Hari ini aku sangat sibuk, aku turun tangan sendiri. Spesial untuk hari ini, aku ikut membuat kue. Sudah sangat lama aku tidak lagi melakukannya, aku hampir lupa cara mengaduk adonannya.
Hendri pria ganteng itu memesan kue tart untuk salah satu karyawannya yang ulang tahun. Berarti dia pria yang care dong pikirku dalam hati. Sementara Kia dan lainnya mereka sibuk membuat pesanan untuk ibu-ibu arisan.
Sembari menunggu kuenya matang aku bersiap-siap, aku segera mandi dan berpakaian rapi. Aku pakai baju kemeja putih dengan jeans pas, aku juga mengikat rambutku ke atas, aku juga tidak lupa menggunakan sedikit makeup tipis di wajahku.
Seperti biasanya, setiap ada pesanan Kia yang mengantarkannya. Namun hari ini, karena dua tempat, jadi aku juga harus ikut. Setelah semua pesanan selesai, aku dan Kia segera berangkat.
“Kamu berangkat saja Kia, biar aku sendiri saja yang masuk ke dalam,” pintaku pada Askia.
Kia tersenyum dan bertanya, “Benaran Bu?” tanya Kia merasa tidak enak. Aku mengangguk sambil melambaikan tangan kepadanya.
Aku segera masuk dengan kue pesanan Hendri di tanganku. Aku menanyakan Ruangannya di mana, kepada salah satu karyawan di sana . Lalu salah seorang karyawan yang ramah itu mengantar aku ke ruang kerja Hendri. Ternyata ia pemilik perusahaan itu, ia direktur utamanya.
“Permisi.” Aku mengetuk pintu beberapa kali.
Lalu keluar seorang wanita yang berpenampilan stylish dengan wajah yang penuh riasan. Aku ingin sekali tersenyum, namun aku takut membuatnya tersinggung.
“Cari siapa ya Mbak?” tanya wanita itu. Cara ia bertanya berbeda dengan karyawan yang tadi mengantarku kemari, wanita ini kurang sopan.
“Aku mau mengantar kue pesanan ini,” aku mengangkat kue yang ada di tanganku.
Wanita itu tersenyum, ia meraih kue yang ada di tanganku.
“Perhatian banget sih Hendri sama aku,” ujarnya genit, aku geli melihatnya. Aku segera berpamitan pada wanita genit itu. Jika berlama-lama di sana aku bisa mual dibuatnya. Tapi, aku sedikit kesal tidak bertemu dengan pria tampanku.
Saat berjalan menuju lift mataku terus mencari pria itu, barang kali ia ada di sekitar ruangan yang berbeda.
“Tadi aku lupa lagi tanyai ke mana pacarnya,” aku bergumam sendiri.
“Siapa!” tanya seorang pria mengagetkanku.
Aku terkejut melihat ternyata Hendri berada di belakangku.
“Mana kuenya?” tanya Hendri menjulurkan tangannya. Seperti biasa, setiap kali bertemu dengannya, aku salah tingkah.
“Sudah aku berikan pada pacar Mas tadi, maaf ya jadinya enggak sureprise lagi,” ucapku merasa bersalah.
“Pacar, pacar siapa?” tanya Hendri mengernyitkan dahinya.
“Ya pacar kamulah, masak pacar saya!” jawabku ketus, seraya tersenyum aku berkata lagi, “Itu loh, mbak-mbak yang make-upnya tebal itu.”
Hendri pun tersenyum. Sumpah, jika kalian ikut melihat apa yang aku lihat ketika itu. Kalian pun akan terpana melihat wajah tampannya, apalagi saat ia tersenyum begitu. Oh, Tuhan.
“Dia sahabat sekaligus sekretaris saya, bukan pacar,” ujarnya masih tersenyum.
“Lagian kenapa enggak hubungi saya dulu. Kan jadinya, teman-teman yang sudah capek menunggu, enggak surprise lagi sekarang,” sambung Hendri lagi. Ia menggaruk kepalanya.
"Maaf nomor yang kamu hubungi kemarin enggak aku save. Gimana dong, maaf ya ...” balasku sambil memegang tasku.
“Enggak apa-apa. Kemari kan ponselmu.” pinta Hendri menjulurkan tangannya padaku.
Hatiku dag-dig-dug saat memberikan ponselku padanya, meski hatiku menjerit bahagia kala itu. Ia menyimpan nomornya sendiri di ponselku. Ia kembalikan ponselku setelah ia simpan nomornya.
Kuenya telah aku antar kan, urusanku telah usai, akhirnya aku berpamitan pada Hendri. “Ya sudah, kalo begitu aku permisi dulu ya.”
“Aku antar ya?” pinta Hendri menahan langkahku.
“Tapi temanmu lagi ulang tahun, kan?” tanyaku merasa merepotkannya.
“Itu gampang,” ujarnya melangkah masuk lift yang sudah terbuka.
Aku mengikutinya. Sampai di bawah ia menyuruhku menunggu di depan, karena mobilnya terparkir sedikit jauh.
“Mau pulang atau kita makan dulu, aku lapar, nih?”
Aku bingung, ia sedang bertanya padaku, atau sedang mengajakku makan bareng. Menurutku ia cuma menggunakan cara yang halus. Kesannya, seperti tidak mengajak lebih ke bertanya.
“Gimana mau Mas saja,” jawabku.
Hendri berhenti di sebuah tempat makan pinggir jalan, aku sedikit tidak percaya rasanya. Apa mungkin pria tampan ini makan di pinggir jalan seperti ini.
“Kita makan di sini?” tanyaku padanya.
Hendri mengangguk. “Di sini makanannya enak banget, kamu harus coba.”
Aku tahu, Hendri mengerti maksud pertanyaan dariku. Namun, ia sengaja menjawab pertanyaanku dengan caranya. Menarik, aku menyukai pria ini.
“Berdua nih ya, biasanya sendirian saja,” ujar ibu pedagang sate kambing itu. Aroma kuah sotonya yang membuat perutku langsung terasa lapar.
Aku langsung menyantap makanan yang ada di hadapanku. Rasanya benar-benar lezat.
“Enak, kan?” tanya Hendri melihat aku makan begitu lahap. Aku hanya mengangguk saja.
Selesai makan, Hendri membayar dan kami melanjutkan kembali perjalanan menuju arah rumahku.
“Enak banget makanan tadi,” ucapku padanya.
“Memang enak, itu makanan favoritku. Tempatnya bersih dan pengunjungnya rame banget,” ujar Hendri. Memang benar, sejak tadi kami makan saja terlihat ibu itu kewalahan menghadapi para pembeli.
Saat tiba di rumahku, aku lihat jam menunjukkan pukul 05:00 sore hari. Aku menawarinya masuk, namun ia menolak karena ia harus menghadiri acara ulang tahun sahabatnya.
Setelah aku turun, saat ia ingin pergi. Hendri membuka kaca mobilnya. “Kapan-kapan aku ajak lagi makan di tempat Bu inem ya,” ujarnya padaku, aku tersenyum bahagia, aku lambaikan tangan padanya yang mulai menghilang dari pandanganku.
Aku masuk ke dalam dengan senyum yang tiada habisnya menghiasi bibirku. Hingga aku lupa tempat dan suasana.
“Ehem.” Bu Aini pura-pura batuk.
“Apa sih Bu?” aku menutup wajahku dengan tas. Bu Aini menghampiriku, dan duduk di sampingku.
“Saya senang, akhirnya kamu mau membuka hati, dan melupakan masa lalumu.” Bu Aini mengelus-elus bahuku.
Saking bahagianya aku, sampai-sampai aku hampir melupakan anak semata wayangku. “Angga mana Bu?” tanyaku pada Bu Aini.
“Sudah pergi, ada latihan basket katanya,” jawab Bu Aini membuat hatiku lega.
Aku merogoh ponsel yang ada di tasku. Aku lihat Angga menelepon tiga kali dengan 2 pesan.
[Mi, kebiasaan deh kalo di telepon enggak pernah mami angkat]
[Aku pulang habis magrib ya Mi]
Aku tersenyum, anakku sudah dewasa, aku tidak perlu khawatir lagi. Angga pasti tahu mana yang baik dan buruk untuk ia lakukan dan ia hindarkan. Aku merasa berhasil mendidiknya selama ini, meski tanpa kehadiran seorang ayah disisinya selama ini.
Aku sudah tidak sabar menunggu hari jadinya, ia pasti bahagia saat nanti aku ceritakan siapa ayahnya. Selama ini ia selalu penasaran di mana sebenarnya ayahnya berada.
Jangan lupa like ya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
ARSY ALFAZZA
🐾🐾🐾🌸
2020-10-29
2
Miss R⃟ ed qizz 💋
keren
2020-03-27
1