Siluet

Gayathi menatap wajah Delima dengan penuh kasih sayang. Bayi mungil tersebut terlihat sangat kehausan. Wajahnya memerah sehabis menangis dengan sangat kencang. Menahan dahaga dan lapar.

"Maafkan ibu. Aku berusaha secepat kilat untuk mendatangimu. Tentu saja mencuci terlebih dahulu tanganku yang penuh tanah. Membantu ayahmu menanam kentang di kebun kita." Gayathi merengkuh Delima yang tergeletak di pembaringan.

Delima langsung menyambar puting susu ibunya. Menghisapnya tergesa.

"Hei! Hati-hati. Pelan-pelan saja. Tidak ada yang merebut puting susuku selain ayahmu, tentu saja. Itu pun, dia akan mengalah jika kau lebih membutuhkannya." Ujar Gayathi tertawa geli,"tentu saja kau tidak mengerti satu kata pun yang kukatakan padamu. Tapi aku percaya jika aku rajin mengajakmu mengobrol kau akan terbiasa dan lambat laun memahaminya. Anak pintar!"

Delima terlihat asyik masyuk menghisap puting susu ibunya. Perlahan tapi pasti wajahnya tampak mengantuk dan perlahan melepaskan puting susu dari mulutnya. Tertidur pulas. Terlihat sangat damai.

"Kau tertidur?" Ucap Gayathi menciumnya dengan penuh kasih sayang. Beranjak menuju ladang yang berada di samping rumahnya. Meninggalkan Delima yang tertidur pulas.

Suaminya, Perdana tampak tekun menyiangi ladangnya. Peluh bercucuran di sekujur wajah dan tubuhnya.

"Mengapa kau meninggalkannya?" Tegurnya pada istrinya,"aku bisa mengerjakannya sendiri. Kembali lah menyusuinya. Aku tidak tega mendengar tangisannya. Delima seperti sangat kehausan dan kelaparan."

"Dia sudah melepaskan putingku dan sedang tertidur nyenyak." Sahut isterinya.

"Benarkah? Pantas saja aku tidak mendengar tangisannya lagi."

"Apakah kita akan mendapatkan banyak uang pada panen kali ini?"

"Kita akan mendapatkan uang yang cukup. Untuk memanen kembali. Serta menghidupi keluarga kecil kita. Tetapi tidak sebanyak yang kau inginkan."

"Kita sudah lelah menanam. Kita berhak mendapatkan uang yang banyak. Kita berhak menjadi kaya!" Ujar istrinya frustasi,"kita bekerja lebih keras dari orang kaya manapun tetapi mengapa sangat sulit untuk kita menjadi kaya?"

"Jika ingin mendapatkan uang yang lebih banyak kita akan berternak. Bagaimana?"

"Mengapa tidak kau naikkan saja harganya?"

"Ekonomi sedang tidak bagus. Banyak orang terpaksa berhemat. Kita bisa tetap menanam dan mendapatkan sejumlah uang untuk menghidupi keluarga kita saja sudah bagus. Jika harga terlalu tinggi. Bisa-bisa panen kita tidak terserap pasar. Pendapatan kita akan menurun."

"Kau akan beternak apa?"

"Bagaimana jika bebek? Mudah memeliharanya dan harganya juga cukup tinggi."

"Ide yang sangat bagus."

Perdana mengecup kening isterinya. Walaupun kehidupan mereka sangat sederhana tetapi mereka sangat berbahagia.

Perdana membuat sebuah rumah mungil untuk mereka sekeluarga. Di tengah ladang mereka yang cukup luas. Ladang mana diwarisinya secara turun temurun dari kakek moyangnya.

Rumah dengan ukuran 45 meter persegi. Di depan rumah diletakkan balai-balai yang terbuat dari bambu.

Balai-balai mana kerap digunakan untuk bercengkerama bersama bayi perempuan dan istrinya. Sesekali jika keluarga, kerabat dan teman-temannya sesama petani berkunjung. Balai-balai tersebut menjadi tempat yang sangat nyaman untuk mengobrol.

Di sekeliling balai-balai dibuat pembatas tembok yang bisa berfungsi menjadi tempat untuk menaruh kopi atau teh dan atau makanan.

Lantai rumah terbuat dari tanah. Sedangkan dinding rumah tidak dicat. List pintu dan jendela dibuat dari kayu yang dibuatnya sendiri. Bahkan dia membuat pintunya sendiri. Dengan memanfaatkan sisa-sisa kayu yang mudah didapatkan.

Untuk lampu dia menggunakan bohlam yang hemat energi. Televisi empat belas inch merupakan hiburan untuk mereka sekeluarga.

Dapurnya terbuat dari tanah. Menggunakan sisa kayu yang dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Dia juga membeli sebuah kulkas kecil untuk menyimpan bahan makanan. Sebuah kompor listrik yang digunakan melengkapi dapur tanahnya. Jika sedang kehabisan sisa kayu atau memasak makanan yang lebih mudah dilakukan dengan menggunakan kompor listrik dibandingkan menggunakan kayu bakar.

Perdana juga membuat rak piring dari sisa kayu. Begitu pun dengan almari. Semua perabotan di dalam rumahnya dibuat dari sisa kayu yang dibuatnya sendiri.

Ranjang mereka terbuat dari anyaman bambu yang juga buatannya sendiri dilengkapi kasur yang dipesan dari tetangga mereka yang berjualan kasur yang terbuat dari kapuk.

Hidup di desa walaupun pas-pasan membuat hatinya bahagia. Di tengah keterbatasannya. Memiliki banyak hal yang patut disyukuri.

Udara yang bersih dan jauh dari polusi. Makanan yang kebanyakan mereka hasilkan sendiri dari panen ladang dan sawah yang mereka miliki.

Perdana bahkan memancing ikan di sungai jika ingin menikmati seekor ikan bakar atau goreng buatan istri tercintanya.

Sesekali jika mereka memiliki kelebihan uang. Mereka membeli telur dan ayam. Kebanyakan mereka memakan hasil sayur mayur. Tempe dan tahu yang menjadi menu wajib mereka sehari-hari.

Kesehatan didapatnya secara gratis. Dengan begitu saja. Mobilitasnya berladang dan menyawah sehari-hari. Memakan banyak sayuran dan tahu tempe serta ikan hasil tangkapannya. Membuat tubuh mereka segar bugar. Jauh dari penyakit.

Penyakit yang kerap menghinggapi orang-orang kaya karena pola hidup dan makan mereka yang tidak sehat.Tidak terjadi pada kebanyakan dari mereka di desa.

Terbiasa hidup hemat dan terbatas membuat mereka sangat berhati-hati menggunakan uang. Menabung setiap sen kelebihan yang bisa mereka sisihkan.

"Kita tidak perlu berolah raga, diet bahkan mengatur pola makan serta hidup kita seperti orang-orang kaya. Kita harus mensyukurinya. Mendapatkan nikmat yang mungkin tidak dimiliki semua orang." Ujar Perdana yang diikuti anggukan istrinya.

"Tetapi kita tidak bisa membeli emas dan barang-barang mewah. Kita membuat sendiri semua perabotan di dalam rumah kita. Tanpa model yang indah. Kita tidak bisa menikmati hidup seperti orang-orang kaya, pelesiran kemana mereka suka. Menikmati berbagai makanan serta barang mewah." Keluh istrinya.

"Apakah kita memerlukan semua itu untuk bahagia? Lagi pula rejeki setiap orang berbeda. Bagaimana mungkin kita bisa menikmati rejeki dan kehidupan kita jika membandingkan dengan sesuatu yang di luar jangkauan kita? Seperti yang kukatakan. Kesehatan juga merupakan nikmat."

Gayathi menganggukkan kepalanya. Menyetujui ucapan suaminya. Mereka kembali bekerja di ladang. Matahari semakin terik. Saatnya mereka beristirahat dan makan siang bersama.

Gayathi mengambil ikan yang dipepesnya dengan menggunakan daun pisang yang sangat mudah di dapat di desa mereka. Nasi yang dimasak menggunakan rice cooker.

Lalapan segar terdiri dari daun pepaya dan singkong dengan sambal yang diuleknya sendiri. Bawang dan cabai juga mereka tanam sendiri.

Mereka memakan makan siang mereka dengan lahap. Setelah seharian lelah bekerja. Sebuah meja kayu dengan empat kursi di ruang tengah. Menjadi ruang makan mereka yang memisahkan ruang tengah dengan dapur yang dipisahkan dengan ruangan tanpa pintu.

Ruang tamu sendiri terletak di antara ruang makan dan teras.

"Satu hal lagi yang perlu disyukuri tinggal di desa adalah kemudahan memiliki tempat tinggal. Selama kita menempati tanah leluhur kita sendiri atau tanah yang tidak ada pemiliknya. Kita bisa mendirikan rumah di atasnya." Ujar Perdana mencubit ikan pepes yang ada di hadapannya.

"Benar juga. Kalau di kota tidak mungkin semudah disini mendapatkan tempat tinggal."

Perdana menganggukkan kepalanya mendengarkan perkataan istrinya.

Terpopuler

Comments

Aerik_chan

Aerik_chan

1 iklan buatmu kak

2024-07-04

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!