BUKAN DI TANGAN-ku
“Lo dimana? Gue aja yang kesana, gimana?” ucap seorang gadis berbicara pada ponsel nya. Ia duduk di sebuah restoran kecil, di depannya sudah tersaji minuman Favoritnya.
“Big No! yang ada gue sumpek, lo anteng-anteng aja disana, bentar lagi gue kesana.” terdengar suara seseorang di ponsel.
“Oke. Lo masih lama nggak? Perlu gue pesenin sesuatu?” tawarnya, sambil santai mengaduk jus alpukat nya dengan sedotan.
“Ide yang bagus tuh, kebetulan gue lapar, seperti biasa yaa.” balas temannya di telepon terdengar senang.
“Lo di ma—” gadis itu menggerutu kesal.
Temanya sudah lebih dulu memutus panggilan.
Ia memajukan bibirnya beberapa senti. Menatap layar ponsel seolah protes.
Waktu terus berjalan. Beberapa pegawai resto terlihat lalu-lalang, sibuk mengantarkan pesanan ke meja-meja pelanggan. Namun si gadis masih belum menyentuh makanannya. Jus yang sejak tadi menemani nya pun belum juga ia minum.
Saat ia mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk. Matanya menangkap sosok yang di kenal nya. Ia langsung melambaikan tangan.
Seseorang yang baru masuk itu membalas lambaian tangan Arsa, dengan senyum lebar.
“Sorry yaa, gue telat. Biasa ada drama,” ucap Belleza gadis tinggi 160cm, sambil menarik kursi dan duduk.
Gadis yang sedari tadi menunggu hanya mengangguk pelan, masih fokus mengaduk jus alpukat di tangannya. Dialah Faira Arsanika Abrinadao, yang kerap di sapa Saa oleh teman-teman yaa.
“ Jadi... gimana keputusan Lo?” tanya Belleza memakai pakaian mencolok serba pink.
“Gue bingung, justru itu gue pengen ngobrol sama lo, minta saran,” jawab Arsa lirih.
“Sorry. Hehe....” Belleza buru-buru menutup mulutnya, merasa bersalah karena tidak fokus mendengarkan, malah asik makan.
Arsa hanya tersenyum, tertawa kecil. Tangannya ikut berhenti mengaduk minuman favorit nya.
“makan dulu aja. Lo ga sempet makan lagi, kan.”
“Heem, seperti yang lo tahu.” ucap Belleza menahan lelah.
Keduanya tertawa kecil bersama. Entah apa yang mereka tertawakan, tapi tawa itu terasa ringan–seperti jeda yang menyenangkan diantara kepenatan hari.
Namun beberapa detik kemudian, Belleza seperti baru tersadarkan akan sesuatu.
“Wait–lo tadi bilang bingung? Jangan bilang dari tadi lo cuma ngaduk jus itu tanpa nyentuh sama sekali?” tanyanya dengan nada sarkas.
“ Eh, eh....” Arsa tersentak , lalu menyengir sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Belleza menggelengkan kepala melihat sikap temannya, ia menyenderkan tubuhnya di kursi, mengela nafas sejenak. Namun tiba-tiba, ekspresinya berubah serius. Tatapan nya terarah kewajah Arsa, seolah sedang mencari sesuatu yang tersembunyi di paras cantik itu. Tatapan itu hanya berlangsung singkat sebelum akhirnya Belleza bersuara.
“Sini, minuman itu. ujarnya sambil menarik Juice alpukat milik Arsa. “Juice favorit Lo sekarang jadi milik gue. Ini juice lo, ini minuman lo.” Ia menukar makanan Tom Yam Goong miliknya dengan Ramen yang tadi di pesan Arsa.
“ Tapi... Zaa. Lo tau kan, gue selalu makan ini.” protes Arsa pelan sambil memegang gelas jus milik temanya.
Belleza mengangguk membenarkan ucapan Arsa. “Gue tahu. Tapi udah, sekarang lo nikmati aja makanan lo. Selamat makan.”
Tak ada obrolan lanjutan, hanya terdengar dentingan suara sendok dan garpu yang bersautan diantara mereka berdua, diiringi suara lain pengunjung, yang memanggil pelayan disela keramaian suara meja terasa tenang.
Belleza menyeruput jus alpukat yang kini telah resmi jadi miliknya, lalu membuka percakapan setelah beberapa saat hening.
“Jadi gimana? Langkah apa yang lo mau ambil?” tanyanya, kali ini dengan nada serius namun hangat.
“Gue bingung, Zaa... Gue masih menimbang-nimbang. Soalnya pilihan yang dirasa lebih baik pasti punya resikonya masing-masing” jawab Arsa, diselingi helaan nafas berat.
“Saa... Setahun yang lalu, tepat dihari ini kalau gue nggak salah, lo pernah ngomong ke gue sama Lyin. Lo bilang hidup itu hanya soal sudut pandang. Digeser sedikit saja cara kita pandanganya, bisa bikin sesuatu yang keliatan menyakitkan jadi kelihatan beda. Tapi gue lupa itu kata kata siapa, yang jelas gue inget Lo pernah bilang gitu.”
“Tereliye. Kata bang Tere.” Balas Arsa datar, “ Terus... apa hubungannya sama masalah gue?”
“Gak ada sih, Haha. Gue Cuma pengen kelihatan bijak aja.” canda Belleza sambil tertawa.
Namun tawanya cepet reda, diganti dengan tatapan serius lagi. “Eh beneran, tapi sekarang gue mau tanya. Gimana rasanya makanan itu.”
“Makanannya cukup enak... ga buruk juga,” jawab Arsa pelan lalu menatap mangkuknya. “Gue ngerasa ada yang beda, tapi nggak buruk.”
“Nah, itu dia.” Ucap Belleza sambil mengangguk. “Lo ngerti maksud gue, kan.”
Namun sungguh disayangkan—Arsa belum mengerti maksud dari perkataan Belleza. Ia memang tidak mengatakan secara langsung bahwa ia tak paham, tapi dari gelengan kepala nya saja, Belleza tahu arti di baliknya.
“Aduh, kenapa lo jadi oon gini sih!” keluh Belleza sambil memutar mata.
“Gini lho, bukanya lo dari dulu ada niatan resign dari perusahaan itu?” lanjutannya.
“Untung waktu itu gue dengar nasihat lo. Lihat sekarang, gue terbebas dari segala hal toxic di tempat itu.”
Arsa hanya mengangguk, menyimak dengan seksama perkataan temannya.
“Nah, bukannya lo udah dapat tawaran di perusahaan lain, kan? Jauh lebih baik dari yang sekarang. Nggak ada lagi tuh fisik lo terkuras. Kerja bagai kuda. Tapi ya itu, kalau lo berani ambil kesempatan. Kerjanya juga nggak banyak gerak, tinggal duduk depan komputer. Pesan gue cuma satu: lo cuma perlu lebih teliti. Itu aja, udah jadi nilai plus buat lo.” cerocos Belleza tanpa jeda.
“Tapi kan... lo tau sendiri,” Arsa menghela nafas. “Gue susah banget adaptasi ditempat baru, apalagi cari teman. Gue nggak kaya Lyin ataupun lo yang gampang akrab sama orang.”
Belleza mengendus pelan, lalu membenarkan helaan rambutnya. “Lagian, buat apa juga Lo kenal semua orang? Temenan satu-dua orang dulu aja cukup. Kenal banyak orang nggak menjamin dekat juga.
Ia menatap Arsa lekat-lekat, kali ini dengan nada lebih lembut. “Lo pasti bisa. Lo tuh sebenernya friendly, Arsa. Lo pengertian, etika lo juga bagus. Tapi ya itu... lo terlalu sibuk membangun benteng tersendiri. Dan benteng lo tinggi banget. Gimana orang mau dekat kalau lo sendirinya menutup diri terus?”
Arsa berdehem kecil sebagai tanggapan, tapi ekspresinya berubah. Kedua alis nya berkerut, tanda ia benar-benar sedang memikirkan perkataan temannya.
“Lalu... apa yang harus gue lakuin?” tanyanya pelan, sambil memainkan bibir bawahnya dengan gelisah.
Belleza tersenyum tipis, lalu menunjuk dua piring yang telah kosong di meja secara bergantian
“Lo tanya lagi ke diri lo sendiri: lo mau tetap di perusahaan yang bikin lo lelah dan tertekan, atau lo mau ambil sedikit resiko buat coba tempat baru yang mungkin jauh lebih sehat buat hidup lo.
Arsa menghela nafas. “Sejujurnya... gue mau resign. Gue udah terlanjur cape, Zaa. Tapi masalahnya... gue juga nggak pandai bergaul. Bahkan, lo sendiri yang bilang gue terlalu membangun benteng, kan?”
Senyum kecut mengambang di wajahnya nyaris tidak terlihat.
Belleza mengangkat satu alis,”Nah itu dia, ibaratnya nih ya—lo tuh terlalu menutup diri. Terus di sekeliling lo, lo bangun benteng yang terlalu tinggi banget, tanpa pintu pula. Gimana orang mau masuk? Kalau posisi gue ataupun Lyin sih nggak masalah, kita mah udah biasa manjat, hahaha. Tapi gimana sama orang-orang baru? Orang yang bakal lo temui di tempat kerja lo nanti?”
“Itu juga masalahnya,” ucap Arsa pelan. “Gue terlalu takut keluar dari zona nyaman. Gue lebih nyaman ngelakuin hal-hal yang sama, berulang kali. Karena itu yang paling aman buat gue.”
Belleza kini terdengar lebih serius. “So.... bisa dibilang lo lebih milih jatuh di lubang yang sama berkali-kali? Kalau gitu caranya, Arsa, lo nggak akan pernah maju. Lo nggak akan belajar apa-apa.
Arsa menunduk. suaranya nyaris tidak terdengar, tapi cukup jelas untuk Belleza. “Ya... kalau itu menurut gue lebih baik, kenapa nggak? Gue terima.
“Saa... dengerin baik-baik, ya.” Suara Belleza melembut tapi penuh penekanan, “Keluar dari zona nyaman itu perlu. Lo nggak bisa terus diam begini. Kalau masalah nya cuma takut memulai, ingat momen ini.”
“momen ini?” tanya Arsa bingung.
“Iya. Momen pertama kalinya lo makan dan minum sesuatu yang baru buat lo. Dan lo bilang rasanya nggak seburuk itu?”
Arsa tersenyum kecil. “Nggak janji, tapi gue coba. Haha.”
“Nah, gitu dong!” sahut Belleza semangat. “Lo harus coba, Arsa. Ambil sedikit resiko. Keluar, dan lebih banyak ambil tindakan. BTW—lain kali kalau kita nongkrong, gue nggak mau lihat ramen dan jus alpukat ini lagi. Titik. Banyak menu lain yang bisa lo coba. Anggap saja sebagai latihan keluar dari zona nyaman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
**plyrc.ai(Junho wifey):v**@❤️
ih serius sebagus ini gak ada yang like?
semangat Thor!
2025-05-30
0