"Pagi Mah..." Abi menuruni tangga masih dengan wajah bantalnya. Rambut berantakan, kaos kedodoran yang menutupi tubuh mungilnya sebatas paha. Abi mendekati Mamanya seraya mencium pipinya. Hal yang biasa ia lakukan setiap menyapa penghuni rumahnya.
"Pagi sayang, cuci muka sana sama sikat gigi. Anak gadis kok bangunnya jam segini" omelan pagi khas orang tua.
"Hmmm" guman Abi seraya mengedarkan pandangannya.
"Pagi-pagi sudah ada tamu. Siapa Mah?" Abi menatap kakaknya yang sedang berbincang sambil ketawa ketiwi tak jelas dengan seorang pria yang duduknya membelakangi Abi sehingga ia tidak bisa melihat wajahnya.
"Iya. Calon menantu Mama"
"Kak Arya" pekik Abi riang seraya berlari menuju ruang tamu tanpa mendengarkan panggilan Mamanya yang berusaha menghentikannya untuk tidak membuat dirinya malu sendiri.
"Kak Arya....Abi kangen...Oleh-oleh buat Abi mana?" Cecar Abi seraya memeluk Arya dari belakang dan melayangkan ciuman bertubi-tubi di wajah yang dianggapnya Arya. Pria yang dipeluk dan dicium Abi itu membatu untuk sepersekian detik. Wajahnya memanas, senang dan marah dalam waktu bersamaan. Tapi tidak bisa dipungkiri sekalipun ia tahu ciuman itu bukan untuknya tetap saja jantungnya menggila mendapat ciuman bertubi-tubi dari Abi.
Mimpi apa aku semalam sehingga pagi ini mendapat hujan ciuman dari Abi.
"Abi..." ringis kakaknya Luna yang melihat kelakuan adik kesayangannya itu.
"Jadi Arya biasa mendapat perlakuan seperti ini dari Abi, Lun?"
Tanpa melepaskan tangannya yang melingkar di leher Arya, Abi mengernyit mendengar suara yang terdengar sangat kesal itu.
Bukan suara kak Arya tapi suaranya tidak asing juga, batin Abi.
Dengan tangan yang masih melingkar indah, Abi memajukan tubuhnya untuk melihat si empunya suara, bertepatan dengan pria itu menoleh ke arah Abi sehingga jarak antara wajahnya dan wajah pria itu sangat dekat. Mata mereka beradu dalam diam.
"Good morning, Bie"
Bie, Dosen sombong, batin Abi
Abi mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali untuk meyakinkan bahwa apa yang dilihat dan didengarnya salah. Abi terpaku, antara percaya dan tidak percaya.
"Sambutanmu sangat luar biasa, Bie" Nicho menunjuk dengan isyarat matanya ke arah tangan Abi yang masih melingkar di lehernya.
"Benaran dosen sombong?" tanya Abi polos yang membuat Nicho terkekeh bahwa Abi masih belum melepaskan pelukannya.
"Aaaakkhhhh...." Abi terjungkal kebelakang begitu sadar bahwa Nicho nyata ada di hadapannya.
"Kenapa Bapak, ada di rumah saya?" teriak Abi dalam posisi terduduk di lantai. Nicho hanya tersenyum melihat tingkah Abi.
"Ada apa ini ribut-ribut?" Papa dan Mama Abi sudah berdiri dihadapan mereka. Papa dan Mama mengernyit melihat Abi yang terduduk di lantai.
"Abi, kenapa duduk di lantai. Dan kenapa Abi teriak seperti itu kepada Nak Nicho?" tanya Mama seraya membantu Abi berdiri.
"Mama kenal sama Dosen Abi?" Abi menatap Mamanya bingung lalu menatap Nicho masih untuk memastikan bahwa pria itu memang Nicho sang dosen sombong.
Mama, Papa Abi kompak mengangguk.
"Jadi calon menantu yang Mama maksud tadi?" Abi menunjuk Nicho dengan jari telunjuknya. Kembali Mama Abi mengangguk.
"Kakak, sejak kapan kakak pacaran sama dia?" sungut Abi menatap kesal ke arah Luna dan Nicho secara bergantian.
"Siapa yang pacaran dengan siapa?" tanya Luna bingung
"Sudah..sudah..kita sarapan dulu. Abi jangan malu-maluin Mama deh, sana cuci muka dan sikat gigi. Malu sama Nak Nicho" Mama dan Papa Abi berbalik menuju meja makan.
"Idiihhhh...kenapa juga harus malu" Abi mendelik kesal ke arah Nicho yang masih senyum-senyum melihat tingkahnya.
"Kenapa Bapak senyam senyum seperti itu" hardik Abi seraya melotot lalu menatap kakaknya Luna,
"Bukannya kakak suka sama kak Arya, kenapa bisa pacaran sama dia sih?" Abi menghentakkan kakinya lalu pergi meninggalkan Nicho dan Luna yang kompak tertawa sepeninggalan Abi.
"Sepertinya Abi salah faham, Nic" tutur Luna.
"Ya, kenapa adikmu bisa menggemeskan seperti itu, Lun"
"Wah..aku masih tidak percaya kau jatuh cinta sama Abi sampai rela menunggu Abi dewasa" Luna menepuk bahu Nicho.
"Adikmu manis begitu siapa yang tidak jatuh cinta. Dan yang terpenting dia penyelamat hidupku, Lun. Mungkin tanpa Abi aku akan hancur dan membenci yang namanya wanita hanya karena ulah sahabatmu itu."
"Maafkan aku" gumam Luna.
"Bukan salahmu" jawab Nicho.
"Aku mendengar kau sudah membalas perasaan sepupu bodohku itu, benarkah begitu?"
"Hmm" Luna bergumam dengan wajah merona.
"Ckkckk.." Nicho berdecak kesal.
"Padahal aku berharap kau menjalin hubungan dengan Bima, bukan dengan pria sialan itu"
"Hei, kau melukaiku dengan mengakatakan kekasihku pria sialan" Luna memsang wajah cemberut berpura-pura marah.
"Kau terlu berlebihan" ucap Nicho malas.
"Kau tahu,.."
"Tidak" jawab Luna menyela ucapan Nicho yang belum selesai.
"Luna, aku belum selesai berbicara. Dengarkan aku sampai selesai baru menjawab" kesal Nicho. Luna hanya mengidikkan bahu acuh, ia memang sengaja tadi untuk menjahili Nicho.
"Aku mengira selama ini Bima menyukaimu, apa dia baik-baik saja, mengingat kau dan Arya sudah resmi menjalin hubungan?"
Luna menghela nafas sesaat, menatap Nicho dengan tatapan yang menurut Nicho sangat aneh.
"Bima memang menyukai seseorang, tapi wanita itu bukan aku."
Nicho mengernyit
"Lalu siapa wanita itu? Apa kita mengenlnya?" tanya Nicho penasaran.
"Mungkin" jawaban Luna membuat Nicho semakin mengernyit.
"Ayo, kita sarapan. Mama sama Papa sudah menunggu" ajak Luna kemudian. Mau tidak mau Nicho pun akhirnya beranjak dari kursinya mengikuti Luna.
Nicho mengernyit dan mengedarkan pandangannya mencari sosok Abi. Hanya ada Mama dan Papa Abi yang duduk di meja. Abi kembali ke kamarnya karena merasa malu.
"Abi mana, Pa?" tanya Nicho tanpa rasa canggung memanggil Johan Papa Abi dengan sebutan Papa.
"Cih...Papa..Papa..kepalamu botak. Panggil Om sebelum Abi menerimamu" ketus Papa Abi yang membuat Mama Abi dan Luna geleng-geleng kepala.
"Yang pentingkan Papa Mertua sama Mama mertua sudah setuju aku melamar Abi. Tinggal menunggu waktu saja aku akan menikahi Abi dan hidup bahagia bersamanya, serta memeberikan cucu sebanyak yang kalian inginkan" jawab Nicho enteng tidak mempedulikan wajah masam Papa Abi.
"Itu terpaksa! Kalau bukan Daddymu sahabat Om, sudah Om tolak lamaranmu"
"Dan apa yang kau katakan tadi? Cu-cu?" eja papa Abi.
"Mimpimu jangan terlalu tinggi anak muda, Abi belum tentu menerimamu."
"Aku salah apa Papa mertua? Kurangnya aku apa coba? Tampan dan mapan? sudah pasti. Setia? jangan ditanya. Enam tahun aku tetap setia menunggu Abi."
"Kau terlalu tua buat Abi" jawab Papa Abi telak yang membuat Nicho bungkam dan Luna tertawa puas.
"Mama mertua..apa aku terlihat tua?" Nicho menatap Mama Abi dengan wajah memelas.
"Kau terlihat tampan" Mama Abi menepuk bahu Nicho. Papa Abi berdecak kesal yang membuat Nicho tersenyum puas.
"Mama mertua, sepertinya Papa mertua tidak bisa menikmati sarapannya jika ada aku. Aku sarapan dengan Abi di atas saja" Nicho berdiri dari kursinya dan menyusun sarapan diatas nampan untuk dibawa ke kamar Abi
"Tetap di tempatmu anak muda" suara Papa Abi menghentikan langkah Nicho.
"Astaga Papa mertua, aku hanya membawakan sarapan untuk putri kesayanganmu itu bukan untuk memproses cucu untukmu."
"Perhatikan ucapanmu, anak muda sebelum aku mengusirmu dari sini" ancam papa Abi.
"Aku tidak akan berani berbuat macam-macam, kecuali putrimu yang meminta, Papa mertua" Nicho mengerlingkan matanya lalu melanjutkan langkahnya tanpa mempedulikan wajah kesal Papa Abi.
"Kenapa anak itu percaya diri sekali" sungut Papa Abi.
"Aku penasaran akan seperti apa dia jika Abi menolaknya?"
"Papa nyumpahin Nicho?" tanya Luna menatap lekat wajah Papanya.
"Bukan, Papa hanya penasaran. Papa tidak menyangka anak itu sungguh menunggu Abi. Sepertinya baru kemarin ia datang memaksa Papa memberikan Abi padanya" Papa tersenyum simpul mengingat kejadian enam tahun lalu.
T.B.C
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Isabela Devi
semangat trus
2024-07-04
0
El'
excited
2022-03-20
0
🌼 Pisces Boy's 🦋
greget dengan Nicho
2021-09-14
0