Aku terbangun saat mendengar suara Kak Yusuf membacakan lantunan ayat suci Al Quran di sampingku. Mungkin agar aku lebih tenang. Aku segera memeluk Kak Yusuf.
"Kak, Nisa kangen."
"Kakak juga kangen kamu. Udah, ya, nggak boleh sedih lagi. Kita harus tolong papah," kata kak Yusuf lembut, sambil membelai kepalaku.
Aku mengangguk pelan.
Kak Yusuf memang sangat perhatian. Sama seperti Kak Adam, hanya berbeda cara penyampaiannya. Kak Yusuf lebih halus dan lembut memperlakukanku. Hanya saja lebih irit bicara.
Di kamarku juga ada Indra, kak Adam dan sepertinya teman kak Yusuf. Karena penampilan mereka sama. Ala-ala anak pesantren. Bersorban putih dan baju koko.
"Itu siapa, Kak?" tanyaku.
"Namanya kak Arif. Temen di pesantren dulu."
Kak Arif hanya mengangguk sambil tersenyum kepadaku.
"Papah, Kak," kataku
"Iya, nanti kita coba sembuhin papah, ya. Kamu gimana? Kata Kak Adam kamu mimpiin Papah?"
Aku lalu menceritakan semua mimpiku tentang Papah.
Kak Yusuf dan Kak Arif terlihat mengangguk seperti mengerti arti dari mimpiku.
"Kita rukiyah aja, Suf," kata Kak Arif. Kak Yusuf mengangguk setuju.
"Kamu sholat subuh dulu sana," kata Kak Yusuf, membelai kepalaku.
Kak Yusuf, kak Adam dan Kak Arif keluar dari kamarku.
Tinggal Indra saja dengan Bi Minah.
"Neng, bibi bikinin susu anget mau?"
"Mau. Sama roti bakar, ya, Bi. Triple. Pakai selai kacang," kataku sedikit manja.
Indra tertawa geli mendengarku.
"Kamu laper, Neng?" tanya Indra mengikuti panggilan Bi Minah tadi.
"Ih .... "Aku lempar Indra dengan boneka di sampingku. Pri itu tertawa, kemudian duduk di dekatku.
"Gimana? Udah enak, kan, belum?" tanyanya halus.
"Udah. Makasih, ya."
"Buat apaan?"
"Buat semuanya."
Dia hanya tersenyum penuh arti.
Pintu kamarku dibuka. Kak Adam masuk dan mencari Al Quran.
"Ada tuh di meja belajar. Yang warna kuning emas."
"Eh kalian. Subuhan dulu gih. Malah berduaan aja," kata kak Adam .
"Iya. Ini juga mau wudhu."
_____
Aku salat subuh dahulu. Lalu melanjutkan berzikir. Tak lama
Kudengar papah berteriak bahkan hingga menangis pilu.
Aku tidak tega mendengarnya. Aku kuatkan bacaan zikir hingga rukiyah Papah selesai.
Tak lama suasana hening. Papa sepertinya sudah tenang. Akhirnya kuputuskan kelur kamar. Saat pintu kamar kubuka, Papa dan yang lain sudah ada di ruang tengah. Wajah Papa terlihat lebih segar. Bayangan hitam di belakangnya sudah hilang.
"Kita berpencar cari di halaman rumah. Ditanam di dalem tanah, yang ada pohon besarnya," kata kak Arif memberikan instruksi.
Mereka semua segera keluar rumah.
'Nyari apa, ya?'
"Nisa temenin Papa," suruh Kak Adam. Aku medekati Papah yang duduk di kursi.
"Pah ...." Aku duduk di samping Papah. Papa tersenyum.
"Kamu kapan pulang?"
"Semalem. Papah gimana?"
"Alhamdulillah udah mendingan. Maafkan sikap Papa, ya, selama ini."
"Nggak papa kok, Pah." Mataku berkaca-kaca. Apalagi kini Papah memelukku erat. Inilah Papah yang kurindukan setahun belakangan ini. Akhirnya papah kembali. Terima kasih, ya Allah.
Tak lama Kak Arif masuk ke rumah diikuti Kak Adam, kak Yusuf dan Indra. Ada Pak Bowo juga. Kak Arif menggenggam bungkusan kain berwarna putih tapi kotor karena tertimbun tanah.
"Itu apa, kak?"
"Itu buhul sihir yang ditanam Lina di rumah kita, Nis," kata kak Adam.
Aku beristigfar sambil geleng-geleng kepala. Kak Arif membakarnya sambil merapalkan doa yang cukup panjang.
"Mantra malik jiwa. Semoga Lina sadar setelah ini. Insha Allah kita selalu dalam lindungan Allah Swt. Asal kita selalu menjalankan salat dan sunah lain yang diajarkan rasulullah." nasihat kak Arif kepada kami.
"Mantra malik jiwa tuh apaan, Rif?" tanya Kak Adam.
"Salah satu mantra pelet yang ampun. Korbannya bakal susah lepas dari pengaruhnya, dan kalau bisa lepas, si pengirim bakal gila," jelas kak Arif.
Bau masakan mulai tercium. Bi Minah sudah membuat sarapan untuk kami. Nasi goreng spesial.
Akhirnya kami sarapan bersama. Roti bakar pesananku tadi belum kuhitung sebagai sarapan, itu hanya camilan.
"Oh iya, ini siapa?" tanya Papa ke Indra yang duduk di samping Kak Adam.
"Ini Indra, Pah. Pacar Nisa," celetuk Kak Adam mulai iseng. Aku yang sedang makan jadi tersedak.
"Bukan, Pah. Cuma temen kok," belaku. Lalu melotot ke arah Kak Adam
"Kerja di mana, nak Indra?" tanya Papah. Tak peduli penjelasanku.
"Di polres, Om."
"Wah polisi, ya? Hebat kamu, Nis," kata Kak Yusuf.
"Ih kok sama kaya kata-kata kak Adam, kak Adam juga bilang gitu kemaren." Aku mulai merajuk.
"Jangan kelamaan pacarannya, kalau bisa ta'aruf aja," saran kak Yusuf.
Indra hanya senyum-senyum saja. "Insyaa Allah, kak. Mohon do'anya aja," kata Indra dan berhasil membuatku salah tingkah.
***
Kak Arif pamit pulang ke kotanya yang tidak begitu jauh dari kota kami. Sementara Kak Yusuf mengantarkan sampai stasiun kereta.
Aku menonton TV di ruang tengah dengan Kak Adam yang asik dengan laptopnya.
Indra memakai jaketnya, bersiap akan pergi.
"Ke mana, Ndra?" tanyaku heran.
"Pulang," katanya.
"Oh. Jauh, kah? dari sini?"
"Nggak kok. 15 menit juga sampai. Kamu mau ikut?"tanyanya.
"Udah sana. Ikut aja," celetuk kak adam tanpa melepaskan pandangannya dari laptop.
"Gimana? Mau ikut?" tanya Indra lagi.
"Eum. Boleh deh. Aku ganti baju dulu, ya." Aku langsung berlari kecil ke kamar. Entah kenapa aku mengiyakan saja ajakan Indra.
____
10 menit kemudian aku siap. Kami berpamitan pada Kak Adam. Papa masih beristirahat di kamar.
Saat akan masuk ke mobil, aku mulai ragu. Entah kenapa hatiku menjadi gelisah. Mungkin grogi
"Ndra, nggak jadi ikut deh aku," kataku lalu berbalik. Namun Indra menahan tanganku.
"Kenapa?"tanyanya.
"Aku ... aku malu ketemu orang tua kamu, Ndra."
"Nggak apa-apa, Nis. Orang tuaku baik kok. Nggak usah takut. Ada aku, kan?" katanya berusaha menenangkan dan meyakinkanku.
Akhirnya aku pun ikut Indra ke rumahnya, setelah dibujuk agak lama.
***
Benar saja 15 menit kemudian kami sampai di rumah Indra.
Ada beberapa satpam yang berpakaian safari menjaga rumah ini. Kurang lebih 5 oang berjaga di halaman. Dan hal ini membuatku makin cemas.
Saat Indra memarkirkan mobilnya, ia memegang tanganku sambil tersenyum hangat. Ia menempelkan kedua tanganku ke pipinya. "Jangan grogi gitu dong, Nis. Santai aja,"katanya lembut.
"Kok banyak penjaga. Papah kamu kerjanya apaan sih?'' Tanyaku penasaran.
"Polisi juga. Cuma udah senior. Makanya ada yang jagain di depan. Yuk, masuk."
Dia menggandeng tanganku ke dalam rumah. Seorang wanita setengah baya menyambut kami. Cantik dan anggun. Indra langsung memeluk wanita itu yang bisa kutebak adalah ibunya Indra.
"Akhirnya pulang juga kamu."
"Ya pulang lah, Mah. Kan kangen Mamah. Maaf kemarin Indra sibuk banget."
"Eh ini siapa?" tanya mamah Indra beralih menatapku.
Aku hanya tersenyum lalu mencium punggung tangan mamahnya Indra.
"Ini Nisa. Insya Allah, calon istri Indra." katanya tegas. Mamah Indra melotot tak lama tersenyum. "Wah ...pinter. lama nggak pulang, sekarang langsung bawa calon. Cantik lagi. Yuk, masuk. Ketemu sama papahnya Indra dulu." Mamah Indra menggandeng dan membawaku masuk.
Indra hanya senyum-senyum di belakangku saat aku melemparkan tatapan membunuh untuknya.
"Pah ... Ada tamu nih," teriak Mamahnya Indra terus masuk ke dalam rumah yang cukup besar ini. Seorang pria berbadan tegap, tinggi dan kekar keluar dari ruangannya, mungkin ruang pribadinya, karena sekilas aku melihat sebuah rak buku, meja dan beberapa pajangan. Beliau tersenyum kepadaku. Sangat berwibawa.
"Siapa nih?" tanya Papahnya Indra.
"Calon mantu."
"Walah ... pinter milih kamu, ya, Le."
"Iya dong, Pah."
"Yuk duduk dulu. Mbok Jah, tolong bikin minum. Ada tamu," teriak Papahnya Indra sambil menoleh ke koridor di belakang. Aku hanya diam, tidak tau harus berbuat apa.
"Kuliah atau kerja, Nak?"
"Masih kuliah, Om. Insyaa Allah tahun depan udah lulus."
"Oh gitu. Jadi ini yang kamu ceritain ke papah kemaren?"
"Iyalah, Pah, yang mana lagi coba."
Indra yang duduk di sampingku, menggenggam tanganku. Aku benar-benar kaget dan tidak pernah berfikir situasi ini akan terjadi secepat ini. Kami baru mengenal dan tiba-tiba Indra mengenalkan ku pada orang tuanya sebagai calon istri.
"Indra minta doa restu. Indra berniat menikahi Nisa." Aku menoleh ke arahnya dengan mengerutkan alis.
"Papa yakin kamu bisa memilih pasangan yang terbaik menurut kamu. Papa sama Mama pasti merestui." Indra tersenyum lebar, menatapku yang masih diam tak bersuara apa pun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 276 Episodes
Comments
Fitri wardhana
seneng campur daddigdug mw pingsan🤣
2022-07-26
0
Mbasel
kek gw..roti itu masuk kategori cemilan..
belum makan namanya kalo bukan makan nasi 😆
2022-06-28
1
milk_ch0co
kenalin sabi kali nis😭👍
2022-03-24
1