You can close your eyes to the things you don’t want to see, but you can’t close your heart to the things you don’t want to feel.
...***...
Vanina Angelica
Seorang remaja berusia 16 tahun. Saat ini dia masih duduk di bangku sekolah menengah atas kelas dua. Wajahnya tidak begitu cantik, tinggi badannya pun tidak sampai 145cm. Hanya saja dia memiliki kulit yang putih bersih seperti susu dan lesung pipi yang membuatnya terkesan imut. Dia tipe orang yang banyak bicara dan dapat berteman dengan mudah dalam waktu tidak lebih dari satu jam. Dia sangat pintar di semua mata pelajaran, kecuali yang berhubungan dengan angka.
"Kenapa gak ketemu sih jawabannya ! apa jangan-jangan bu guru salah kasih pilihan." decak Vanina menggaruk kepalanya. Merasa frustasi melihat angka-angka di buku tulisnya.
Ya, dia sangat bodoh dalam hitung-hitungan. Pernah dulu dia di hukum oleh guru karena tidak mengerjakan PR matematika. Dia di minta untuk menjengkal lapangan basket di bawah teriknya sinar matahari.
"Ah, jangan sampai kejadian memalukan yang dulu terulang lagi. Semangat ! semangat !" dia mengepal jari tangannya guna menyemangati dirinya.
"Demi ayah dan ibu yang mudah-mudahan sudah di surga." imbuhnya.
Vanina anak yatim piatu. Kedua orangtuanya telah meninggal beberapa hari yang lalu. Dia merasa sangat takut saat itu. Tinggal seorang diri di desa yang terpencil dan terbilang cukup jauh dari keramaian. Dia hidup sebatang kara karena dia tidak punya saudara.
Dua malam dia tidur dalam kesendirian, kehampaan dan juga kesedihan. Lalu tiba-tiba saja seorang pria dewasa datang dan ingin menjadikannya anak angkat.
Vanina menatap pria itu dengan tatapan curiga dan penuh kewaspadaan.
"Maaf tuan Brillio, tapi aku lebih nyaman tinggal disini." jawabnya.
"Nak, jangan takut. Aku hanya gak tega melihat mu tinggal sendirian disini. Kau sebatang kara, orangtuamu baru saja meninggal. Jadi tolong izinkan aku menggantikan mereka." ucap Brillio mencoba untuk membujuk Vanina.
"Tapi kenapa ?" tanya Vanina bingung.
"Karena Wendy dan Maryam adalah sahabat ku. Aku tidak bisa membiarkan anak mereka hidup dalam kesepian seperti ini." jawab Brillio.
Setelah membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mempertimbangkan, akhirnya Vanina menyetujui ajakan Brillio. Kalaupun yang dia temui itu adalah orang jahat, dia pasrah. Toh, dia sudah tidak punya apa-apa lagi. Jadi, dia serahkan semuanya pada Tuhan-nya.
"Nina !!" teriak seorang lelaki sambil menggedor-gedor pintu kamar Vanina yang terkunci.
"Iyaaaa !" sahut Vanina beranjak dari kursi belajar dan bergegas membuka pintu.
"Cepat mandi sekarang ! kau tau kan kalau ini hari Senin." sentaknya melotot tajam. Dia paling benci melihat Vanina yang lambat seperti bekicot. Sejak kehadiran gadis itu di apartemennya, dia merasa seakan tensi darahnya meningkat drastis.
Lelaki itu bernama William Aksendro, atau biasa di sapa Willy (khusus keluarganya saja). Dan orang lain memanggilnya Aksen. Dia berusia 18 tahun. Dia pernah sekali tidak naik kelas karena duka mendalam yang di rasakanya paska sang ibunda tercinta meninggal dunia saat usianya yang ke 8 tahun.
Wajahnya tampan dan rupawan. Dia cerdas dan berbakat dalam segala hal seperti menguasai seluruh mata pelajaran, pandai memasak, bermain musik dan juga membersihkan apartemennya sendiri. Dia tipe orang yang kaku dan sombong. Cuek dan tidak peka. Dia juga sangat pemilih dalam menentukan siapa yang boleh berteman dengannya.
"Iya iya aku mandi sekarang." jawab Vanina sambil mengerucutkan bibirnya dan kembali menutup pintu. Hari Senin, benar-benar hari yang paling menyeramkan baginya. Karena pelajaran matematika, kimia dan fisika hadir di hari yang sama, yakni Senin.
"Sudahlah, pasrah aja. Atau nanti aku menyontek saja lah sama Lola." dia tertawa hambar. Kemudian dia melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa menuju ke kamar mandi untuk segera membersihkan diri. Bisa gawat kalau Willy meneriakinya lagi. Bisa-bisa dia di usir dari apartemen mewah itu dan kembali tinggal sendirian lagi di gubuknya yang reot.
"Andai saja om Brillio juga tinggal di sini. Pasti aku gak akan di omeli terus sama si kiwil itu, huh." umpat Vanina mengutuk Aksendro.
Ya, seandainya Brillio tinggal di apartemen itu juga, pasti hidupnya akan lebih menyenangkan karena ada sosok pria yang menggantikan almarhum ayahnya yang sudah tiada. Tapi sayang, pria dewasa itu tinggal di tempat yang terpisah.
"Kau tinggallah disini bersama Willy. Aku sudah mendaftarkan mu di sekolah yang sama dengannya. Jadi yang akur ya dengan saudara mu."
Itulah kalimat yang di ucapkan Brillio beberapa hari lalu saat pertama kali Vanina menginjakkan kakinya di apartemen Aksendro. Awalnya dia bingung dengan perkataan pria itu. Kenapa ayah dan anak tinggal terpisah ? tapi kemudian Brillio menjelaskan bahwa Aksendro memilih untuk tinggal sendiri karena ingin belajar mandiri. Dan alasan kenapa Vanina tidak ikut Brillio, adalah agar Aksendro tidak kaku lagi terhadap perempuan.
"Haah bahkan bicara tanpa membentak saja belum pernah. Gimana mau deketin, coba ?" gumam Vanina menyudahi ritual mandinya yang tak berlangsung lama. Hanya kurang lebih 10 menit.
Setelah setengah jam, Vanina terlihat sudah rapi dengan seragam putih abu-abu miliknya. Rambutnya yang panjang dan masih setengah basah di biarkan tergerai. Dia tidak sempat mengeringkan rambut karena takut akan di teriaki lagi oleh Baginda Raja, yakni Aksendro.
"Aksen, bolehkah aku menumpang motor mu ?" tanya Vanina saat sudah keluar dari apartemen.
"In your dream." jawab Aksendro ketus dan pergi begitu saja.
(dalam mimpimu)
"Ish, padahal satu sekolah. Satu kelas. Tapi berangkat bersama saja gak mau." Vanina menggerutu kesal. "Untuk apa menunggu kalau ujung-ujungnya aku harus naik bis lagi." umpatnya kesal.
TO BE CONTINUED
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Mayaa😉
ngakakkk🤣🤣🤣
2020-11-05
0
Nisa Nazrillah
guru nya somplak
2020-09-08
0
Yuli
jadi ingat jaman sekolah dulu😂😂😂
2020-08-07
2