Aiden menatap sekilas wajah damai Calistha yang sedang tertidur pulas di sampingnya. Wanita itu akhirnya dapat memejamkan matanya juga setelah menangis cukup lama di pemakaman ayahnya. Kehilangan seseorang yang sangat dicintai memang berat, dan beruntung ia tidak pernah merasakan hal itu. Sejak dulu ia terbiasa hidup keras di jalanan. Ia tidak memiliki keluarga. Lebih tepatnya ia lupa. Entahlah, sebenarnya ada sebagian dari kehidupannya yang hilang, namun ia tidak ingat kapan dan bagaimana tepatnya. Yang ia ingat adalah kehidupannya setelah ditemukan tak sadar di jalanan, kemudian ia mengembara bersama pria-pria brengsek di jalanan yang mengajarkannya untuk bertahan hidup. Rasanya sudah lama sekali ia tidak mengenang kehidupannya sendiri seperti ini. Pekerjaan dan misi yang menumpuk membuatnya selalu lupa akan kenangan masa lalunya. Namun misi barunya kali ini justru memberi kesempatan bagi otaknya untuk mengingat sebagian kecil dari masa lalunya. Dan itu semua karena wanita manja di sampingnya. Hari ini mereka telah melewati banyak hal yang tak terduga dan juga menegangkan, khususnya bagi Calistha yang terbiasa hidup nyaman di rumahnya yang hangat. Tanpa diduga mereka diserang oleh sekelompok pria yang tak dikenal ketika mereka hendak pergi menuju ke pemakaman. Akibat dari penyerangan itu, kini mobilnya tampak lecet di sana sini, serta kaca belakang mobilnya pecah karena tembakan bertubi-tubi yang orang-orang brengsek itu lakukan. Untungnya mereka berdua
berhasil selamat setelah berkali-kali Aiden melajukan mobilnya dengan sangat mengerikan di jalanan lenggang Seoul.
“Enghh...”
Calistha menggeliat pelan dalam tidurnya sambil merintih kesakitan pada keningnya yang robek. Beberapa serpihan kaca berhasil melukai Calistha saat Aiden berusaha melarikan diri dari orang-orang yang mengincarnya. Meskipun pada akhirnya mereka selamat, namun Aiden tidak bisa menghindarkan Calistha dari luka kecil yang bersarang di keningnya.
“Kita sudah sampai, bangunlah.”
Calistha tampak membuka matanya sedikit kearah Aiden, lalu kembali memejamkan matanya rapat dengan deru napas yang kembali terdengar teratur.
“Calistha, kita sudah sampai. Cepat ambil semua uang-uangmu sebelum mereka memblokir kartu ATMmu.” geram Aiden tertahan. Susah payah ia membawa Calistha ke sebuah mesin ATM yang letaknya cukup jauh dari pusat kota agar orang-orang misterius itu tidak mengetahui keberadaan Calistha, namun wanita pemalas itu justru asik tertidur dengan pulas di sebelahnya.
“Aiden... jam berapa ini?”
Calistha yang menyadari kemarahan Aiden segera membuka matanya malas-malasan sambil menyipitkan matanya heran melihat langit Seoul yang telihat sudah terang di luar sana. Seingatnya saat berada di pemakaman ayahnya, langit masih sangat gelap, kemudian ia menangis cukup lama di dalam mobil Aiden, dan setelah itu ia
tidak mengingat apapun lagi selain mata beratnya yang enggan dipaksa untuk terbuka.
“Tunggu sebentar, keningmu robek.”
Aiden sedikit mencondongkan tubuhnya kearah Calistha yang tampak mematung gugup ketika kedua tangannya mulai memasangkan sebuah plester kecil di permukaan kening Calistha yang masih menyisakan bekas darah kering.
“Cepat keluar, setelah kau mengambil semua uangmu pastikan untuk membuang seluruh kartu-kartu yang kau miliki karena siapapun di luar sana yang mengincarmu, mereka pasti akan menggunakan data-data dari setiap kartu yang kau punya. Dan satu lagi....”
Calistha yang hampir melangkah keluar dari mobil sport milik Aiden langsung menghentikan gerakannya sambil melirik kesal kearah pria cerewet di sebelahnya.
“Apa lagi?”
“Buang ponselmu, kau tidak bisa menggunakannya lagi.”
“Ini, kau saja yang membuangnya. Aku tidak bisa membuangnya dengan tanganku sendiri karena ponsel itu memiliki banyak kenangan.” ucap Calistha melankolis. Aiden segera menerima ponsel bercasing pink milik Calistha, dan segera melemparnya keluar dari mobilnya. Dari arah berlawanan sebuah mobil yang melaju kencang langsung
melindas ponsel itu hingga menimbulkan bunyi patah yang membuat hati Calistha merasa miris.
“Ponselku...” Gumam Calistha pelan. Itu adalah ponsel yang ia beli dari hasil kerja paruh waktunya. Selama di Oxford tanpa sepengetahuan ayahnya, ia pernah bekerja paruh waktu di sebuah toko roti yang cukup terkenal di pusat kota. Awalnya ia tidak berniat untuk bekerja di toko roti itu. Namun saat hendak membeli roti, ia tiba-tiba merasa tergiur dengan iklan lowongan pekerjaan yang tertempel di dinding depan toko tersebut, sehingga pada akhirnya ia nekat melamar pekerjaan di toko itu dan resmi bekerja di sana keesokan harinya. Di Oxford Calistha benar-benar memiliki banyak kenangan dan juga beberapa teman, meskipun tidak seakrab Emily. Tapi setidaknya ia sedikit merasakan hidup normal di Oxford, tanpa suara-suara senjata api dan hal-hal lain yang berbau kriminal.
“Apa kau sudah selesai?”
“Sudah, sekarang apa yang harus kulakukan pada mereka?” Tanya Calistha sambil menunjukan dua kartu ATMnya. Aiden segera merampas dua kartu hitam dan silver itu dari tangan Calistha, lalu dengan mudahnya pria itu mematahkannya menjadi beberapa keping sebelum melemparkannya kedalam tong sampah yang terletak tak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Masalah ATM selesai. Namun, sebenarnya aku masih khawatir dengan semua kartu-kartu identitasmu. Semoga saja mereka tidak melacakmu dalam waktu dekat.”
“Oh, jangan membuatku panik Aiden. Saat ini aku membawa mereka semua di tasku.” erang Calistha lemas. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya di masa depan, namun ia juga perlu mempertimbangkan pendapat Aiden mengenai kartu identitasnya yang akan mudah dilacak bila ia menggunakannya suatu saat nanti.
“Berharaplah ayahmu tidak meninggalkan teka teki yang rumit. Sudah pagi, ayo kita memberi makan perutmu yang berisik.”
Refleks Calistha memeluk perutnya sendiri sambil mendelik malu kearah Aiden. Ternyata pria itu memiliki pendengaran yang tajam dan sangat peka. Sejak tinggal di rumah Aiden ia makan sedikit sekali makanan, jadi wajar jika ia menjadi mudah lapar seperti ini.
“Setelah sarapan kita akan pulang?"
“Tidak, terlalu lama. Hari ini kita akan menempuh empat jam berjalanan menuju Mokpo, setelah itu kita akan menyebrang ke pulau Jeju yang membutuhkan waktu dua setengah jam perjalanan. Tidak ada waktu lagi untuk pulang. Kita akan pergi ke rumah salah satu kenalanku untuk berganti mobil. Orang-orang jelas akan curiga jika kita menggunakan mobil yang rusak dan penuh bekas tembakan seperti ini.”
“Jadi kita tidak akan mandi.”
“Huh, sepertinya kau harus mulai terbiasa dengan hal itu.”
Aiden menyeringai meremehkan kearah Calistha dan langsung melompat masuk kedalam mobilnya. Ia bahkan pernah mengalami hal yang lebih parah daripada ini. Terjebak di hutan belantara, dalam keadaan mengintai musuh, dan ia hanya mengandalkan air sungai untuk membersihkan tubuhnya dari berbagai kotoran yang ia dapatkan saat mengintai. Kehidupan seorang sniper memang sangat kejam. Mereka memang dilatih untuk menghadapi kondisi-kondisi yang ekstrem di luar sana. Tak heran bila pada akhirnya hanya orang-orang yang sakit secara mental yang akan lolos untuk mejadi sniper, karena mereka memang diciptakan untuk menjadi robot. Mereka diharuskan untuk mengeraskan hati mereka, menumpulkan indera perasa mereka, dan tumbuh menjadi
manusia yang paling tangguh sepanjang masa. Selama hidup, mereka hanya memiliki dua pedoman di dalam kepala mereka, membunuh atau dibunuh.
“Aku tidak pernah tahu siapa saja yang terlibat dengan ayahku, apa kau tahu siapa saja orang-orang yang bekerja di belakang ayahku?”
“Kau putrinya, seharusnya kau tahu apa saja yang berhubungan dengan ayahmu.” Balas Aiden dingin. Seketika Calistha merasa kesal dan lagi-lagi merasa tolol. Ia menyesal tidak pernah bertanya sedikitpun pada ayahnya mengenai bisnis atau apapun yang berhubungan dengan keluarga mereka, karena selama ini ia terlalu sibuk meruntuki kehidupannya yang jauh dari kata baik-baik saja.
“Seharusnya kau tahu jika aku ini gadis manja, jadi aku tidak pernah tahu apapun mengenai ayahku. Dan aku heran, mengapa kau bersedia untuk menjadi pengawalku? Apa kau tahu jika kau telah mempersulit kehidupanmu sendiri.”
“Ini adalah pekerjaanku. Kehidupan sulit adalah makanan sehari-hariku Calistha, lebih baik kau diam dan memikirkan kehidupanmu sendiri.” balas Aiden datar. Tatapan matanya yang dingin dan setajam mata elang terlihat lurus menatap jalanan Seoul yang mulai padat oleh aktivitas warga Seoul yang hendak pergi bekerja. Di sampingnya, Calistha menatap pria itu nyalang dengan segala perasaan sakit yang entah mengapa terasa -remas dadanya. Aiden benar, ia memang seharusnya memikirkan kehidupannya sendiri daripada merasa ingin tahu mengenai kehidupan Aiden di masa lalu. Saat ini nyawanya sedang terancam, dan orang-orang jahat itu bisa saja mengambil nyawanya kapan saja.
“Belilah makanan secukupnya, aku akan menunggu di sini.”
Calistha dengan linglung menatap sebuah mini market yang tampak lenggang di depannya sambil bersiap untuk melepas sabuk pengamannya. Ia pikir Aiden akan mengantarkannya menuju sebuah restoran atau kedai yang menjual makanan fresh, ternyata lagi-lagi ia harus memakan makanan instan yang sebenarnya sangat tidak
sehat untuk tubuhnya yang terbiasa dengan makanan rumahan.
“Kau ingin apa?”
“Terserah, jangan terlalu lama.”
Calistha mengangguk samar dan segera melangkah masuk kedalam mini market. Hal pertama yang langsung dilakukan Calistha adalah pergi mencari minuman dan beberapa cemilan untuk teman di perjalanan nanti. Menurut Aiden mereka akan menempuh perjalanan yang cukup jauh, jadi ia perlu membawa cukup makanan dan minuman agar mereka tidak kelaparan di jalan. Saat melewati rak makanan, tanpa sadar Calistha mendongakan wajahnya sambil menatap gugup kearah kamera cctv yang menyorot tepat di wajahnya dengan jelas. Cepat-cepat Calistha menyembunyikan wajahnya sambil berpura-pura memasukan makanan kedalam keranjang. Sesekali mata bulatnya juga memperhatikan gerak-gerik orang-orang disekitarnya, yang sama-sama sedang berbelanja sepertinya. Ia takut jika ternyata orang-orang jahat itu sebenarnya telah membuntuti mereka sejak tadi.
“Nona, apakah anda membutuhkan ekstra kantong? Nona?”
Calistha terkesiap kaget saat petugas kasir itu menyentuh telapak tangannya yang dingin perlahan. Dengan gugup Calistha mengangguk dan segera mengeluarkan beberapa lembar uang miliknya dengan tangan bergetar.
“Wajah anda pucat nona, apa anda baik-baik saja?”
“Yy ya, aku baik-baik saja. Terimakasih.”
Calistha langsung membawa barang-barang belanjaannya pergi tanpa menghiraukan tatapan aneh yang dilayangkan oleh petugas kasir itu. Dan setelah Calistha pergi, seorang pria dengan jaket kulit berwarna gelap tiba-tiba mendekati meja kasir sambil menodongkan pistol kearah sang pelayan.
“Ttolong, jangan bunuh aku. Apa yang kka kau inginkan?”
“Ssshh.... jangan bergerak, aku hanya membutuhkan rekaman cctv di mini market ini.” Seringai pria itu licik sambil menatap mobil hitam milik Aiden yang perlahan-lahan mulai pergi meninggalkan halaman parkir mini market yang luas.
-00-
Calistha terus -remas jarinya gelisah sambil melirik siluet mini market yang telah menghilang dari pandangannya. Ia merasa seseorang telah mengintainya di mini market itu. Terlebih lagi ia melihat ada seorang pria tua yang sejak ia masuk kedalam mini market itu terus mengawasi gerak-geriknya melalui kaca mata hitamnya yang pekat. Namun ia pikir semua itu hanya bagian dari ketakutannya belaka karena berbagai macam kejadian mengerikan yang akhir-akhir ini menghantui hidupnya. Sebisa mungkin saat ini ia mencoba menenangkan pikirannya yang terus berkecamuk sambil menggenggam plastik berisi makanannya dengan erat.
“Ada apa denganmu?”
Calistha membuka matanya nyalang saat Aiden tiba-tiba menggenggam tangan kanannya dan membuat bungkusan yang sebelumnya ia genggam jatuh begitu saja di bawah kakinya. Dengan dahi berkerut pria itu merasakan kulit dingin Calistha yang terasa bergetar sambil sesekali melirik wajah Calistha yang terlihat masih
pucat.
“Kau kedinginan?”
Aiden menekan tombol pemanas di mobilnya, dan tiba-tiba memasukan tangan Calistha kedalam saku jaket denim yang ia kenakan. Sejak mereka pergi dari mini market, ia tahu jika gerak-gerik Calistha sedikit mencurigakan. Sesuatu mungkin telah terjadi di dalam sana, dan itu luput dari pengawasannya yang sejak tadi tidak melihat adanya tanda-tanda bahaya apapun.
“Aku merasa melihat seseorang yang mencurigakan di dalam mini market. Pria itu terus mengawasi gerak-gerikku, namun ia tidak melakukan apapun hingga aku keluar dari mini market. Dan di sana, wajahku sempat terekam kamera cctv. Apa itu tidak apa-apa?”
Perlahan-lahan Calistha melepaskan tangannya dari genggaman Aiden, dan memilih untuk menghangatkannya sendiri dengan caranya. Lagipula ia juga tidak nyaman melakukan kontak fisik yang terlalu lama dengan seorang pria yang baru saja dikenalnya. Meskipun Aiden selalu melindunginya hingga sejauh ini, namun ia tidak bisa melupakan fakta jika Aiden adalah seorang sniper. Pria itu memiliki dua sisi yang tak terduga dan dapat membunuhnya perlahan-lahan jika ia tidak waspada. Saat ini Aiden mungkin sedang berperan sebagai penjaganya, namun siapa yang tahu jika suatu saat ternyata Aiden berubah menjadi musuh dalam selimut yang ingin mengambil seluruh harta warisan milik ayahnya. Lagipula asal usul pria itu juga belum jelas. Aiden mengaku sedang bekerja untuk presiden Moon, sedangkan selama ini ia belum pernah bertemu dengan presiden Korea Selatan itu secara langsung. Hidupnya saat ini benar-benar sulit, ia tidak bisa memberikan kepercayaan pada siapapun, namun ia dipaksa untuk melakukannya demi bertahan hidup. Cepat atau lambat ia berharap semoga semua mimpi buruk ini dapat berakhir karena ia sudah tidak tahan dengan semua ketakutan yang sewaktu-waktu dapat menyerangnya.
“Itu berisiko, kita harus segera meninggalkan Seoul sebelum orang-orang itu
menyadari keberadaanmu.”
“Aiden, apa kau juga pernah merasakan ketakutan yang kurasakan? Apa kau pernah merasa jika hidupmu sangat tidak aman dan menakutkan?”
“Tidak, seorang sniper tidak boleh memiliki ketakutan.” jawab Aiden datar. Hidupnya selama di champ pelatihan selalu dipenuhi oleh bentakan, teriakan, dan hal-hal kasar lainnya yang tidak dapat dibayangkan oleh orang awam. Baginya ketakutan adalah sesuatu yang tidak pernah ada di dalam jiwanya. Sebagai seorang manusia, ia telah kehilangan banyak serpihan-serpihan emosi yang seharusnya dimiliki oleh orang normal. Sesungguhnya, ia telah kehilangan banyak hal di masa lalu. Ia kehilangan sebagian dirinya. Ia tidak pernah tahu bagaimana kehidupan masa kanak-kanaknya, orang tuanya, ataupun keluarganya. Satu-satunya hal yang tertinggal di dalam memori otaknya adalah sebuah nama, Aiden Lee. Hanya itulah yang ia ingat sebelum ia menjadi pria jalanan yang bebas, lalu dipungut oleh seorang tentara Amerika yang saat itu sedang memiliki urusan di Korea.
“Kau pasti telah mengalami banyak hal sulit di luar sana. Kuharap suatu saat nanti aku juga memiliki kekuatan sepertimu, dan tidak menjadi gadis cengeng seperti ini.”
“Jangan, hiduplah dengan normal.”
Calistha mengerutkan alisnya dalam kearah Aiden, namun pria itu memilih untuk tetap diam tanpa memberikan jawaban untuk keheranan Calistha yang diarahkan padanya. Itu akan lebih baik untuk Calistha. Lebih baik tidak mengetahui apapun dan tetap berjalan dengan mata tertutup daripada mengetahui semuanya, namun selalu dibayang-bayangi oleh rasa tidak aman, karena, selalu ada harga untuk setiap detik kehidupan yang dijalani oleh manusia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Eri Nurfitria Hikmawati
cfmsnfb mskhdm lDj. oshdj. oakdbxn ksmn zknn
2020-08-12
0
Kustri
mantull....
2020-08-10
0
Dewee
novelmu keren thor
2020-05-29
1