Jefri menekan tombol bel yang terletak di sudut tembok pintu gerbang kecil. Tidak menunggu lama, seorang satpam membuka pintu pagar dan mempersilakan ayah dan anak itu masuk, kemudian membawa mereka menuju ruang keluarga.
"Wah, rumahnya besar sekali!" decak Aldrin penuh kekaguman, "tapi, Yah, kenapa kita masuk ke rumah ini?" bisik Aldrin.
Mendengar ucapan anaknya, Jefri hanya mampu bergeming. Di sisi lain, Aldrin tampak terpesona dengan kemegahan rumah itu. Ini pertama kalinya ia memasuki rumah besar. Matanya terus berkeliling menelisik setiap ruangan yang dipenuhi barang-barang mewah.
Satpam itu terus menuntun mereka ke sebuah ruang kerja Tuan Adam. Setibanya di ruangan itu, Jefri benar-benar bertemu langsung dengan Adam dan Ardhilla yang telah menunggunya dari tadi.
Aldrin yang tak sadar akan kehadiran pemilik rumah, ia lebih menyibukkan diri dengan menyentuh beberapa benda etnik yang ada di sekeliling ruangan. Tiba-tiba terdengar suara lembut wanita yang membuatnya tersentak.
"Anakku!" panggil Ardhilla dengan mata yang berkaca-kaca.
Bocah kecil itu terhenyak ketika mendengar seorang wanita cantik menyebutnya dengan sebutan anak. Saking bingungnya, ia langsung melirik ke arah ayahnya yang mematung.
Ardhilla menghampiri anaknya yang tak pernah ia temui sebelumnya. Ia memeluknya dengan hangat. Meskipun ia mengambil anak itu karena sebuah tujuan, tapi tak bisa dipungkiri ia tetaplah seorang ibu yang bisa luluh hanya melihat buah hatinya.
"Kamu sudah besar, Nak," ucap Ardhilla sambil menatapnya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mata Ardhilla berbinar-binar penuh dengan kilauan kebahagiaan bercampur haru.
"Maaf, Tante siapa?" tanya Aldrin seraya mengerutkan dahinya. Ia mendongakkan kepala seraya menatap ayahnya yang masih mematung. "Ayah, dia siapa?" tanyanya kembali.
"Aku ibumu." Ardhilla buru-buru menjawab sambil tersenyum lebar. Ia menyentuh pipi Aldrin, seolah tak percaya jika anak yang dulunya masih bayi sekarang telah tumbuh sebesar itu. Bahkan sangat tampan.
"Maaf, Tante. Kayaknya Tante salah orang deh! Ibuku tidak tinggal di kota ini. Dia tinggal di luar pulau ini, jauh. Ibuku juga tidak kaya," ucap Aldrin polos.
Alis Ardhilla tampak bertaut mendengar ucapan polos dari anaknya. Mengapa anak itu mengatakan hal yang tak masuk di akal? Bingung, ia melirik pada Jefri seolah meminta penjelasan apa maksud perkataan Aldrin.
Jefri menghela napasnya yang terasa berat. Ia berlutut di depan anaknya sambil memegang bahu bocah itu. "Aldrin, maafkan Ayah. Selama ini, Ayah berbohong. Wanita yang berada di depanmu sekarang adalah ibu kandungmu. Mulai sekarang, kau akan tinggal di sini bersama ibu kandungmu dan ayah barumu," tutur Jefri menjelaskan pada bocah yang telah dianggapnya seperti anak sendiri. Saat mengatakan hal itu, suaranya tampak bergelombang, matanya mulai berkaca-kaca dan dadanya terasa sesak.
Mendengar ucapan ayahnya, membuat Aldrin semakin bingung. Setahunya, Wanita yang ada di depannya seperti seorang artis. Ya, meskipun di rumahnya tidak memiliki televisi, tapi bocah itu sangat tahu wajah wanita itu mirip salah seorang artis yang wajahnya tersebar di papan-papan iklan ibu kota.
Sekarang, ayahnya malah mengatakan wanita itu adalah ibu kandungnya. Jika benar, kenapa ibunya tidak tinggal bersama mereka? Mengapa tinggal terpisah dengan mereka? Mengapa hidup mereka begitu berbeda? Ada segudang pertanyaan yang melintas di kepala bocah itu tapi terasa sulit untuk diutarakan.
Jefri berdiri. Ia memutar tubuhnya secara perlahan, berhadapan langsung dengan Tuan Adam yang hanya terdiam menyaksikan adegan pertemuan antara Ardhilla dan anak yang pernah dilahirkan istrinya itu.
"Tuan, aku serahkan dia padamu. Dia anak yang baik. Dia tidak nakal, kuat dan jarang sakit. Dia juga tidak pernah meminta macam-macam. Tidak pilih-pilih makanan, tapi dia suka sekali paha ayam goreng. Dia juga pandai memainkan biola. Tolong jaga dia dengan baik. Anggaplah seperti anak Tuan sendiri ...." Suara Jefri terhenti, lehernya serasa tercekat. Sulit untuk menyusun kalimat di tengah sesak yang ia rasakan. Menghela napas, ia mencoba melanjutkan kalimat yang belum selesai, "Buatlah dia meraih kebahagiaan dan kesuksesan yang tak mampu kuberikan," lanjutnya dengan mata yang memerah.
"Jangan khawatir! Aku pasti akan menjaganya dengan baik. Sejak dia datang ke sini, dia telah menjadi anakku. Dia akan mendapatkan posisi yang sama dengan kedua anakku," ucap Tuan Adam mengulas senyum lebar yang menunjukkan deretan gigi depan.
"Baiklah ..." Jefri melengos seraya menarik napas panjang, "jika sudah tidak ada yang diperlukan, aku akan pergi."
Kalimat terakhir yang keluar dari mulut Jefri membuat Aldrin terhenyak. Mata anak itu melebar seketika. Kepalanya refleks memutar ke arah Jefri.
Usianya saat ini masih tujuh tahun. Ia tak begitu paham dengan apa yang dibicarakan ayahnya bersama dua orang asing di hadapannya. Namun, Ia mengerti kalimat terakhir yang diucapkan ayahnya mengandung makna jika ayahnya akan meninggalkannya di tempat ini. Tempat yang begitu asing baginya.
"Ayah mau ke mana? Aku ikut!"
Bocah kecil itu langsung memegang tangan Jefri dengan erat. Namun, Jefri melepaskan tangan mungil itu dari tangannya dengan pelan sambil berkata, "Aldrin, bukannya kau mau sekali bertemu ibumu? Sekarang, aku sudah penuhi keinginanmu untuk bertemu ibumu. Kau tidak perlu lagi mengamen setiap hari karena di sini kau akan mendapatkan segalanya yang tidak pernah aku berikan untukmu. Tolong dengarkan kata Ayah! jangan nakal dan jangan malas mandi! Kau juga harus mendengar kata kedua orangtuamu!"
Jefri membelai lembut rambut anak laki-laki yang telah menemaninya selama tujuh tahun. Sepertinya air matanya mulai berproduksi dan sulit untuk ditahan. Ia menggigit bibir bawahnya sambil membuang muka.
Tak mau Aldrin melihat air matanya, pria itu bergegas memutar tubuhnya membelakanginya. Namun, matanya justru bertukar pandang dengan Ardhilla yang melemparkan sebuah senyum tipis. Jefri berusaha menarik kedua sudut bibirnya selebar mungkin, memaksakan diri untuk tersenyum. Meskipun palsu, setidaknya ia masih dapat membalas senyuman wanita yang pernah dicintainya itu. Setidaknya, ia tak terlalu menyedihkan di mata wanita itu.
Aldrin berusaha mengejar dan menyusul ayahnya, tapi sebuah tangan langsung menahannya. Anak itu menoleh ke samping, ternyata itu adalah tangan Ardhilla tengah menahannya agar tak mengejar ayahnya. Aldrin berusaha melepaskan tangan ibunya. Namun, Ardhilla malah menarik bocah itu masuk ke dalam pelukannya.
"Ayah jangan pergi! Ayah jangan tinggalkan aku!" teriak Aldrin. Ia terus meronta-ronta di pelukan ibunya.
"Aldrin, biarkan ayahmu pergi. Kamu tinggal di sini sekarang," ucap Ardhilla yang bersusah payah menahannya.
"Ayaaahh ... jangan pergi! Aku mau ikut." Aldrin mulai menangis.
"Ayaahh!" panggil Aldrin berkali-kali, "Ayah, jangan tinggalkan aku sendiri!" teriaknya lagi dengan bulir kesedihan yang mulai mengalir dari sudut matanyanya.
"Aayaahh!"
Aldrin masih terus memanggil ayahnya. Ia menangis meraung-raung di pelukan Ardhilla. Suaranya menggema seisi rumah. Sungguh sangat memilukan bagi siapapun yang mendengarnya.
Pertemuan dengan ibu kandungnya yang ia impikan selama ini seolah tak berarti. Semangat dan usaha yang ia tekadkan setiap hari demi berjuang untuk bertemu ibunya telah sirna. Ia yang berpikir bahwa ibunya adalah orang miskin yang tak sanggup tinggal bersamanya, ternyata hanya dongeng yang didengungkan ayahnya.
Sementara di seberang sana, Jefri terus menyeret kakinya yang terasa berat. Rasanya ingin berbalik kemudian berlari kembali menemui anaknya dan memeluknya dengan erat. Namun, tak kuasa untuk ia lakukan. Sungguh, benar-benar tak sanggup.
Dari belakang, ia tampak tegar meninggalkan anak itu. Kenyataannya, tak seorang pun tahu jika wajahnya telah diselimuti air mata yang jatuh bercucuran.
Suara Aldrin mulai terdengar parau. Namun, sekuat apa pun anak itu berteriak, tidak akan membuatnya kembali, bahkan untuk menengok ke belakang. Sebab, ia tak ingin anak itu melihat air matanya. Ia ingin anak itu menganggap jika dirinya benar-benar tak merelakannya tinggal di rumah itu. Agar Aldrin bisa memulai hidupnya yang baru.
Jangan menangis anak bodoh! Berhentilah menangis, kumohon! Hari ini mungkin kau tidak terbiasa, tapi besok dan seterusnya kau akan bahagia berada di keluarga kaya ini. Bahkan mungkin akan segera melupakanku.
Di sebuah kamar yang letaknya tak jauh dari ruang keluarga, Naufal berdiri mengintip dari balik pintu kamarnya. Bocah seusia Aldrin itu menyaksikan adegan perpisahan memilukan antara Jefri dan Aldrin. Entah kenapa, hatinya terasa teriris dan matanya pun turut berkaca-kaca.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 158 Episodes
Comments
⸙ᵍᵏKᵝ⃟ᴸMak buaya𝓥𝓲𝓽
😭😭😭 ga kuat nahan air mata baca chapter ini. kirain klo dah baca berulang ga kan nangis lagi, ternyata tetep ngerasain bgt sedihnya jefry dan aldrin yang berpisah. huft.
2024-04-14
1
Nacita
sakit hati bgt aku😭
2024-03-08
0
Her Lina
semoga ayah adam dan 2 saudara tirimu tulus menerima kamu aldrin. kasian ayah jefri 😭
2024-03-04
1