Senja Yang Menyimpan Nama mu

Waktu memang berlalu begitu cepat.

Namun yang pergi hanyalah detik-detik di jam dinding—bukan perasaan yang tertinggal dalam dada Marsha.

Sejak kepergian Vincent dari tempat itu, tak ada lagi semangat dalam sorot mata wanita cantik itu. Seolah-olah napasnya ikut tertahan bersama langkah kaki terakhir pria itu. Ia lebih sering termenung, tenggelam dalam pikirannya sendiri, dan sesekali berbisik pelan, “Aku ingin Vincent…”

“Vincent lagi, Vincent terus,” gumam seseorang di belakangnya dengan nada kesal.

Marsha terkejut. Ia langsung menoleh.

“Oh, hai Ki. Namanya juga cinta, sejauh apapun dia pergi… rasa ini nggak pernah ikut pergi,” jawabnya, berusaha tersenyum meski senyumnya hanya kamuflase dari hati yang luka.

Kiki, asistennya yang setia, tahu betul bahwa di balik candaan itu ada kesedihan yang tak bisa ia jelaskan. Ia tak berani bertanya lebih jauh, takut menyentuh luka yang belum sembuh.

Dengan lembut, Kiki menepuk bahu Marsha. “Bu, kalau memang jodoh, Tuhan pasti akan pertemukan kembali.”

Namun, Marsha tak membalas. Ia hanya diam. Matanya kosong, pandangannya tertuju ke luar jendela, jauh melampaui kenyataan.

Hari itu, tak satu pun staf berani menyapa Marsha. Bukan karena membenci, justru karena terlalu menyayangi. Mereka tahu, hati wanita itu sedang rapuh, dan tak ingin memperparah luka yang belum kering.

Mereka tahu, Vincent bukan sekadar nama, tapi harapan yang tak kunjung pulang.

Namun bagi Marsha, semua kata-kata itu hanya gema kosong.

Ia tetap bertahan pada perasaannya. Bukan sekadar cinta—tapi harapan bahwa Vincent adalah takdirnya.

"Ah, apa aku terlalu percaya pada yang namanya takdir?" gumamnya lirih.

Ia tak pernah lupa menyebut nama Vincent dalam doanya

Namun, meski luka telah berangsur pulih dan senyumnya mulai kembali, Marsha tahu bahwa bekasnya tidak akan pernah benar-benar hilang. Setiap kali senja datang dan angin berhembus lembut dari celah balkon apartemennya, kenangan itu kembali menyeruak seperti gelombang pasang yang tak bisa ditolak. Ia mulai belajar untuk tidak lagi mengusir kenangan itu. Ia biarkan mereka hadir, menari dalam pikirannya, lalu perlahan-lahan pergi dengan tenang. Ia menyadari bahwa rindu tidak harus dilawan, cukup dipeluk lalu dilepaskan. Kini, Vincent hanya menjadi tokoh dalam cerita, bukan lagi tokoh utama dalam hidupnya. Ia bukan lagi tujuan, melainkan pelajaran. Dan Marsha mulai menuliskan lembar-lembar baru, dengan dirinya sendiri sebagai tokoh utama.

Di suatu pagi yang cerah, Marsha duduk di kursi rotan favoritnya sambil menyeruput kopi hangat. Di depannya, tumpukan kertas cerita yang hampir selesai ia tulis. Tak disangka, menulis menjadi penyembuh terbesarnya. Dari luka lahirlah karya. Dari air mata, mengalir kata-kata. Ia kini bermimpi bukan untuk bersama Vincent, tetapi untuk menerbitkan kisahnya sendiri, agar setiap perempuan yang pernah patah bisa tahu: mereka tidak sendiri. Marsha pun tersenyum, bukan lagi untuk menutupi sedih, tetapi karena ia sungguh-sungguh bahagia. Akhirnya, ia tidak lagi mengharapkan keajaiban dari Vincent, karena ia telah menemukan keajaiban itu dalam dirinya sendiri. Dan saat sinar matahari menyusup masuk lewat tirai jendela, ia tahu, senja tak lagi menyimpan luka. Senja kini hanya milik Marsha. Dan Vincent, cukup jadi bagian dari cerita lama.

Kini, Marsha percaya bahwa cinta sejati tak selalu harus dimiliki—kadang cukup dikenang, disyukuri, lalu dilepaskan dengan ikhlas dan senyum tenang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!