Selesai mengerjakan tugasnya dengan semangat, Adijaya mendapatkan sepiring nasi penuh berikut lauknya juga disediakan satu kendi air untuk minum. Anak ini makan dengan lahap dan senang, karena didapat dari hasil keringat sendiri. Selain jadi enak di lidah juga memberikan rasa tenang di hati.
Selesai makan dia menghampiri si bibi pemilik kedai yang sedang merapikan perabotan.
"Bibi, bolehkah saya bekerja di sini?"
Si bibi memandangi Adijaya dari atas sampai bawah. Anak ini langsung mengerti sorot mata si bibi yang penuh tanya itu.
"Saya sebatang kara, Bi," ujar Adijaya berbohong, dari pada mengaku bahwa dia anaknya Gandara pimpinan Lima Begal Cakrageni yang sudah terkenal itu. Pasti wanita pemilik kedai ini akan langsung mengusirnya.
Melihat anak yang membutuhkan penghidupan juga sepertinya butuh tempat tinggal. Si bibi merasa kasihan juga.
"Kau tidak punya tempat tinggal?" tanya si bibi.
Adijaya menggeleng.
"Baiklah, kau boleh bekerja di sini. Tapi kau tidur di kedai saja, bagaimana?"
"Tidak apa-apa, Bi, saya senang asal ada tempat untuk istirahat," Adijaya tersenyum lebar. Senyum yang menyenangkan. Indah dipandang.
"Oh, ya, siapa namamu?"
Adijaya tercekat sebentar.
"Ginggi," dia terpaksa berbohong lagi.
Si bibi tampak terkejut mendengar nama aneh yang setahu dia Ginggi adalah nama suatu dedemit (mahluk halus). Adijaya melihat perubahan wajah si bibi yang sepertinya merasa aneh mendengar namanya. Entah kenapa dia asal sebut saja.
"Baiklah," kata si bibi mengenyahkan rasa anehnya. Mungkin namanya memang seperti itu. "Kau boleh panggil saya Sariti, rumah saya di sana,"
Sariti menunjuk ke sebelah kiri. Sekitar sepuluh tombak ke sana terlihat sebuah rumah kayu tidak kecil juga tidak besar.
"Saya tinggal bersama suami saya," lanjut Sariti.
"Baik, Bi, terima kasih sudah menerima saya, sekarang apa yang harus saya kerjakan?"
"Baiklah, kau ambil peralatan makan bekas pembeli lalu seperti tadi, cuci lagi sampai bersih."
Ginggi alias Adijaya mengangguk terus langsung mengerjakan perintah majikannya.
Malam harinya setelah kedai tutup, Ginggi tidur di ruang kosong dekat dapur. Ruang kosong yang kebetulan pas untuk tidur ditambah sudah tersedia sebuah bale bambu. Sepertinya tempat ini untuk istirahat jika kedai sedang sepi pembeli.
Di rumahnya, Sariti menceritakan tentang Adijaya alias Ginggi kepada suaminya yang bernama Barna.
"Aneh namanya," ujar Barna mendengar nama anak itu.
"Iya, apa itu benar nama pemberian orang tuanya?" pikir Sariti.
"Tidak penting lah, yang penting dia baik dan Nyai tidak kerepotan sendiri lagi di kedai,"
Barna adalah seorang petani, jadi dia jarang menemani istrinya di kedai. Dia lebih sering mengurus huma dan ladangnya.
"Kang, bagaimana kalau dia diangkat jadi anak kita saja?"
"Siapa?"
"Ginggi, menggantikan anak kita yang sudah meninggal, mungkin umurnya juga tidak jauh beda,"
"Jangan tergesa-gesa, kita belum tahu benar siapa Ginggi itu,"
"Kelihatannya baik, sih..."
"Nyai baru lihat dia tadi siang, lagi pula Nyai kan sedang mengandung lagi,"
Sariti tersenyum sambil mengusap-usap perutnya yang belum kentara kalau sedang mengandung. Lalu wanita ini merebahkan dirinya ke dalam pelukan suaminya.
***
Esok harinya kembali Ginggi bekerja. Kedai yang berada di perempatan jalan itu sangat tepat. Di sana banyak orang lalu lalang, baik yang jalan kaki atau menunggang kuda atau pedati. Pengunjungnya juga banyak dari orang biasa, pelancong yang kebetulan lewat, petani, juga dari kalangan persilatan.
Dari tempat Ginggi mencuci peralatan makan dan dapur, dia bisa mendengarkan percakapan orang-orang yang sedang menyantap makanan di kedai itu.
"Kabarnya Gusti Panglima Cakrawarman tidak puas atas pengangkatan Raden Whisnuwarman menggantikan Gusti Maharaja Purnawarman," ujar salah seorang pengunjung sambil menyantap makanannya.
"Iya, betul itu!" timpal yang lain yang berada di ujung bangku.
"Kenapa tidak puas?" tanya yang lain lagi.
"Karena beliau merasa paling berjasa atas kegemilangan Tarumanagara," jawab yang pertama tadi bicara, namanya Ki Warih seorang lelaki setengah baya.
"Gusti Panglima Cakrawarman selalu terdepan dalam melebarkan wilayah kekuasaan kerajaan," tambah yang kedua tadi yang menimpali ucapan Ki Warih, namanya Janara. Lebih muda dari Ki Warih.
"Apa mungkin beliau menginginkan jadi Maharaja?" tanya yang ketiga lagi bernama Sutaji.
"Kalau yang itu kurang tahu," jawab Janara. "Cuma, ada beberapa Raja bawahan yang siap mendukung Gusti Panglima,"
"Wah, memberontak?" Sutaji seperti penasaran.
"Sepertinya mengarah kesitu," jawab Ki Warih. "Melihat jumlah wilayah yang mendukung cukup banyak,"
"Apa mungkin kerajaan akan terpecah, misalnya Gusti Panglima Cakrawarman mendirikan kerajaan baru sebagai tandingan Tarumanagara dengan wilayah raja-raja bawahan yang mendukungnya?" kali ini Janara yang bertanya, lebih ke mengira-ngira sebenarnya.
"Bisa jadi begitu," Sutaji angguk-angguk.
"Kamu mendukung siapa, Ki Janara?" tanya Ki Warih.
Janara menghempaskan nafas pelan. "Tidak tahu, karena semuanya menurutku benar,"
"Benar bagaimana?" tanya Ki Warih lagi.
"Gusti Prabu Purnawarman benar, sebagai maharaja beliau mewariskan tahta kepada putranya. Gusti Panglima juga benar, atas jasa-jasanya Tarumanagara menjadi besar,"
Ki Warih manggut-manggut. "Menurut kamu bagaimana?" tanyanya kepada Sutaji sambil menepuk pundak.
Sutaji kaget hampir tersedak. Dua temannya tertawa.
"Saya mah yang penting masih bisa makan dengan tenang, urusan kerajaan biarlah sama yang ahlinya saja," ujar Sutaji.
"Huh! Kamu mah, makan saja yang dipikirkan!" seru Janara lalu terbahak-bahak.
Dari mendengarkan percakapan yang tidak sengaja ini, Adijaya bertambah pengetahuannya tentang kerajaan. Walaupun tidak mengerti sama sekali, setidaknya dia jadi tahu nama raja dan panglima.
Kadang Ginggi alias Adijaya menyimak percakapan sambil menghidangkan pesanan makanan. Atau sambil duduk di belakang meja hidangan menggantikan Sariti ketika pemilik kedai ini ada keperluan keluar.
Selain tentang kerajaan yang selalu jadi bahan utama pembicaraan. Adijaya juga sering mendengar perbincangan antar pendekar dari jagat persilatan. Yang mereka bicarakan tentang jurus, ilmu, ajian, senjata dan kitab pusaka.
Tentang pertarungan, balas dendam, rebutan wilayah kekuasaan, bahkan rebutan cinta sampai harus dengan cara adu kepandaian silat, kanuragan atau kesaktian.
Sehingga dia teringat lagi kepada ayahnya, yang menggunakan kepandaian untuk merampas harta orang lain. Adijaya hanya geleng-geleng kepala. Saat itu, dalam pikirannya tidak ingin jadi orang persilatan. Takut menjadi jumawa lalu menindas yang lemah.
Biarlah dia jadi pelayan kedai saja yang tidak memikirkan hal lain yang tampak berat. Yang dikerjakan hanya mencuci alat makan dan masak, mengambilkan pesanan pengunjung, kadang juga membantu Sariti memasak dan membersihkan dalam dan luar kedai dari sampah ketika kedai hendak tutup.
Sampai satu purnama lamanya, Adijaya betah bekerja di kedai itu. Walaupun sempat ditawari untuk tidur di rumah Sariti, tapi Ginggi menolak.
"Itung-itung buat jaga-jaga!" begitu jawabnya.
Dengan Barna juga sudah diperkenalkan. Suami Sariti itu orangnya cukup baik. Dia senang Ginggi alias Adijaya bisa meringankan pekerjaan istrinya.
***
Dukung terus cersil bernuansa Nusantara!
Saran, like dan vote ditunggu, ya!
Salam Cersil Nusantara!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Jimmy Avolution
Ayo...
2022-05-20
0
dwi sundus
👍👍👍👍👍
2022-05-08
0
Senopati Pajang
strategis
2022-01-16
0