan sejak pagi. Saat masih menerima hukuman dari Hendro, Astrid tetap berusaha memasak untuk Reina meski selalu gagal karena dihalangi oleh suaminya.
Hari ini karena mungkin kelelahan, suaminya tidur sangat nyenyak. Biasanya saat dia berada di dapur Tama sudah terbangun dan mengawasinya agar tak keluar rumah.
Mungkin karena sudah berjaga dua hari dua malam dengan tidur yang kurang, Tama yang sudah paruh baya akhirnya tumbang juga.
Astrid juga bertaruh saat keluar tadi, ia tak tahu apa bisa menemui Reina atau tidak. Akan tetapi semesta seolah mengizinkan mereka untuk bertemu dan dia senang sekali.
"Non sekarang kerja?" Astrid lantas memperhatikan baju di balik cardigan yang dikenakan Reina.
"Iya Bi, aku udah kerja sekarang. Aku harus segera berangkat karena kafe sedang sibuk hari ini."
"Ah iya, pergilah Non, hati-hati di jalan."
Meski bertemu hanya sebentar, setidaknya perasaan Reina dan Astrid sama-sama lega karena mereka baik-baik saja.
.
.
Elyana berdandan dengan sangat cantik. Pakaian putih yang dipadupadankan dengan rok hitam, membuatnya semangat menggapai hari ini. Hari dimana dia akan dianggap dewasa karena telah menduduki bangku kuliah.
Namun tak lama senyumnya meredup. Kenyataan jika dirinya selalu mendapatkan nilai karena kepintaran Reina, dia takut jika mata pelajaran kuliah yang dia geluti tak akan mampu dia kerjakan.
"Aduh mana ngambilnya Manajemen bisnis, kira-kira sulit enggak ya pelajarannya?" monolognya.
Tapi tak berselang lama dia mengedikkan bahu, berharap kelak dia akan mendapatkan mangsa baru yang bisa di bodohi untuk mengerjakan tugas-tugasnya.
Meike memuji sang putri karena berhasil mempelajari teknik merias dengan sempurna. Setidaknya berkas kebiruan di sudut bibir Elyana bisa dia tutupi dengan sempurna.
"kamu cantik sekali Nak, mamih yakin pasti para mahasiswa di kampus kamu akan terpesona sama kamu," ucap Meike bangga.
"Lebih baik kamu fokus belajar saja El. Ngga usah memikirkan pacaran, itu cuma buang-buang waktu dan bikin prestasimu turun. Lihat Reina, sejak pacaran sama Edwin, dia malah jadi bodoh," ujar Hendro.
"Benar itu, lebih baik kamu fokus belajar, jangan mau di goda sama seniormu!" sambar Laksmana.
Elyana yang kesal tetap memperlihatkan wajah penuh kepolosan dengan mengangguk patuh.
"Tentu aku akan belajar dengan giat supaya papih sama kakak-kakak bangga sama aku!"
Meike juga setuju dengan mereka. Dia ingin sang anak bersinar, hingga kelak akan mendapatkan pasangan yang sempurna untuk mendampinginya.
Di kafe, Reina, chef dan juga Elke sudah berkutat menyiapkan hidangan pesanan. Mereka tinggal menunggu Tita yang baru bisa datang pukul tujuh pagi, karena perempuan itu harus mengantar anaknya sekolah terlebih dahulu.
Setelah semuanya siap, kini giliran mereka mengangkut ke mobil untuk dibawa ke kampus tempat Maira serta Riko belajar.
Reina hanya berharap dirinya tak bertemu dengan Edwin. Sungguh dia malas jika harus bertemu dengan kekasihnya yang sejak kemarin masih saja terus membujuknya untuk menikah.
Maira dan Riko sendiri berjanji akan membantu mereka setelah sampai di sana.
Benar saja, Maira dan Riko bergegas membantu mereka dan mengantar mereka ke tempat di mana ruangan penerimaan siswa baru akan menyantap makanan tanpa mereka perlu bertanya-tanya pada para mahasiswa.
"Sudah kalian sebaiknya cepat ke lapangan, para kakak senior kalian sudah memanggil," usir Tita yang tak ingin rekan kerjanya terkena masalah di awal kuliah.
Ternyata banyak stand makanan lain selain mereka. Universitas tempat Maira dan Riko sekolah memang cukup elit jadi tidak heran mereka memberikan banyak fasilitas untuk anak didiknya.
Apa yang Reina takuti menjadi kenyataan, ternyata selain bertemu dengan Edwin, dirinya juga tak menyangka akan melihat keberadaan Elyana dan juga dua sahabatnya.
Reina lupa jika Elyana dan dua sahabatnya kuliah di kampus yang sama dengan Edwin.
"Wah ... Wah siapa ini? Ternyata kakak kerja di kafe ini? Senangnya kakak bisa lihat ospek aku," ucap Elyana yang justru terdengar seperti memprovokasi Reina.
"Kamu benar-benar kerja Rei? Kenapa kamu ngga cerita sama kami?" cecar Grace yang merasa sedih karena setelah pesta kelulusan hari itu, Reina terkesan menjauhinya.
"Benar Rei, kamu bahkan ngga pernah mau ngobrol di group lagi," sambung Vika.
"Kalian punya group chat? Boleh aku gabung?" tanya Elyana penuh harap.
"Nanti kita ngobrol lagi, kalian lekaslah berbaris, para senior sudah memanggil kalian," ucap Edwin.
Ketiga gadis itu menurut lantas meninggalkan Reina seorang diri.
"Aku ke depan dulu ya, mau ambil cup yang ketinggalan. Kayaknya mereka masih baris-berbaris," ucap Tita yang harus meninggalkan Reina seorang diri.
Reina berusaha menenangkan degupan jantungnya yang kembali berdebar kencang. Sebenarnya dia sudah berusaha bersikap biasa saja, tapi kemarahan dan sakit hati akan perbuatan mereka di masa depan dulu, membuat Reina tak bisa bersikap santai.
"Ternyata kamu benar-benar jadi pelayan. Kenapa kamu ngga kerja sama aku aja Ka? Aku akan bayar kamu mahal kalau kamu mau jadi pelayan aku. Syaratnya juga gampang kok, kamu cuma harus ikuti aku ke mana pun!" ucap Elyana yang tiba-tiba kembali lagi.
"Tidak terima kasih—"
Saat Reina hendak berbalik dan mengabaikan gadis itu, Elyana yang kesal berusaha mencegahnya pergi.
Sayangnya Elyana tak memperhatikan jika ada termos tempat minuman cokelat yang masih panas, hingga dia menyenggolnya dan membuat termos itu jatuh.
Refleks, Elyana menjatuhkan diri agar bisa membuat Reina terkena masalah.
Benar saja, para pemilik stand yang masih ada di sana meski tak memperhatikan pertikaian mereka langsung memekik saat melihat Elyana berteriak.
Edwin yang menjadi salah satu senior yang memang mendampingi siswa baru, segera berlari menuju mereka saat mendengar suara gaduh dari sana.
"Elyana, kamu kenapa?"
"Aku ngga papa Ka, aku yakin Ka Reina ngga sengaja—" ucapan Elyana jelas memprovokasi dirinya. Gadis itu mengatakan seolah-olah dirinyalah yang menyakiti gadis itu.
Baru juga akan membuka mulut, Edwin justru menghentikannya dengan menatapnya penuh dengan kecewa.
"Aku ngga sangka kamu berubah jadi kaya gini Rei!"
.
.
.
Lanjut
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments