Lima

Daisy membelalakkan matanya setelah mendengar perkataan Ragna. Matanya melotot seakan hendak keluar dari rongganya diiringi nafas yang memburu.

"Kau benar-benar anak idiot yang tak berguna!!" Teriaknya marah, membuat Ragna menghentikan langkahnya.

Gadis kecil itu menoleh ke belakang dan menatap dingin wanita itu. Pupil kupu-kupu hitamnya berubah menjadi merah diiringi asap hitam keluar dari tubuhnya.

Tidak lupa Ragna mengeluarkan tekanan yang membuat Daisy kesulitan bernafas. Seketika suasananya terasa sangat mengerikan yang bahkan belum pernah Daisy rasakan.

Jeremy ikut menoleh dan menatap rendah Daisy. Segera dia menampakkan wujudnya yang sukses membuat wanita itu merinding ngeri. Air matanya mengucur deras dengan tubuh gemetar hebat.

Wajah tampan dengan mata merah menyala. Tatapan matanya yang tajam serta aura yang mencekam membuat wanita itu tersendat-sendat.

"Hanya manusia lemah yang menganggap dirinya suci. Padahal dia hanyalah sampah busuk yang tak berguna," Celetuk Jeremy seraya menatapnya dengan hina.

"Tuan, sebaiknya kau jangan meladeni dia. Biarkan dia bermimpi buruk terus menerus dan menjadi hina," Ragna menyeringai sinis.

"Oho~ Kau sungguh rendahan sekali~" Jeremy berkata sambil menangkupkan kedua tangannya di wajahnya sambil memasang ekspresi ceria. "Tapi manusia ini memiliki aura yang bagus, kebetulan aku sedang lapar."

Jeremy mendekati Daisy yang terduduk sambil memasang ekspresi ketakutan. Dia segera menyerap aura gelap yang terpancar dari tubuh wanita itu.

"Tidak terlalu buruk," Ucapnya sambil menjilati bibirnya sambil menyeringai.

Daisy tersentak lalu mendorong tubuh Ragna cukup keras. Gadis kecil itu kaget dan terhuyung ke belakang sebelum suara pria menyadarkan orang-orang yang ada di sana.

"Daisy, kau tidak apa-apa?"

Ragna menoleh dan melihat seorang pria dengan janggut tipis menghiasi wajahnya. Dalam ingatan pemilik tubuh ini, dia adalah ayahnya.

"Paman, kau tidak apa-apa?" Ragna memutuskan menghampiri Albert yang berusaha bangkit sambil meringis.

Pria itu, Aldi menoleh dan mendapati Ragna menghampiri Albert yang sedang meringis kesakitan.

Seketika wajah pria itu menatap Albert tak suka.

"Aku tidak apa-apa. Sebaiknya kau masuk ke mobil,"

"Kenapa kau disini?!" Bentak Aldi sambil mengacungkan telunjuknya ke arah Ragna yang berusaha membantu Albert berdiri.

"Aku bertemu dengan pamanku yang kebetulan sedang menjenguk keponakannya di rumah sakit. Kebetulan hari ini aku diperbolehkan pulang, jadi aku ikuti dia setelah seharian menjadi gelandangan di sana, mengingat aku tidak ingat apapun dan tak memiliki uang," Ragna menjawab santai yang sukses membuat Aldi tersentak.

Pria itu lupa jika hari ini anaknya pulang dari rumah sakit.

'Aku lupa jika hari ini dia pulang dari rumah sakit. Tapi aku harus mengantar Tasya ke kebun binatang,' Batinnya dalam hati sambil memasang wajah pucat saat melihat tatapan tajam Albert seakan hendak mengulitinya.

"Kau memiliki waktu untuk berlibur dengan keluargamu, tapi tidak memiliki waktu dengan putrimu sendiri. Mulai hari ini, aku mengambil hak asuhnya. Aku bisa menghidupi dan merawat seorang anak, apalagi dia putri dari kakakku yang kalian siksa sampai mati."

Aldi menatap mantan adik iparnya dengan gugup. Dia tau siapa Albert, pria yang sempat menjadi kekasih adiknya yang kini telah pergi sesaat sebelum melakukan acara pernikahan sebulan lalu.

Yang membuatnya gugup adalah, tempramennya yang tidak diketahui. Apalagi setelah kematian kakaknya dan Ragna menjadi idiot, belum lagi sang adik yang kabur bersama pria lain membuatnya berkeringat dingin.

"Aku ikut Paman saja. Lagipula aku juga tidak ingat memiliki seorang ayah," Ragna berkata enteng seakan menyindir Aldi yang kini menatapnya marah.

"Jangan kekanakan begitu! Tasya sangat bersedih karena ingin liburan dan kami sudah berjanji akan mengajaknya hari ini," Seorang wanita paruh baya berkata dengan nada naik satu oktaf sambil memeluk seorang gadis kecil yang menatapnya dengan tatapan tak suka.

"Dan membiarkan seorang anak kecil di rumah sakit seorang diri? Memang keluarga yang baik dan sangat peduli, ya." Tukas Ragna seakan menyindir.

Albert menatap keluarga mantannya yang memilih menyalahkannya dengan dingin, apalagi keluarga itu telah menghancurkan mental kakak dan keponakannya dengan kejam membuat pria itu berdecih sinis. Pria itu ingin sekali membalaskan dendam mereka.

"Aku tak menyangka keluarga pelacur teriak jalang. Aku heran bagaimana mereka mendidik anaknya seperti pecundang dan pelacur. Orang kaya, sih tapi tidak punya attitude yang bagus."

Wajah mereka mendadak pucat, apalagi beberapa orang mulai berkerumun menonton perdebatan mereka, mengingat saat ini mereka berada di depan rumah mewah berlantai dua.

"Ragna, ayo ambil barang-barang milikmu."

"APA-APAAN INI?!!" Albert menjerit marah saat melihat kamar yang ditempati Ragna.

Ranjang kayu dengan kasur tipis yang lapuk tanpa dekorasi apapun di dalamnya. Beberapa pakaian teronggok begitu saja, sebagian besar merupakan pakaiannya mirip dengan kain lap dan bertambal-tambal.

Bau amis dan apek dengan beberapa noda darah yang mengotori lantai maupun dinding. Albert hanya bisa mengepalkan tangannya saat menyadari keponakannya menjalani hidup yang sangat berat.

Ragna mengernyit. Dulu, saat dia hidup sebagai orang miskin maupun sebagai budak, dia hanya mengenakan pakaian compang-camping di tubuhnya. Saat dibeli oleh bangsawan, para budak bahkan termasuk dirinya diberikan pakaian pantas berkualitas terbaik dan makanan enak. Kalaupun menjadi rakyat biasa yang miskin, setidaknya dia memiliki pakaian yang pantas di pakai.

Pria itu memeriksa kamar Ragna, begitupun dengan gadis kecil itu.

"Mereka berkata kalau kakakku sangat boros. Apa maksudnya boros seperti ini? Membelikan pakaian untuk seorang anak saja tidak mampu tetapi membuang uang untuk hal yang tidak berguna saja masih sanggup?!"

Aldi dan keluarga nya hanya bisa memasang wajah pucat.

"Katanya dia akan merawatmu saat aku ingin membawamu pergi setelah kakak ku, ibumu meninggal. Maksudnya untuk menyiksamu, begitu?" Lagi-lagi Albert meraung marah saat melihat bercak darah di lantai kamar itu.

Saat mereka hendak angkat suara, Albert langsung mengeluarkan kata mutiaranya yang sukses membuat mereka tersulut emosi.

"Benar-benar keluarga sampah. Mengatakan keponakanku anak iblis, yang mengatakannya justru lebih rendah dari hewan."

"Kau!"

"Sudahlah, Paman. Sejak dulu keberadaan ku tidak diinginkan di sini. Lagipula kalau aku anak iblis, setidaknya itu lebih baik daripada menjadi anak dari seorang pria yang statusnya bahkan lebih menjijikan dari kecoa," Ragna berkata enteng.

"Aku ini ayahmu!"

Ragna tersenyum sinis, "Sungguh? Kenapa tidak pernah ada dalam ingatanku? Yang aku ingat hanyalah ibu saja."

"Jadi, kau benar-benar tidak memiliki apapun? Bahkan bukti-bukti kelahiran sekalipun? Kau tidak memiliki nama?" Albert meluruhkan dirinya di lantai saat melihat sebuah blanko akte kelahiran yang masih kosong dalam sebuah map.

"Aku tidak tau, Paman. Yang aku ingat mereka hanya memanggilku 'hei', 'anak jalang', 'anak pelacur', bahkan 'anak sialan' atau apalah itu." Ragna menjawab santai setelah mengorek ingatan pemilik tubuh asli ini, "Bahkan aku juga tidak sekolah."

Albert menatap Aldi yang kini pucat pasi, begitu pun dengan keluarganya yang gemeteran saat melihat ekspresi marah pria itu.

"Karena itulah aku ingin membawa satu-satunya peninggalan kakakku. Kau ayah yang tidak berguna!"

'Bugh'

Dengan cepat Albert menerjang Aldi yang diam mematung. Jeritan histeris terdengar memekakkan telinga, membuat Ragna menatapnya malas.

"Paman, hentikan. Menghajarnya sampai mati hanya akan membuatmu kesulitan. Jangan kotori tanganmu dengan darah menjijikkan itu." Ragna berkata santai.

Albert menghentikan kegiatannya dan menatap Ragna yang menatapnya datar. Anak sekecil itu tidak takut dengan kekerasan? Kenapa dia bisa setenang itu?

"Kali ini kau selamat!" Albert menghempaskan Aldi kasar.

"Apakah sudah selesai, Paman? Sebaiknya kita pergi dari sini. Kamar ini membuatku mual." Ragna melangkahkan kakinya dari sana.

"Kau tidak bisa pergi dari sini!" Wanita paruh baya yang tak lain nenek pemilik tubuh ini, Lasmi menatapnya marah. "Kenapa?" Ragna memiringkan kepalanya, "Ingin menyiksaku? Sudah mau mati masih saja bertingkah."

"Kau!!"

Ragna tersenyum sinis lalu menepuk-nepuk punggung wanita paruh baya itu, "Jangan khawatir, aku hanya kasihan dengan Tasya karena perhatian kalian teralihkan padaku."

Lalu Ragna menghampiri Aldi yang meringkuk kesakitan, "Bukankah rasanya menyenangkan? Seperti itulah rasanya. Bahkan kau melakukan dengan sepenuh hati setiap ada kesempatan, Pak Tua."

Tangan kecilnya mengusap wajah Aldi dengan lembut, "Biarkan aku pergi. Kau bisa menghabiskan waktu dengan keponakan kesayanganmu tanpa khawatir dengan keberadaanku yang mengganggu kalian."

Ragna menatap Albert yang masih memasang wajah jeleknya, "Paman, sebaiknya kita pergi dari kandang hewan ini."

Terpopuler

Comments

Cahaya yani

Cahaya yani

sampah teriak sampah

2024-05-28

0

Lina Sofi

Lina Sofi

keluarga sampah

2024-05-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!