Jefri terbangun dari tidurnya. Ia menengok ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Sepanjang hari, ia menghabiskan waktu dengan tiduran di rumah. Tidak pergi mengamen, hanya terus memejamkan matanya di atas kasur lusuh. Ia bangkit dari ranjangnya, lalu membuka keran untuk membasuh wajah.
Jefri menyeret langkahnya sambil mengelap wajahnya yang basah. Ketika ia membuka pintu, pria itu tertegun melihat Aldrin berdiri tepat di hadapannya
"Ayah," ucap Aldrin dengan wajah berkaca-kaca.
Jefri masih tertegun. Matanya menatap sosok yang dirindukannya itu. Bocah lelaki itu memakai seragam sekolah. Wajahnya terlihat bersih, cerah dan tampan. Berbeda dari sebelumnya.
"Ayah!" Aldrin kembali memanggil ayahnya seraya memeluk pria itu.
Jefri bergeming. Ia mendongakkan kepalanya ke atas seraya meneguk ludahnya. Saat hendak membalas pelukan anak itu, tiba-tiba tangannya terlepas begitu saja. Ya, dia justru mengurungkan niatnya.
"Anak bodoh, kenapa kamu malah ke sini? Seharusnya kamu langsung pulang. Gimana kalau orangtuamu mencarimu?" Pria itu berakting seolah memarahi anaknya.
"Jangan khawatir, Ayah. Aku diantar supir ke sini," ucap Aldrin sambil tetap memeluknya dengan erat seolah tak mau melepaskannya.
"Tetap saja kamu harus pulang! Tempatmu bukan di sini lagi! Aku juga mau kerja. Cepat pulang sana!" usir Jefri sembari melepas kedua tangan Aldrin yang melingkar di tubuhnya.
"Aku masih mau bersama Ayah!" Aldrin menatap ayahnya dengan penuh kesedihan.
"Kamu enggak dengar? Ayah bilang pulang! Di sini bukan tempatmu lagi!"
"Aku tahu, Ayah juga merindukanku." Aldrin menatap wajah Ayahnya.
"Terserah kau saja, aku masih banyak kerjaan." Pria itu memilih masuk ke rumah dan menutup pintu.
Aldrin mulai menggedor-gedor pintu. "Ayah buka pintunya!" ucapnya memelas. "Ayah, aku masih mau bicara," Aldrin masih menggedor pintu sambil mulai menitikkan air matanya. Namun, tak kunjung membuat Jefri membuka pintu.
Aldrin terisak di depan pintu. Ia tahu ayahnya hanya berpura-pura. Ia tahu Ayahnya juga sangat merindukannya. Bocah itu masih berdiri di depan pintu, tetapi tidak lagi mengetuknya. Hanya berdiri diam sambil terisak. Tiba-tiba sebuah sapu tangan muncul di hadapannya.
Aldrin menoleh ke samping. Rupanya, Naufal tengah berdiri di sampingnya sambil mengulurkan sapu tangan. Aldrin mengambil sapu tangan itu dan mengusap wajahnya yang penuh dengan butiran air mata.
Akhirnya, ia memutuskan beranjak pergi kembali ke mobil bersama Naufal.
Jefri yang dari tadi diam di depan pintu, mendengar suara langkah laki yang semakin menjauh. Dari balik pintu yang terbuka kecil, ia mengintip kepergian anaknya. Bibirnya melengkungkan senyum, tapi hatinya bagai teriris sembilu. Air matanya mengalir begitu saja.
Aldrin dan Naufal telah kembali ke mobil. Kali ini Naufal tidak bicara, ia juga memilih diam. Sebelumnya, ketika Naufal mengajaknya berteman, Aldrin meminta satu syarat, yaitu membawanya ke rumah Jefri. Naufal menyetujuinya dan meminta supir membawa mereka ke sana.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Keduanya pun tiba di kediaman rumah mereka. Saat membuka pintu rumah, samar-samar terdengar suara indah alunan musik piano yang dimainkan oleh Zaki. Akhir-akhir ini ia mengikuti less privat piano di rumahnya. Dia juga akan mengikuti kontes musik klasik yang akan diselenggarakan di London.
Zaki berhenti memainkan pianonya saat melihat kedua adiknya datang. "Sudah sesore gini, kenapa baru pulang?" tanyanya.
"Hhmm .... terjebak macet," jawab Naufal seadanya.
"Hei, kamu! Guru less-mu sudah nunggu tuh di ruang belajar. Ayah menyewa guru profesional agar kamu bisa lebih cepat menguasai segalanya. Ayahku pengusaha terpandang di negeri ini, dan ibu Artis terkenal. Jadi, jangan mempermalukan keluarga kami. Ayo cepat ke sana!" ketus Zaki dengan wajah sinis. Sepertinya Zaki masih belum senang dengan kehadirannya di sini.
Hari pertama mengikuti kursus privat, Aldrin malah tertidur di sepanjang jam pelajaran berlangsung. Meskipun gurunya berkali-kali membangunkannya, ia tetap tertidur.
Hari kedua, ia sudah tidak tidur lagi, tetapi hanya diam melamun. Apa pun yang guru katakan padanya, ia hanya diam dengan pandangan kosong. Sama sekali tidak merespon gurunya.
Hari ketiga, ia hanya bermain mobil-mobilan di atas meja belajarnya. Sekeras apa pun guru itu memanggil namanya, ia tetap tak acuh. Bocah itu hanya sibuk dengan mainannya seolah-olah menganggap guru itu tidak ada.
"Pak, saya sudah berusaha selama tiga hari ini. Anak itu benar-benar tidak punya minat untuk belajar. Mau mendengar penjelasan saya saja tidak. Selama saya mengajar les privat, ini pertama kalinya saya menyerah," keluh sang guru pada Tuan Adam.
"Maafkan kelakuan anak saya. Saya akan menasihatinya supaya lebih giat lagi," ucap Adam meminta guru itu memaklumi Aldrin.
"Tidak perlu Pak, hari ini saya mengundurkan diri," kata guru itu.
Adam diam tak berdaya. Ia terpaksa mengiyakan keputusan guru itu dan memberi gajinya selama tiga hari.
Di sekolah, guru matematika masuk dan memeriksa PR kemarin. Guru itu berjalan ke setiap bangku untuk memeriksa hasil pekerjaan rumah. Setiap anak diminta meletakkan buku PR mereka masing-masing di atas meja.
Saat guru ingin memeriksa PR Aldrin, anak itu langsung berdiri, sebuah buku terlempar di atas mejanya. Aldrin terhenyak. Ia menoleh ke samping dan melihat Naufal langsung berdiri.
"Bu, maaf saya lupa mengerjakan PR," seru Naufal.
Seketika, suara teriakan seisi kelas terdengar riuh. Teman sekelasnya terkejut karena ini pertama kalinya murid teladan itu tak mengerjakan PR.
"Cepat berdiri ke depan!" perintah ibu guru dengan mata melotot tajam seolah hendak menelannya.
Naufal langsung berdiri di depan papan tulis. Ia mengangkat salah satu kakinya dan menarik kedua telinganya. Aldrin membuka buku yang baru saja Naufal lemparkan padanya. Ternyata, itu adalah buku PR milik Naufal. Namun, karena tahu Aldrin tak mengerjakan tugas yang diberikan guru, ia memberikan buku itu padanya agar saudara tirinya itu terbebas dari hukuman.
Aldrin menatap dingin ke arah Naufal yang diam di pojok ruangan sambil mengangkat kakinya. Ia kembali menoleh ke buku pelajaran yang diberikan Naufal padanya. Kata apalagi yang bisa ia ucapkan selain 'bodoh'.
Sudah sejam berlalu, Naufal tetap berdiri di sana. Pandangan Aldrin tak pernah lepas ke depan. Memandangi saudara tirinya yang telah berkorban untuk dirinya.
Bel berbunyi tanda jam istirahat. Naufal akhirnya dapat keluar dari hukuman setelah tiga jam berdiri.
"Kamu anak yang cerdas, ibu tidak menyangka kamu bisa lupa kerja PR. Besok-besok jangan lakukan ini lagi," kata Ibu Guru memberi nasihat padanya.
"Iya, Bu," jawab Naufal menunduk.
Naufal keluar dari kelas menuju ke kantin sekolah. Di depan sana, Aldrin berdiri menunggunya sedari tadi. Mereka saling memandang untuk beberapa detik.
Aldrin menghampiri Naufal seraya memberikan sebotol air mineral. "Apa kamu mau jadi temanku?"
Naufal terdiam sesaat. Ia melirik tangan Aldrin yang menyerahkan sebotol minuman dingin padanya. Bocah pintar itu melebarkan senyumnya.
"Tentu saja," jawab Naufal sambil mengambil air mineral itu dari tangan Aldrin.
Keduanya sama-sama tertawa. Ini adalah awal dari persahabatan mereka. Persahabatan antara saudara tiri. Persahabatan yang akan menjadi begitu manis dan dalam.
Sejak saat itu mereka selalu bersama kemanapun mereka pergi. Tak peduli siapapun yang mengganggu Naufal di sekolah, Aldrin akan mengejar dan memukuli mereka.
Di rumah, mereka selalu bermain bersama menciptakan keributan yang kadang-kadang membuat Zaki kesal karena menggangunya belajar. Orangtua mereka yang jarang terlihat di rumah, tidak membuat Naufal merasa kesepian lagi karena telah ada Aldrin di sisinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tidak terasa, sudah sebulan penuh Aldrin di rumah ini. Ia mulai giat belajar, sudah tahu membaca dan mau mendengar apa yang disampaikan guru privat padanya. Namun, ia masih saja tak mau bicara pada Ardhilla dan juga Adam.
"Hei, Aldrin, coba tebak apa yang kubawa!" Naufal mendekatinya secara tiba-tiba sambil membawa dua buah kotak yang ia sembunyikan di belakang punggungnya.
"Apa itu?" Aldrin mengintip tangan Naufal yang sembunyi di belakang perutnya.
"Tadaaa ... " Naufal memperlihatkan dua ponsel yang masih tersegel dalam kardus.
Aldrin tampak mengerjapkan matanya. Mulutnya refleks terbuka lebar.
"Aku membelikan ini untukmu dan juga ayahmu supaya kalian bisa saling teleponan," kata Naufal dengan senyum sumringah.
Aldrin menerima ponsel itu dengan riang. "Terima kasih. Kamu baik sekali. Dulu ayahku punya hp tapi di jual lagi untuk beli beras," kenang Aldrin.
"Kalau begitu, ayo kita ketemu ayahmu!" seru Naufal.
Aldrin mengangguk cepat. Kebetulan, sudah sebulan ia tak lagi bertemu dengan ayahnya.
Sesampainya di rumah sederhana itu, Aldrin merasa aneh melihat suasana gubuknya yang begitu sepi. Pintu rumahnya tergembok. Apakah ayah belum pulang kerja? Batinnya bertanya-tanya.
"Kenapa?" tanya Naufal dapat menebak sesuatu yang tidak beres terjadi.
"Sepertinya ayah belum pulang, tapi aku akan menunggu di sini," kata Aldrin memegang gembok rumah itu.
Secara kebetulan, ia melihat teman ayahnya lewat. "Paman Rusli, Paman Rusli!" panggil Aldrin setengah berteriak.
"Aldrin?" Paman rusli mengernyitkan matanya. Memastikan apakah bocah yang barusan memanggilnya adalah anak Jefri.
"Iya, Paman. Ini aku." Aldrin berjalan mendekati sahabat ayahnya.
"Ke mana ayahku, Paman?" tanyanya.
"Kamu tidak tahu? Sebulan lalu dia mengurus keberangkatannya menjadi TKI di Dubai dan mungkin sekarang dia telah pergi karena aku tidak melihatnya lagi sejak tiga hari yang lalu."
Bagaikan tersengat aliran listrik, Aldrin menjatuhkan ponsel yang akan ia berikan pada ayahnya. Seketika air matanya mengalir deras bagai tanggul yang jebol.
"A–yaaahhhhh ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 158 Episodes
Comments
Her Lina
huwaaa kasian aldrin 😭. jahat banget kamu ardhila, ngambil anak dari jefri tapi juga ga kamu urus sibuk sama duni keartisan kamu. yg ada jefri mala kehilangan sosok ayah dan ibu 😭😭😭
2024-03-04
0
maytrike risky
Apalagi ini wei😭
2024-02-28
0
Tina Nine
Nyesek nya😭😭😭,mana bacanya tengah malam,besok mata ku bengkak....
2024-01-30
1