"Assalamu'alaikum." Kean berjalan memasuki masjid dan menghampiri seorang Ustadz yang sedang duduk sambil bertasbih di depan sana.
"Wa'alaikumsalam. Masyaallah Mas Kean." Sang Ustadz nampak senang melihat kehadiran Kean.
Kean pun mendudukkan dirinya di depan sang Ustadz. "Maaf kang Ustadz, saya kesini karena ingin menanyakan satu persoalan yang sedang saya bingungkan akhir-akhir ini. Ini soal wasiat dari almarhum Om saya."
"Kenapa? Kamu sudah siap menikahi siapa..."
"Tasila." Timpal Kean.
"Saya sejujurnya kapan pun itu siap. Hanya saja, permasalahannya Tasila masih mengalami depresi. Saya yakin jika saya melamarnya, dia akan langsung menolak. Tapi saya khawatir Ustadz, saya tidak ingin membiarkan dia mengalami penyakit mental berkepanjangan. Saya sangat ingin merawatnya." Ustadz Abyan mengangguk-angguk mendengar penjelasan Kean.
"Dia masih memiliki mahram lain? Seperti Kakak, kakek atau paman dari pihak ayahnya?"
"Dia masih memiliki kakek dan paman."
"Saya ada satu solusi untuk kamu tapi, jika kamu ingin mengambil cara saya kamu butuh kesabaran yang besar untuk ini."
Kean menatap Ustadz Abyan dengan serius.
"Apa itu ustadz? Apapun itu saya janji akan melaksanakannya dengan penuh kesabaran asalkan saya bisa menjaga Tasila dengan tangan saya sendiri seperti perintah wasiat yang di harapkan almarhum."
"Kamu temui kakeknya, jelaskan dengan baik-baik niat dan tujuan kamu, jelaskan juga mengenai wasiat itu. Jika kamu mau, insyaallah saya akan menemani kamu. Kita ambil hari saat saya sedang kosong jadwal."
Kean mengangguk-angguk sambil berfikir. "Terserah ustadz saja saya hari apapun insyaallah siap."
"Jika kamu mau bagaimana kalau besok? Saya rasa besok saya kosong sedangkan untuk 2 minggu ke depan jadwal saya cukup padat bahkan besok lusa saya akan pergi ke Madiun untuk menghadiri acara kajian."
"Besok ya ustadz?" Kean menggaruk tengkuknya kikuk.
"Ya... Kalo kamu gak bisa mungkin kamu bisa tunggu saya dua minggu ke depan. Bagaimana?"
"Lama juga ya Ustadz. Masalahnya saya harus ke Sydney juga minggu depannya."
"Yasudah besok saya siap." Putus Kean akhirnya.
Ustadz Abyan tersenyum dan mengangguk-angguk. "Saya salut dengan nyali kamu."
Kean terkekeh mendengar pujian dari ustadz muda tersebut. Mungkin umur Ustadz Abyan hanya terpaut 3 tahun saja dengan Kean namun, dia pemuda yang hebat dan sudah mampu menjadi Ustadz yang dapat mengayomi banyak muridnya termasuk Kean.
*****
Tangannya terarah untuk membuka tirai jendela yang masih tertutup itu. Cahaya matahari pun menembus masuk melewati kaca jendela hingga membuat matanya mengerjap karena merasa silau.
Mungkin pagi ini Ia masih sadar dengan fakta hidupnya tapi, belum tau untuk satu jam ke depan.
Selagi sadar Ia terus saja menyebut asma Allah meminta perlindungan dan kesembuhan kepadanya.
Ia sangat berharap penderitaannya akan segera berakhir. Ia sudah muak dengan puluhan obat yang harus Ia minum setiap hari namun, tak ada hasilnya sama sekali.
"Astaghfirullah hala'dzim, astagfirullah hala'dzim, astagfirullah hala'dzim...."
Tak terasa air matanya turun membasahi pipi mulusnya. Tasila langsung menyeka air matanya kasar dan meneremas hijabnya dengan erat.
Terkadang prasangka buruk sering Tasila rasakan karena terlalu frustasi. Ia berusaha sadar dan meyakinkan hati dan pikirannya bahwa yang Ia rasakan saat ini hanyalah ujian. Ia harus sabar dan selalu mengingat Allah agar selalu tenang.
Walaupun terkadang Ia sering meninggalkan sholat secara tidak sadar karena perubahan moodnya namun, Tasila langsung segera mengqodonya. Jujur Ia lelah seperti ini terus Ia merindukan nikmat ibadah yang Ia rasakan dulu.
"Gak papa. Aku harus kuat." Tasila berusaha tersenyum di atas tangisnya.
Clek...
"Nyonya..." Bi Siti memasuki kamar Tasila.
"Bi." Tasila tersenyum lembut seraya menghampiri Bi Siti.
"Makasih ya Bi." Tasila memeluk Bi Siti dari samping karena Bi Siti sedang membawa piring berisi makanan.
"Makasih apa to nyonya? Wong Bibi gak ngelakuin apa-apa."
"Selama ini Bibi udah sabar ngerawat aku. Bibi udah mau bertahan di sini dengan keadaan aku seperti ini." Tasila merasa terharu dengan pengabdian pembantunya itu.
"Gak usah terimakasih nyonya. Nyonya itu sudah seperti keluarga Bibi sendiri. Bibi sayang sama nyonya."
"Bibi..." Tasila mencebikan bibirnya merasa terharu.
"Ayo sarapan dulu." Tasila mengangguk seraya melepaskan pelukannya pada Bi Siti.
Tasila pun mendudukkan dirinya di tepi ranjang di ikuti dengan Bi Siti. Tasila pun mengambil piring yang Bi Siti pegang seraya memakan makanan di atasnya.
"Bibi boleh nanya sesuatu sama nyonya?"
"Boleh." Balas Tasila.
"Kalo misal nih, ada laki-laki yang ingin menjadi pendamping Nyonya bagaimana tanggapan nyonya? Apakah Nyonya mau menerimanya?"
"Pendamping?" Bi Siti mengangguk.
Tasila terdiam berfikir. "Aku belum siap Bi. Hati aku masih sepenuhnya untuk Mas Gezze." Tasila menunduk dengan wajah ekspresi lirih.
Bi Siti menyentuh pundak sang majikan dan mengelusnya lembut.
"Tapi Nyonya mau jika menikah lagi?"
Tasila menggeleng. "Aku gak mau mikirin itu dulu Bi. Setelah Mas Gezze tiada aku gak pernah berfikir untuk menikah lagi."
"Maaf ya Nyonya kalo pertanyaan Bibi bikin Nyonya gak nyaman." Tasila tersenyum lembut ke arah Bi Siti.
"Enggak kok Bi. Bibi cuma nanya aja dan itu jawaban aku atas pertanyaan Bibi."
"Yaudah monggo di abisin makanannya." Tasila mengangguk-angguk sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments