"Diva Dinandra. Bagaimana kabar Anda??"
"Oh, Anda rupanya, seperti biasa. Apa Anda melihat putriku? Aleyna??"
"Ah... Gadis berambut abu-abu itu?? Ya, saya melihatnya. Dia sedang bermain dengan teman-temannya di sungai."
"Terimakasih."
Sekitar 16 tahun yang lalu, Diva membawa Aleyna dan merawatnya di sebuah desa bernama Anagata. Menurut Diva, desa tersebut dibilang cukup aman karena berdekatan dengan kerajaan Asmaraloka. Ia merawatnya sampai Aleyna tumbuh sehat dan menjadi gadis yang cantik.
Di dalam lubuk hati Diva, sebenarnya ia merasa bersalah dan menyesal karena tidak dapat menyelamatkan ibunda Aleyna. Padahal, seharusnya ia dapat menyelamatkan keduanya. Untuk mengobati rasa penyesalannya dan memperbaiki kesalahannya, Diva bertekad merawat dan menjaga Aleyna dengan baik.
Saat ini, Diva merasa bahwa dirinya aman dari kejaran musuh. Di desa Anagata, Diva dapat leluasa melatih Aleyna bela diri supaya dapat menjaga dirinya sendiri dari berbagai musuh yang menghadang.
Banyak penduduk desa yang terheran-heran dengan warna rambut Aleyna yang berwarna abu-abu, sangat berbeda dengan penduduk desa Anagata yang berwarna hitam atau coklat, sehingga Aleyna dijuluki sebagai Gadis Kelabu. Beberapa dari mereka meyakini bahwa Aleyna mempunyai genetik yang langka dan patut dilestarikan. Sebagian yang lain menduga bahwa Aleyna adalah seorang penyihir.
"Saya permisi dulu. Sepertinya, Aleyna sudah terlalu lama bermain," ucap Diva pada salah satu penduduk desa yang menegurnya.
"Baiklah, Nyonya Diva. Perlu Anda ketahui, untuk gadis seusia Aleyna pastinya masih ingin bermain dengan teman sebayanya. Yah, paling tidak sebelum masa-masa indah itu hilang karena dimakan usia," tanggap penduduk itu.
"Anda menyindir saya, ya??" Tanya Diva menelisik.
"Eh?? Tidak, Nyonya Diva. Ya ampun, maaf saya salah kata," jawabnya sambil menepuk-nepuk mulutnya. Diva hanya tersenyum saja lalu pergi ke sungai untuk memeriksa keadaan Aleyna.
Pastinya, dia bermain adu pedang kayu lagi dengan anak-anak itu, seperti biasa. Namanya juga desa ini diisi oleh penduduk yang sebagian besarnya adalah pendekar. Tentu saja, permainan mereka pasti itu.
-----
"Kau hebat, Aleyna!"
"Putri Pendekar Buta memang hebat!"
"Kenapa kalian menyebut ibuku seperti itu??"
"Karena ibumu selalu menutup matanya semasa hidupnya."
"Hmm..."
Di sebuah sungai yang mengalir dengan tenang, ada beberapa anak bermain-main di sekitar sungai tersebut. Ada yang memancing, bercanda dengan teman-temannya dan ada yang berlatih bela diri atau pedang.
Salah satunya adalah Aleyna yang sedang berlatih menggunakan pedang ditemani oleh ketiga temannya. Mereka bernama Geya, Indra dan Lastri. Aleyna dapat dibilang menonjol kemampuannya dibandingkan mereka bertiga. Hal ini tidak terlepas dari siapa yang mengajarinya, yaitu Diva Dinandra.
Diva dikenal sebagai salah satu pendekar wanita terbaik di desa tersebut. Sebenarnya, ada satu pendekar wanita lagi selain Diva. Namun karena suatu alasan, wanita tersebut menghilang tanpa jejak. Konon katanya, penyebab Diva menutup kedua matanya berhubungan dengan kejadian tersebut. Namun, hal itu hanyalah sebuah praduga saja. Tidak ada yang tahu pasti.
"Aleyna!! Aleyna!!"
"Sepertinya, ibumu mencarimu, Aleyna."
"Iya, Geya."
Terdengar Diva berseru memanggil Aleyna. Untuk mempermudahnya, Aleyna menghampiri Diva.
"Aku di sini, Bu," ucap Aleyna saat sudah dekat posisinya dengan Diva.
"Kamu sudah selesai??" Tanya Diva. Walau kedua matanya tidak dapat melihat, namun Diva dapat mengetahui dimana posisi Aleyna berada.
"Ya, Bu. Tadi hanya bermain-main saja."
"Dimana pedangmu??" Tangan Diva meraba-raba punggung Aleyna. Tidak dirasakannya ada wujud pedang di sana. Aleyna menepuk dahinya lalu kembali kepada teman-temannya untuk mengambil pedang miliknya.
"Kau meninggalkan pedangmu di sini," kata Indra sambil memakan buah apel dan menyerahkan pedang Aleyna.
"Terimakasih, Indra," ucap Aleyna.
"Ya, sama-sama."
Aleyna dan Diva memutuskan untuk pulang.
Selama perjalanan pulang, Aleyna menanyakan perihal warna rambutnya yang berbeda dengan penduduk desa, bahkan dengan ibunya sendiri. Diva hanya menjawab bahwa warna rambut seseorang tidak dapat dilihat hanya dari seorang ibu saja. Bisa saja dari anggota keluarga yang lain.
Diva juga menjelaskan bahwa berbeda dari kebanyakan orang bukanlah sesuatu yang buruk. Bisa saja membawa keberkahan bagi dirinya sendiri dan orang sekitarnya. Diva selalu menanamkan rasa percaya diri pada Aleyna.
"Bu, bolehkah aku bertanya??" Diva berhenti sejenak untuk mendengarkan pertanyaan Aleyna dengan seksama.
"Apa itu, Nak???"
"Kenapa ibu disebut sebagai Pendekar Buta?? Padahal, aku yakin ibu tidak buta."
"Hmm, ibu memang tidak bisa melihat, Nak."
"Tetapi, bagaimana caranya ibu merawatku dengan mata tertutup seperti itu??"
"Insting seorang ibu itu kuat. Walaupun kondisinya tidak sempurna, jika sudah berurusan dengan anak, kondisi yang tidak sempurna tadi menjadi sempurna. Hal inilah yang ibu rasakan."
Tiba-tiba, Diva merasakan dirinya dipeluk oleh Aleyna dengan erat. Salah satu tangannya mencari-cari kepala Aleyna, ingin mengelus-elus kepalanya.
"Ibu benar-benar hebat. Terimakasih Ibu sudah merawatku dengan baik sampai sebesar ini," kata Aleyna masih memeluk Diva. Diva tersenyum haru mendengarnya.
"Iya, Nak. Ayo kita pulang. Besok bisa temani ibu berbelanja di pasar??" Tanya Diva.
"Ya, tentu saja, Bu," ucap Aleyna dengan riang.
----
"Ibu... Ibu... Bangun. Sudah pagi..."
Tidak ada suara. Mungkin, ibu tidur terlalu pulas.
"Aleyna! Bangun, Nak!!"
Lho?? Aku membangunkan ibu, ibu membangunkan aku. Jadi, bagaimana itu??
Seperti itulah kira-kira kejadiannya. Aleyna berinisiatif untuk membangunkan ibunya. Maka dari itu, ia sudah bangun dari pagi. Tanpa diduga, Diva juga memiliki inisiatif yang sama dengan Aleyna. Karena mereka berdua tidak saling bertemu, terjadilah peristiwa tersebut.
Aleyna langsung menghampiri ibunya, berjalan dengan perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara dan berpura-pura bahwa ia baru saja bangun.
"Ibu... Hmmhh.... Aku baru bangun, Bu," ucap Aleyna sambil meregangkan tubuhnya.
"Ya sudah. Ayo, ibu sudah menyiapkan sarapan," ucap Diva sambil berjalan menuju ruang makan. Aleyna menyusul Diva dengan riang gembira.
Oh, ibu belum menjemur.
Melihat Diva sedang menyiapkan sarapan, Aleyna bergegas menjemur pakaian. Dengan cepat Aleyna membawa keranjang berisi pakaian yang siap dijemur.
Kemana anak itu?? Menjemur pakaian, ya??
Di luar rumah, beberapa penduduk desa yang melihat aktivitas Aleyna, menegurnya dan sedikit mengajaknya berbicara. Ada beberapa penduduk desa yang menyapanya dengan julukannya, yaitu Gadis Kelabu. Entah mengapa, nama julukannya itu begitu melekat di benak penduduk desa daripada nama aslinya.
"Bu, aku sudah selesai," ucap Aleyna.
"Sudah menjemurnya?? Mari kita makan."
"Apa kita akan ke pasar biasa itu, Bu??" Tanya Aleyna sambil menyantap makanannya.
"Ya, kita akan ke sana. Hanya itu saja pasar yang lengkap menjajakan dagangan," jawab Diva.
"Dan itu letaknya dekat dengan kerajaan ya, Bu??"
"Iya, Nak."
"Belanja sambil melihat anggota kerajaan, sepertinya seru. Apa ada tetangga kita yang menjadi prajurit kerajaan??"
"Hampir sebagian besar, Aleyna."
"Aku juga mau, Bu. Aku akan berlatih sampai jago bela diri seperti ibu."
"Jangan terlalu dipaksakan latihannya. Takutnya, itu akan berdampak ke tubuhmu."
"Iya, Bu."
Selesai makan, Aleyna pergi ke kandang kuda ingin mengeluarkan kuda miliknya dan Diva. Karena letaknya jauh, mereka harus menunggang kuda untuk sampai ke lokasi tujuan. Dengan hati riang gembira, Aleyna memasuki kandang kuda yang dapat dibilang cukup besar. Walau begitu, hanya ada dua kuda saja di dalamnya.
Amerta adalah nama kuda milik Diva. Berwarna putih dari surai hingga ekornya, tinggi dan kekar. Rouge adalah nama kuda milik Aleyna. Berwarna merah tembaga di seluruh tubuhnya, bahkan surai dan ekornya pun juga berwarna merah tembaga dan mengkilap.
Aleyna dilatih menunggang kuda oleh Diva saat berusia 7 tahun. Tidak membutuhkan waktu lama, Aleyna sudah pandai menunggang kuda dalam kurun waktu satu tahun. Bahkan, Aleyna dapat memanah serta mengayunkan pedangnya ketika sedang menunggang kuda.
Sambil menunggu Diva selesai bersiap-siap, Aleyna mencoba berkomunikasi dengan Rouge. Walau sepertinya hal itu mustahil, namun tetap dilakukannya juga. Aleyna tidak peduli Rouge mengerti bahasanya atau tidak yang ia lihat Rouge mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
"Ibu, kudanya sudah siap."
"Bagus. Mari kita berangkat."
"Ayo, Bu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments