Niko.
-
-
-
Tidak ada yang menarik dari ruang tunggu sebuah rumah sakit, hanya anggota keluarga berjejer menunggui berita dari petugas medis, putus asa.
Sampai-sampai aku bisa yakin, cuma orang sakit jiwa yang senang berada di sini, dengan aura kesedihan dan kesakitan begitu kuat terasa!
Tidak ada tulang patah, hanya cedera ringan, bagian belakang kepala mengalami benturan keras, pasien belum sadarkan diri. Lamat-lamat, aku mengulangi perkataan Dokter yang menjelaskan penuh perhatian mengenai kondisi Nina.
Aku menghela nafas, Ayah sedang di luar negeri... Ia sudah diberi kabar mengenai situasinya, nampaknya Ayah sudah sudah sangat hafal tentang putri sulungnya yang terkenal suka membuat masalah, karena itulah Ayah menempatkan beberapa bodyguard untuk berjaga-jaga meredam pihak-pihak yang mungkin akan datang meminta pertanggung jawaban, tapi Ayah juga belum tahu secara detil mengenai kronologi kejadiannya. Bagaimana aku harus memberitahunya tentang hal ini?
Sepertinya kakakku sedang bersenang senang bersama pacar barunya.
Mereka sama-sama mabuk, lalu kecelakaan itu terjadi.
Darahku mendidih, membayangkan betapa idiotnya orang itu, mengemudikan mobil saat sedang berada di bawah pengaruh alkohol, dengan kakakku berada di dalamnya!
Aku menengok ke dalam ruangan pasien, Nina masih tak sadarkan diri.
Beberapa orang-orang berjas hitam yang dipekerjakan ayahku nampak menunggu, salah satu dari mereka mendekat padaku dan memberitahu.
"Kami menemukan ini di tempat kecelakaan terjadi." mereka menyerahkan plastik berisi jarum suntik dan obat-obatan terlarang ke tanganku, lalu surat-surat yang sepertinya penting, "Sudah diatur supaya jangan sampai media massa tahu tentang ini, kami juga sudah menyuap saksi mata yang berada di sekitar tempat kejadian... Tuan muda bisa segera laporkan pada Tuan besar mengenai ini."
Aku menatap benda-benda haram di tanganku dengan tatapan hampa, benda-benda ini, digunakan oleh Nina sebelum kecelakaannya...
Gara-gara barang semacam ini, kakakku...
Lalu di saat bersamaan, akupun tertegun membaca keterangan di dalam surat-surat laporan yang disertakan, Nina telah mentransfer sejumlah besar uang untuk laki-laki yang menjadi pacar baru nya ini, lalu ada pula keterangan pembelian barang-barang otomotif yang tidak terbilang murah.
Tidak mungkin Nina yang melakukan pembelian itu untuk dirinya sendiri, aku tahu betul Nina sama sekali tidak ngerti apapun soal mobil.
Dalam hati aku mengakui, aku sangat tahu kebiasaan kakakku yang kalau sudah berpacaran, dia tidak bakal segan-segan keluar uang untuk laki-laki manapun yang menjadi pacarnya.
Nina tidak hanya luar biasa cantik dan punya tubuh sempurna nyaris tanpa cacat, dia juga royal pada laki-laki, selama mereka bisa memuaskan egonya dan dia bisa mengatur mereka seperti barang miliknya sendiri.
Dia tidak peduli berapa yang ia keluarkan.
Tiba-tiba saja, amarah dihatiku membuncah.
Dan aku hanya bisa menggertakkan gigi menahannya.
Memikirkan benda seperti mobil mewah yang diberikan Nina sebagai hadiah pada para bajingan itu, ternyata malah berbalik mencelakakan dirinya sendiri.
Bodohnya dia... dia bisa saja terluka, bisa saja mati!
"Terima kasih Pak, Nanti biar aku yang melapor ke Ayah," tegasku memberitahu, orang-orang suruhan ayahku yang bertugas mengawasi dan membereskan semua kekacauan yang dibuat Nina itupun mengangguk paham sebelum benar-benar undur diri.
Lantas aku mengambil telepon genggamku, lalu mulai menekan tombol dial.
Telepon tersambung dengan suara Ayahku di seberang sana.
"Apakah parah?" Suara ayahku nampak tenang sekali, seolah dia sudah tidak bisa lebih terkejut lagi dengan kelakuan putrinya sendiri.
"Tidak juga, hanya benturan ringan, masa kritisnya sudah lewat, walau dia belum sadar sepenuhnya, orang-orang yang biasanya sudah mengurusnya." ujarku memberitahu.
Ayah kedengaran lega di seberang sana, "Tidak ada media?" Dia bahkan lebih khawatir pada nama baiknya daripada nasib Nina...
Aku menghela nafas.
"Tidak ada, semua sudah beres."
Semua memang sudah beres, kecuali satu hal.
Kurasakan rahangku mengeras.
"Satu saja lagi." Semua kecuali satu.
Ayahku terdiam di seberang sana, "Lakukanlah, Niko, nanti biar ayah yang urus sisanya."
Aku mengangguk, memutuskan untuk mengakhiri percakapan.
-
-
"Aku tidak tahu...GUHH!" Laki-laki itu terhenyak saat aku meninju ulu hatinya.
"Loh, kok bisa tidak tahu..." ucapku gagal paham, "Kan kamu yang mengemudikan mobil itu bersama kakakku..."
Ia terjengkang ke belakang, menimpa tumpukan kayu, "Bagaimana bisa?" tanyaku, tidak terima, "Kakakku gegar otak dan sempat sekarat, tapi kamu cuma lecet, kan konyol."
"Maaf...!" Aku mendengarnya memohon, "Itu kecelakaan, Aku mohon..."
Tidak ada mohon-mohonan, tanganku terus saja bergerak menghajar bajingan ini.
Aku tahu bajingan macam apa dia, aku juga laki-laki.
Bermain-main dengan saudari orang lain, memanfaatkan rasa kesepiannya, meminta hal-hal di luar akal, kemudian kabur di saat dia tidak berdaya,
Itu rendah sekali...
"Sudah tahu sedang mabuk," Aku menginjaknya, menarik dan mematahkan lengan itu.
"Masih berani mengendarai mobil, membahayakan orang lain di sampingmu..." sudah cukup, aku marah sekali.
Laki-laki itu bersimpuh di kakiku, kesakitan dan memuntahkan darah segar, terus saja memohon-mohon.
"Jangan pernah lagi berhubungan dengan Kakakku, jangan hubungi dia, dan jangan sekali-kali lagi berani muncul di hadapannya." kataku, dingin.
Sambil tetap menahan kepalanya dengan kakiku, aku menekan tombol dial di telepon genggam, terhubung dengan Ayah.
"Sudah selesai, aku sudah mencari dan membereskannya."
(To Be Continued....)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments