Anggun masih terbaring tidur setelah dokter Lina memberikan suntikan obat penenang. Di sisi brangkar, Bu Maryani duduk berpangku sebelah tangan, sedang tangan yang satunya memijat-mijat keningnya sendiri, dengan mata yang bengkak setelah tadi banyak menangis.
Pak Hendra yang berdiri di sebelahnya, menepuk perlahan bagi sang istri lalu menghela napas. "Aku masih nggak paham sama apa yang disampaikan dua Dokter itu, memangnya apa salah anak kita sampai ada yang menyiksanya?"
"Pak ... Mungkinkah Thalia tahu sesuatu? Dia yang mengantar Anggun pulang, atau jangan-jangan Thalia yang melakukannya, Pak!" ekspresi wajah Bu Maryani tiba-tiba berubah tegang dengan mata terbelalak seakan dia menemukan jawaban dari semua pertanyaan yang sejak tadi terus berputar di kepalanya.
"Kamu lupa tadi Dokter Lina bilangnya si pelaku kayaknya orang dewasa, soalnya jejak jemari di mana gitu tadi, makanya besok kita di suruh lapor dulu ke polisi, biar nanti polisi yang selidiki," ucap lirih pak Hendra, tak ingin pembicaraannya terdengar oleh pasien lain di ruangan itu.
"Ah, memangnya siapa orang dewasa yang tega melakukan hal itu pada anak kita? Pokoknya besok aku harus tanya sama Thalia, anak itu juga harus mempertanggungjawabkan kesalahannya!" kekeh Bu Maryani.
"Ada baiknya juga sih Bu, kalau memang Thalia yang terakhir bersama Anggun hari ini." Pak Hendra menghela napas sangat dalam. "Kepalaku pusing Bu, pekerjaanku pas rame malah kita ngalamin kayak gini."
"Mau gimana lagi, makanya besok Bapak harus gerak cepat, biar pelaku nya cepat ketahuan. Aku tidak akan memaafkan orang itu dengan mudah!" sahut Bu Maryani seraya melayangkan tinju ke sisi brangkar.
"Kalau begitu Bapak mau ijin Mandor dulu, Bapak keluar sebentar ya, mau nelpon."
Baru saja pak Hendra membalikkan badan hendak keluar dari bilik itu, ia hampir saja bertabrakan dengan seorang pria tepat saat ia menyingkapkan tirai pembatas antar bilik.
"Oh! Maaf, saya tidak melihat Anda!" seru pak Hendra kaget.
"Ah, saya juga minta maaf, saya tiba-tiba berada di sini. Eh, ini benar tempat Anggun dirawat kan?"
"Benar, Anda siapa?" sahut pak Hendra memandangi si pria paruh baya yang kira-kira usia mereka sebaya. Bu Maryani pun ikut bangkit memperhatikan si pengunjung.
"Ah, perkenalkan saya Tono, guru BP nya Anggun Pak, Bu!" tutur pak Tono dengan senyum palsu penuh kelicikan.
"Wah, kok Bapak tahu Anggun di rawat di sini Pak? Perasaan saya belum mengabarkan kemana-mana?" sahut Pak Hendra sedikit heran.
"Oh, anu ...." Pak Tono terlihat sedikit gelagapan dengan respon pak Hendra. "Eee ... saya tadi kebetulan melihat kalian bertiga waktu saya juga lewat di lobi. Anu ... anak saya juga dirawat di sini."
"Oh, seperti itu, mari masuk, Pak," ajak pak Hendra sembari menyingkap tirai berwarna biru laut itu.
Bu Maryani pun menyambut pak Tono, dengan tersenyum hormat dan menjabat tangan. "Anak Bapak sakit apa Pak?" tanya Bu Maryani basa-basi.
"Kecelakaan Bu, tadi sudah selesai operasi." Pak Tono kembali menampilkan wajah pilu seakan menyiratkan duka yang membutuhkan simpati dari siapapun yang melihat ekspresi wajahnya.
"Ya ampun, Pak. Jadi nggak enak ini, kenapa malah ke sini bukannya menjaga anak Bapak sendiri? Kami juga turut prihatin ya Pak, semoga anaknya cepat pulih," tutur Bu Maryani.
"Tidak apa-apa Pak, Bu. Anggun adalah murid teladan di sekolah, dia begitu rajin dan selalu menjadi contoh murid yang baik dan disiplin. Kami menyayangi dan berterima kasih pada putri kalian, karena berbagai piagam dan penghargaan lomba yang diraihnya sehingga membuat nama sekolah terkenal berprestasi."
"Sama-sama Pak. Lalu bagaimana dengan kondisi anak Bapak?"
"Masih belum siuman memang, tapi kata dokter semua akan baik-baik saja," sahut pak Tono dengan senyum yang terpaksa. "Ah, saya tidak bisa lama-lama di sini, ini ada sedikit bantuan dari saya pribadi, saya dengar ada tunggakan uang sekolah, dan itu membuat Anggun tidak bisa mengikuti tes semester. Ditambah Anggun malah sakit seperti ini, semoga sedikit sedekah ini bisa membantu keluarga kalian dan juga Anggun."
Pak Tono menyerahkan sebuah amplop persegi panjang berwarna putih yang terlihat penuh dengan isiian. pak Hendra dan Bu Maryani tak segera menerimanya, beberapa saat mereka tertegun dan kaget dengan apa yang diperlihatkan oleh pak Tono.
Uang kertas berwana merah yang tak sedikit, memenuhi amplop itu, saking penuhnya hingga membuatnya tak bisa ditutup, sehingga terlihat jelas isinya. Pak Hendra dan Bu Maryani saling bertatap beberapa detik tanpa ada yang mampu mengucapkan satu pun kalimat.
"Jangan kaget seperti itu Pak, Bu. Ini hanya sedikit dari saya pribadi. saya harap Anggun segera sembuh dan bersemangat sekolah lagi." Pak Tono begitu mahir menyembunyikan niat buruknya.
"Tapi Pak ... itu terlalu banyak." Pak Hendra masih tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Benar, Pak. Kami rasa kami tidak bisa menerima bantuan sebanyak itu." Mata Bu Maryani mulai tampak berkaca-kaca karena terharu dengan kepedulian pak Tono.
"Jangan sungkan, saya benar-benar ikhlas, saya tidak mengharapkan balasan apapun dari kalian, cukup doakan saja semoga anak saya juga cepat pulih. Sebagai sesama orang tua, kita saling mengerti kan bagaimana rasanya melihat anak-anak kita terbaring tak berdaya di tempat seperti ini, uang yang dihabiskan tak akan cukup mengganti senyum ceria anak-anak kita." pak Tono mempertontonkan air mata yang menyayat hati.
Pak Hendra dan Bu Maryani pun masih berdiri tertegun menatap pak Tono, bingung bagaimana harus bersikap.
"Terima saja bantuan kecil dari saya ,Pak. Asal kalian tahu, putri bapak dibuly oleh beberapa siswa, karena seragamnya yang terlihat lusuh, juga karena tunggakan uang sekolah, tapi pembullynya itu bukan murid biasa, kami sebagai guru BP, hanya bisa memberikan bantuan seperti ini. Tolong belikan seragam baru untuk Anggun, tas sekolah juga sepatu baru. Serta lunaskan uang sekolahnya."
Begitu lihai pak Tono membalikkan fakta dan membuat alasan agar kejahatannya tak terungkap dengan menarik keluar semua rasa simpati pak Hendra dan Bu Maryani.
"Tapi ini benar-benar sangat banyak, kami tidak tahu bagaimana harus berterimakasih dengan cara apa, semoga Tuhan membalas kemuliaan hati Pak Tono." Air mata haru tak mampu disembunyikan oleh pak Hendra dan Bu Maryani.
"Tapi saya mohon jangan pernah beritahukan hal ini pada siapapun, termasuk si pembully, karena anak itu adalah anak petinggi di sekolah, percuma kalian melaporkan ke polisi ataupun berniat mengusutnya, justru nanti kalian yang akan dituntut balik, karena Anggun kedapatan pernah mencuri uang anak itu." melihat kesempatan Anggun yang masih terbaring dengan mata terpejam, pak Tono semakin lihai melancarkan fitnah-fitnah lain demi tujuannya tercapai.
"Ya ampun Pak, anak kita ...," sahut Bu Maryani yang tentunya terkejut dengan ucapan pak Tono.
"Ssst ... masalah itu sudah saya tangani, sudah saya selesaikan, jadi kalian cukup memberitahukan pada Anggun untuk semakin menjaga sikapnya, dan jangan mengulangi perbuatan itu. Meski saya juga mengerti, Anggun mungkin terpaksa melakukannya untuk membantu orang tuanya agar bisa melunasi tunggakan uang sekolah."
Senyum licik tersungging di ujung bibir pak Tono, saat menyaksikan tangis sesenggukan Bu Maryani dan pak Hendra yang merasa malu di hadapannya dan semakin membuatnya merasa menang. Tentu saja kesempatan itu tak akan disia-siakan.
"Sudah Pak, Bu ... jangan merasa tak enak. Mereka juga sudah saya bungkam dengan sedikit rejeki dari saya, dan mereka juga berjanji tidak akan menuntut apa-apa lagi pada Anggun. Jadi terima ini juga agar semua bisa berdamai, bukankah berdamai itu indah? Tuhan mengajarkan hal itu kan pada semua umatnya?"
...****************...
To be continue.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Kenapa nama ibunya Anggun di ganti 🤔🤣
2024-12-18
1
❤️⃟Wᵃf🥑⃟ˢ⍣⃟ₛ ⧗⃟ᷢApri_Zyan🦀🧸
asem memang tuh si tono, janngan mau terima uang yang gakk jelas.. jangan mudah disogok,,usut sampe tuntas.. hih gedheg
2024-12-23
1
Sepandai-pandainya tupai melompat, apa bangkai ditutupi nih istilae buat pak Tono
2024-12-18
1