"Paman?"
Nina memanggil paman tampan di depannya, yang menatapnya dengan kosong. Ia melambaikan tangannya berulang kali, tetapi pria itu tidak bergeming.
"Paman? Helooo~"
Akhirnya dia menepuk kedua pipi Lyon sambil berjinjit. Lyon, yang tersadar, menatap mata biru bulat Nina.
"Paman gak apa-apa?"
"... Iya."
"Paman bohong!"
Jari mungil Nina menusuk-nusuk pipi Lyon sambil tersenyum.
"Paman sangat aneh. Padahal sakit tapi gak mau bilang. Orang sakit pasti bilang kalau lagi sakit, tapi Paman nggak. Berarti Paman bohong!"
"Hei, anak kecil tahu apa?"
Lyon mengerutkan keningnya, tapi Nina tidak menghentikan jarinya yang menusuk pipi Lyon sambil tersenyum.
"Nina sangat pintar, tahu! Wajah Paman terlihat berbohong! Mata Nina gak pernah salah!"
"Bisa berhenti?"
"Gak mau, soalnya pipi Paman halus dan lembut. Hehe~"
"Ck."
Meskipun Lyon berdecak, dia tidak menghentikan jari Nina yang menusuk pipinya. Rasanya aneh. Dia tidak pernah membiarkan orang lain menyentuhnya, tapi mengapa dia tidak bisa menyingkirkan jari anak ini dari pipinya?
'Hm? Aroma susu. Apa aku salah?'
Lyon menundukkan sedikit kepalanya, mencium aroma anak kecil di depannya. Aroma susu yang manis segera menguar.
"Ah, capek."
Nina, yang berhenti menusuk pipi Lyon, duduk di samping pria itu sambil merentangkan tangannya.
"...."
Padahal Lyon masih ingin mencium aroma manis itu, tapi anak kecil ini sudah berpindah tempat dengan cepat.
'Yah, aku juga tidak punya hak untuk terus membuatnya tetap di sisiku.'
Tak terasa waktu sudah berlalu dengan cepat. Dia tidak sadar bahwa sudah menghabiskan waktu setengah jam dengan anak kecil ini. Sekarang sudah saatnya untuk berpisah.
"Nina."
"Iya?"
Nina, yang sedang memakan sepotong kue, menoleh.
"Kamu bilang kamu mau cari orang tuamu, 'kan?"
"Iya!"
"Orang gila di depan pintu itu akan mengantarmu ke ruangan yang tepat," kata Lyon sambik menunjuk pintu kantornya, yang dijaga oleh asisten pribadinya.
Nina memandang pintu itu, kemudian memandang Lyon.
"Paman gak akan membantuku?"
"Mereka yang akan membantumu."
"Ohhh, begitu!"
Nina tersenyum sambil mengangguk, berusaha terlihat senang, padahal nyatanya dia kecewa.
'Paman gak mau membantuku. Berarti aku bukan keluarganya, ya? Berarti kita cuma mirip aja, 'kan?'
Beberapa saat yang lalu, dia berharap bahwa paman tampan di sampingnya adalah salah satu dari keluarganya, jadi tak lama lagi dia akan bertemu dengan orang tuanya. Namun, sepertinya harapannya tidak akan pernah terwujud.
'Gak apa-apa. Nina bisa cari orang tuaku sendiri, kok! Lagian ada yang bantu Nina juga!'
Setelah itu Nina berdiri dan memeluk kaki Lyon sambil tersenyum.
"Makasih buat kuenya, Paman! Nina pamit dulu. Dadah!"
Lalu Nina melambaikan tangannya dan berlari menuju pintu, berjinjit, membuka knop pintu, keluar dari ruangan dan menutup pintu.
Lyon, yang belum sempat membalas salam perpisahan dari anak kecil itu, menatap kosong ke arah pintu kantornya yang baru saja tertutup.
'Aneh. Kenapa aku tidak rela dia pergi?'
...↬°↫...
Nina memasuki ruangan yang dicarinya tadi sebelum bertemu dengan Lyon. Dia berterima kasih pada seorang pria yang mengantarnya, yang dipanggil "orang gila" oleh Lyon.
"Makasih, Paman! Maaf Nina ganggu waktunya."
Asisten Fai tersenyum sambil sedikit membungkuk.
"Suatu kehormatan bisa bertemu dengan Nona Muda. Panggil saja saya Asisten Fai."
"Ng? Nona Muda? Aku?"
Nina memiringkan kepalanya, berpikir. Dia tidak berasal dari keluarga kaya ataupun terhormat, tetapi dia dipanggil "Nona Muda" oleh paman ini? Kemudian Nina menggeleng keras.
"Paman Fai, Nina bukan nona muda! Nina adalah Nina!"
"Tapi, Anda adalah nona muda, putri Tuan saya, 'kan?"
"Hah?"
"Oho, jangan malu seperti itu, Nona Muda. Baiklah, saya permisi dulu. Semoga hari Anda menyenangkan."
"...?"
Asisten Fai menundukkan kepalanya sambil tersenyum, setelah itu pergi, meninggalkan Nina yang sedang kebingungan.
"Tadi dia bilang kalau aku putri dari tuannya? Ah! Itu berarti...!"
Mata biru Nina melebar. Dia berpikir bahwa paman tadi tahu tentang orang tuanya. Ketika dia akan mengejar Asisten Fai, perhatiannya tertuju pada pintu ruangan yang ada di sampingnya.
'Ke sana atau ke sini? Sana? Sini? Aaah! Bingung!'
Gadis kecil itu berjalan mondar-mandir, antara memilih mengikuti paman tadi atau masuk ke ruangan yang ada di sampingnya.
'Sana. Sini. Sana. Sini. Sana―'
"Ah!"
Setelah berpikir cukup lama, Nina akhirnya berseru, seolah baru saja mendapat petunjuk.
"Pergi ke mana pun sama! Aku pasti bakal ketemu sama orang tuaku! Iya, iya, benar. Kenapa gak kepikiran dari tadi, ya?"
Akhirnya Nina memilih memasuki ruangan di sampingnya, yang berjarak sangat dekat dengannya. Ketika knop pintu terbuka, tampak seorang pria duduk di tempat kerjanya. Dia tersenyum ramah ketika melihat Nina memasuki ruangannya.
"Duduklah."
"Iya. Permisi."
Setelah dipersilakan duduk berhadapan oleh pria itu, Nina duduk dengan wajah malu-malu. Ini adalah pertama kalinya ia bertemu orang dewasa lain selain para suster panti asuhan dan guru-guru di sekolahnya.
"Hai, gadis imut!" sapa pria itu dengan ceria. "Panggil saja Kak Vino, jangan panggil paman, ya. Kalau namamu siapa?"
"Hai, kakak tampan!" balas Nina sambil tersenyum, mengikuti pria itu. "Namaku Nina, Kak."
"Nama yang imut. Ngomong-ngomong, di mana orang tuamu?"
Pertanyaan dari pria itu sukses membuat Nina menghapus senyumannya. Dia tertunduk lesu. Rambut pirangnya yang diikat dua jatuh di bahunya.
"Sebenernya...."
"Ya? Sebenarnya kenapa?"
"Nina ke sini karena ingin mencari keluargaku. Apa Kak Vino yang baik hati bisa membantuku?"
Cling, cling!
Nina memasang tampang imut, mata birunya yang bulat berair.
"Ya~? Ya~"
"...."
'Ah, ini namanya heart attack gegara cinta!'
Vino menyentuh dadanya yang berdebar, wajahnya merona. Ia pun mengatakan bahwa dirinya akan membantu Nina mencari keluarganya.
Ketika mendengar jawabannya, Nina tersenyum lebar. Dia memberitahu bahwa dulu seorang suster panti asuhan menemukannya ketika berumur dua tahun. Saat itu tubuhnya dipenuhi luka, sehingga sang suster membawanya ke panti. Ketika suster akan mengobati luka di tubuhnya, ia melihat kalung liontin merah muda yang terbuat dari batu rodonit.
Nina memperlihatkan kalung liontin yang dibawanya. Ia memberikan liontin itu pada Vino sebagai petunjuk.
Ketika Vino mencoba untuk membuka liontin itu, dia tak bisa membukanya, karena liontin itu digembok.
"Apa kamu punya kunci liontin ini, Nina?" tanyanya sembari memperhatikan liontin di tangannya dengan saksama.
"Sebentar, Kak," jawab Nina seraya merogoh tas ransel yang dipakainya.
Ia mencari kunci liontinnya di kotak pensilnya, di sela-sela buku, namun hasilnya nihil. Dia tak menemukan kunci itu.
"Kayaknya kuncinya ketinggalan di panti, Kak."
"Hmm. Apa kamu tahu isi liontin ini?"
Nina mengangguk dengan semangat dan menjawab, "Isi liontin punyaku adalah namaku."
"Terus namamu?"
"Namaku Nina. Nina Stephanie!"
Pria yang memegang liontin itu membelalakkan matanya ketika mengetahui nama marga Nina.
"Apa? Kenapa margamu Stephanie?!"
――――――――――――――
TBC!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments