Bab 3 Datang Ke pernikahan Mantan

Hari itu, suasana rumah Kinanti dipenuhi keheningan setelah Pak Karyo, ayah Kinanti, menerima undangan pernikahan dari adiknya, Pak Herman, ayah Citra. "Saya berharap, Mas Karyo datang di acara pernikahan Citra, bagaimana pun Mas satu-satunya kakak laki-laki saya."Pak Herman sambil tersenyum kikuk.

"Oh iya, mengenai pakaian juga ,tolong diperhatikan ya, secara acara ini diadakan sangat mewah dan dihotel bintang lima, kalau bisa enggak malu-maluin ya!" Ratih ibu Citra sambil mengibaskan kipasnya, untuk membuat adem tubuhnya.

"Iya, Insyaallah kami datang."Pak Karyo dengan senyum tipis menatap istrinya.

Undangan tersebut terbuat dari kertas berlapis emas dengan aksen elegan, menggambarkan kemewahan pernikahan yang akan diadakan di salah satu hotel bintang lima di kota.

"Baiklah kami pamit dulu, kebetulan saya banyak baju-baju kebaya yang sudah tidak terpakai, mungkin bisa digunakan untuk kalian ke pesta!"Irma dengan gaya angkuhnya. Dan mereka berlalu dari rumah sederhana Karyo, Pak Herman memberikan beberapa bahan makanan untuk pak Karyo.

Bu Wati membaca undangan itu dengan perasaan campur aduk. “Bagaimana, Pak? Apa kita akan datang?” tanyanya sambil melirik wajah Pak Karyo yang tampak berat.

Pak Karyo menghela napas panjang.

“Herman sudah mengundang kita. Kalau kita tidak datang, mereka pasti menganggap kita tidak menghormati keluarga. Lagipula, ini pernikahan anak mereka. Kita harus tetap menjaga hubungan baik.”

Kinanti, yang duduk di pojok ruangan sambil menunduk, mendengarkan percakapan itu tanpa berkata apa-apa. Hatinya terasa seperti diiris. Bagaimana mungkin ia harus menghadiri pernikahan mantan tunangannya dengan sepupunya sendiri?

“Pak... apa harus aku ikut?” tanya Kinanti dengan suara lirih.

Pak Karyo menatap putrinya dengan penuh kasih. “Nak, Bapak tahu ini berat buatmu. Tapi kadang, kita harus kuat menghadapi kenyataan, meskipun pahit.”

Bu Wati, yang merasa hatinya ikut tercabik, mencoba menenangkan Kinanti. “Kinan, jangan pikirkan mereka. Kita pergi hanya untuk menjaga nama baik keluarga. Tidak perlu merasa kecil hati.”

Hari pernikahan pun tiba. Hotel mewah tempat acara berlangsung dipenuhi tamu undangan dari berbagai kalangan, mulai dari pengusaha sukses hingga pejabat tinggi. Fabio tampak gagah dengan jas mahal yang membalut tubuhnya, sementara Citra anggun dalam gaun pengantin berhiaskan kristal yang memantulkan cahaya. Keduanya terlihat seperti pasangan sempurna yang penuh kebahagiaan.

Ketika keluarga Kinanti tiba, suasana berubah sejenak. Beberapa tamu mulai berbisik-bisik, membicarakan status keluarga Kinanti yang jauh berbeda dari keluarga Citra.

“Itu kan keluarga sepupunya yang miskin. Kasihan ya, jauh sekali nasib mereka,” ujar salah satu tamu.

Kinanti hanya bisa menunduk, menahan rasa malu sekaligus perih di hatinya. Ia mencoba menghindari kontak mata dengan Fabio maupun Citra, tetapi tetap saja pandangan mereka bertemu. Fabio tampak canggung, sementara Citra menyambut kedatangan mereka dengan senyum tipis penuh kemenangan.

Dua jam sebelumnya...

“Yah, ini sudah cukup bagus. Yang penting kita datang dengan niat baik,” ujar Kinanti sambil mengenakan rok polos dan blus sederhana.

Sementara itu, Kirana membantu merapikan jilbabnya. “Kak, jangan pikirkan apa yang orang lain katakan. Kita harus tetap percaya diri.”

Namun, Kinanti masih merasa kurang puas. Cermin di lemarinya sudah usang dan buram, sehingga sulit baginya melihat wajahnya dengan jelas saat merapikan riasan sederhana. Di tengah keresahannya, Pak Karyo masuk ke kamar membawa sebuah cermin berbingkai kayu tua.

“Nak, Bapak menemukan cermin ini di bawah pohon besar waktu pulang dari kebun. Kalau mau, pakailah. Cerminnya masih bagus, meski bingkainya terlihat tua,” kata Pak Karyo sambil menyerahkan cermin itu.

Awalnya Kinanti ragu. Ada sesuatu yang aneh dengan cermin itu—bingkainya terlihat berukir, namun entah mengapa terasa seperti memiliki aura yang berbeda. Namun, karena butuh, ia menerimanya.

Kinanti duduk di depan cermin tua itu, memegang alat rias seadanya. Saat ia mulai bercermin, matanya tiba-tiba membelalak. Bayangan yang ia lihat di cermin bukanlah dirinya yang biasa. Wajah yang ia lihat sangat cantik—kulitnya tampak halus, matanya berbinar, dan riasannya terlihat sempurna meskipun ia hanya memakai lipstik tipis.

“Kirana!” seru Kinanti terkejut.

Kirana mendekat dan ikut melihat ke cermin. Ia pun tertegun. “Kak... itu benar-benar wajah Kakak? Kenapa bisa seperti ini?”

Kinanti memandang cermin itu dengan takjub sekaligus bingung. Meski wajahnya terlihat cantik, ada perasaan aneh seolah cermin itu memiliki kekuatan mistis. Ia merasa seperti ada sosok yang memandang balik dari dalam cermin, tapi sosok itu tidak menunjukkan wujudnya.

Meski awalnya ragu, Kinanti akhirnya menerima perubahan itu. Dengan wajah yang kini terlihat begitu memikat, ia dan Kirana berangkat ke pesta pernikahan sepupu mereka.

Sesampainya di hotel mewah tempat acara berlangsung, perhatian para tamu segera tertuju pada Kinanti. Meski mengenakan pakaian sederhana, kecantikannya memancar dengan luar biasa.

“Siapa itu? Cantik sekali, ya,” bisik beberapa tamu.

Kinanti hanya bisa menunduk, merasa tidak nyaman dengan semua perhatian yang mendadak tertuju padanya. Namun, ia tetap berusaha membawa dirinya dengan anggun, meskipun hatinya masih dipenuhi kebingungan tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan cermin tua itu.

Saat Fabio dan Citra melihatnya, ekspresi mereka berubah. Citra tampak tidak percaya dengan penampilan Kinanti yang begitu memesona, sementara Fabio hanya bisa terdiam dengan tatapan yang sulit diartikan.

Kinanti sadar, ada sesuatu yang berubah malam itu. Tapi ia tidak tahu apakah perubahan itu adalah berkah, atau malah awal dari sesuatu yang lebih rumit.

“Kinan, terima kasih sudah datang,” ujar Citra dengan nada manis yang terkesan palsu.

Kinanti memaksakan senyum. “Selamat atas pernikahan kalian. Semoga bahagia.”

Ketika Fabio hendak menyapa, Kinanti berpaling dan berjalan pergi bersama orangtuanya. Di dalam hati, Kinanti merasa lega telah melakukan hal yang benar, datang untuk menghormati keluarga, sekaligus menunjukkan bahwa dirinya cukup kuat menghadapi semua ini.

"Kinanti... kenapa dia sangat berbeda malam ini?"Fabio dalam batinnya . "Wajahnya terlihat sangat cantik dan menarik!"Fabio meneguk salivanya saat melihat Kinanti yang memakai dress polos sederhana , namun terlihat sangat menarik.

Meski perih, momen itu menjadi titik awal bagi Kinanti untuk benar-benar melepaskan luka lamanya. Kini, ia bertekad untuk fokus pada hidupnya sendiri, tanpa bayang-bayang masa lalu. Baginya, kebahagiaan sejati tidak tergantung pada orang lain, melainkan dari usahanya sendiri untuk bangkit dan menemukan jalan hidup yang lebih baik.

"Aku akan ... selalu mengingat sakit hati yang telah kau torehkan padaku dan juga keluargaku, Fabio!" Kinanti dalam batinnya, dan dia mengepalkan tangannya.

"Mba, mau makan tidak? sepertinya makanan disini sangat enak,"seru Kiran.

"Silahkan, kamu makan saja sana, Mba mau ambil minum saja."

"Ya sudah, Kiran ke sana dulu ya mba."

Kinanti mengambil minuman buah yang disediakan, dengan tatapan kosong dia berjalan hingga menabrak laki-laki yang bertubuh tinggi dan tegap, naas, minuman itu tumpah mengenai jas mahal milik laki-laki tersebut.

"Arrrgh, sh*t hei... lihat-lihat kalau jalan!"seru laki-laki tersebut dengan menggeram menahan marahnya.

"Hahh, mmmmaaf, tuan... sssaaya tidak sengaja,"ucap Kinan. Kinan mencoba membersihkan menggunakan tisunya.

"Cukup, cukup, sungguh sial malam ini!"Laki-laki tersebut mendengus dan berlalu pergi dari hadapan Kinanti.

"Ya Allah, ada apa denganku?"

Terpopuler

Comments

mB€|6€D€§

mB€|6€D€§

ibunya citra yg bener sapa thor? irma atw ratih? 🤭
nyong mandan bingung kiye...

2024-12-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!