Part 3 - KENYATAAN PAHIT

INFO PENTING!

Alhamdulillah, bagian ini sudah direvisi, ya. Semoga lebih baik daripada kemarin. Jangan lupa kritik dan sarannya. Terima kasih. 🙏

----------------------------------------------------------------

Jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari. Hawa dingin menyeruak, menjalari seluruh tubuh. Refleks, tangan Alia bersedekap untuk menahan udara yang menerobos pertahanannya.

"Kamu kedinginan?" Lelaki jangkung bermasker itu menatap tajam ke arahnya. Sesekali, ia membenahi posisi kacamatanya.

"I-iya, Mas. Aku belum makan tadi malam."

Lelaki itu terperangah. Netranya menyelisik, mengarah ke kanan dan kiri. Sedetik kemudian, memberi isyarat kepada Alia untuk mengikutinya.

"Kita makan di sini saja, ya?" ujar lelaki itu setelah berhenti di sebuah rumah makan sederhana.

"Boleh, Mas."

Netra cokelat Alia menyelisik, mengamati bangunan yang tidak seberapa lebar. Daftar menu yang terpampang di depan rumah makan ini mengingatkannya pada suaminya. Ah, entah di mana lelaki itu sekarang.

"Ayo masuk, Al!"

"Silakan!" Seorang perempuan menyodorkan buku menu ke hadapan kami.

"Nasi goreng satu, Mbak," ujar Rian kepada pelayan itu. "Kamu pesan apa, Al?"

"Capcay dan koloke saja."

"Mohon ditunggu!" ujar pelayan itu sambil berlalu pergi.

Interior di dalam rumah makan ini tergolong biasa saja. Namun, kebersihan dan kerapiannya patut diacungi jempol. Alunan musik yang disetel semakin menambah kenyamanan suasana di sini.

"Suapin dong, Sayang." Suara perempuan mengalun lembut di telinga.

"Buka mulutnya. Aaaa ...." Suara bariton itu terdengar tak asing di telinga.

Alia menoleh ke arah sumber suara. Manik cokelatnya terpaku pada pria yang memegang sendok di tangan kanannya. Seorang perempuan berpenampilan modis sedang bermanja-manja dengan lelaki itu.

Perih! Bagai disayat-sayat pisau tajam. Bulir bening menetes deras. Luka di hatinya kembali menganga. Alia bergeming melihat suaminya bermesraan dengan perempuan lain.

"Astaghfirullah. Mas Arya ...," lirihnya.

"A-arya?" ujar Rian terbata-bata. "Kamu harus sabar, Al. Aku yakin suatu saat ia akan menyadari kesalahannya."

"Aku sudah tidak kuat, Mas. Ini menyakitkan!" Suara perempuan itu meninggi beberapa oktaf, membuat beberapa pasang mata menoleh ke arahnya. Refleks, kedua tangannya menutupi wajah dan mengusap sisa lelehan air mata.

Tak berapa lama, Arya dan perempuan itu keluar dari rumah makan. Tanpa membuang waktu, Alia meminta pelayan membungkus semua makanan yang telah dipesan. Sedetik kemudian, ia menuju kasir untuk membayar.

Setelah menyodorkan beberapa lembar uang kepada kasir, Alia berlari kecil agar tidak kehilangan jejak Arya. Kini, jarak antara dirinya dengan Arya terpaut beberapa meter saja. Mereka terus berjalan ke arah barat hingga berhenti di depan sebuah hotel yang tak jauh dari lokasi.

Sejurus kemudian, mereka masuk ke dalam hotel yang bertulis "Sunset Hotel". Tangan perempuan itu melingkar erat di lengan Arya. Sesekali, tawa perempuan itu terdengar ketika Arya melontar beberapa guyonan kecil, lalu tangan kanannya mengusap rambut cokelat wanita di sampingnya.

***

"Selamat malam, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanya perempuan yang duduk di meja resepsionis.

"Saya pesan dua kamar di sebelah orang itu!" Alia menunjuk ke arah suaminya yang baru saja memasuki lift.

"Hah, Bapak Arya? Maaf, Anda siapa?"

"Jangan bertele-tele, Mbak! Kami buru-buru!" Rian membentak perempuan yang duduk di belakang meja resepsionis.

"Maaf, Pak. Kamar di sebelah sudah penuh. Beliau ada di kamar 216. Silakan Bapak naik lift itu! Koper Anda akan dibawa oleh pegawai kami. Selamat malam!" Perempuan itu menyodorkan dua kunci yang bertuliskan ‘218’ dan ‘220’.

Alia memainkan jari-jari tangan. Jarak antara dirinya dengan Arya hanya terpaut beberapa meter. Kemesraan yang mereka umbar terpampang jelas di depan netra perempuan itu. Tanpa pikir panjang, Alia mengeluarkan gawai dan mengambil potret kemesraan mereka hingga berakhir di sebuah kamar nomor 216.

Langkahnya makin gontai ketika Rian menyodorkan kunci bertuliskan ‘218’. Kamar itu berhadapan dengan kamar yang ditempati oleh Arya dan perempuan itu. Gurat kekhawatiran terpampang dari wajah Rian. Ia merasa tidak enak hati dengan Alia. Sedetik kemudian, Rian menyodorkan sisa kunci di tangan dan menyuruh Alia memilih.

"Aku tetap di kamar 218 saja, Mas." Alia menolak halus.

"Apa kau yakin, Al? Aku sangat mengkhawatirkanmu. Aku takut jika kau melihat sesuatu yang seharusnya tidak kau lihat."

"Tidak apa-apa, Mas. Insyaallah aku baik-baik saja," ujar Alia seraya mengulas senyum.

Alia dan Rian berdiri cukup lama di depan lorong kamar. Rian berusaha menenangkan Alia yang tak kuasa menahan tangis. Hati perempuan itu terlanjur sakit. Cinta ini sudah ternoda. Namun, lelaki itu terus menguatkan Alia untuk mempertahankan bahtera perkawinannya bersama Arya.

"Masuklah, Al! Usap air matamu, ya. Tenangkan dirimu sejenak," tutur lelaki itu. "Jika kau ingin keluar, tetaplah bercadar seperti ini agar Arya tidak mengenali dirimu."

***

Perempuan itu merebahkan tubuh di atas kasur. Menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Namun, matanya tak dapat terpejam. Rasa gelisah tiba-tiba menghampiri.

Alia meraih gawai yang tergeletak di atas nakas. Membuka beberapa potret yang tersimpan di galeri. Air matanya menganak sungai. Menyiratkan sakit hati yang tak mampu tertahan.

Beberapa potret kemesraan Arya dengan perempuan itu berhasil menguras emosi. Alia mengamatinya dengan cermat. Tangan kekar suaminya melingkar di pinggang perempuan itu.

Jemari Alia berselancar di aplikasi hijau—whatsapp. Tangannya lihai membuka beberapa daftar pesan. Tanpa sadar, ia mengirim potret itu kepada ibu mertuanya.

Klung!

Gawai Alia berdering. Sebuah notifikasi pesan masuk terpampang di layar. Manik cokelatnya membulat, terfokus pada nama pengirimnya, ‘Mama Mertua’.

[Itu foto siapa, Al? Postur tubuhnya mirip dengan Arya.] Sebuah pesan balasan yang dikirim oleh ibu mertuanya. Alia lupa jika ibu mertuanya selalu terjaga di jam-jam seperti ini.

[Iya, Ma. Itu memang Mas Arya😭.]

[Astaghfirullah! Siapa perempuan itu, Sayang?]

[Itu Anita, sekretarisnya di kantor. Mereka berada di Yogyakarta sekarang. Beberapa hari lalu, Mas Arya bilang bahwa ada pekerjaan ke luar kota. Namun, aku tidak percaya begitu saja, Ma. Setelah membuka gawainya, aku menemukan pesan Anita kepada Mas Arya, Ma. Ternyata, mereka ada janji liburan di Yogyakarta.]

[Keterluan suamimu itu! Mama akan menelepon dia sekarang. Kamu yang sabar ya, Alia.]

[Jangan, Ma! Biarkan Alia menanggung ini sendirian. Insyaallah Alia sanggup, Ma. Satu hal, tolong rahasiakan ini dari papa ya, Ma.]

[Baiklah, Alia. Tidurlah, Sayang! Hati dan pikiranmu perlu diistirahatkan. Assalamualaikum.]

[Walaikumsalam.]

***

Sudah dua hari Alia berada di Yogyakarta. Akhirnya, ia memutuskan pulang. Namun, sampai saat ini suaminya belum pulang. Mungkin, lelaki itu menikmati liburan bersama Anita. Bahkan, Arya tidak pernah memberi kabar sama sekali.

🎧 'Ku menangis membayangkan betapa kejamnya dirimu atas diriku

Kau duakan cinta ini

Kau pergi bersamanya ....

Gawai milik Alia berdering. Terpampang sebuah panggilan masuk dari Rian. Jemari Alia mengusap ke arah kanan, tanda menjawab telepon.

"Assalamualaikum."

"...."

"Apa? Baiklah, Mas. Aku akan ke sana sekarang. Assalamualaikum," ujarnya seraya menutup panggilan telepon.

Jemarinya berselancar pada aplikasi taksi online. Alia memesan taksi dengan tujuan RS. Bhakti Rahayu. Tak berapa lama, taksi yang ia pesan sudah tiba.

Jarum jam mengarah di angka empat, sedangkan mentari mulai condong ke arah barat. Menampilkan sinar kuning yang mendominasi. Jalanan terlihat padat merayap. Bertepatan dengan jam pulang kantor.

"Lebih cepat ya, Pak!" ujarnya setelah melihat plang ‘Bhakti Rahayu Hospital 100m 🔝’.

"Sudah sampai," ujar sopir itu.

"Terima kasih, Pak. Ambil saja kembaliannya." Perempuan berjilbab merah marun itu menyodorkan beberapa lembar uang kepada sang sopir.

Alia berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Menaiki lift menuju lantai dua. Netranya menyelisik, memperhatikan setiap ruangan dokter yang berjajar.

Perlahan, ia mengetuk pintu ruangan yang terpampang sebuah papan nama ‘dr. Rian Andika, Sp.OG’. Namun, tidak kunjung mendapat jawaban. Setelah beberapa kali ketukan, barulah terdengar jawaban dari dalam.

"Assalamualaikum, Dok."

"Walaikumsalam, Alia. Silakan duduk! Jangan kaku begitu, santai saja."

Rian adalah seorang dokter kandungan. Sebelumnya, Alia dan Arya pernah menjalani tes kesuburan di rumah sakit ini. Ternyata, Rian yang menangani permasalahan mereka.

"Bagaimana hasil tes saya, Mas?" Alia mengganti sebutan untuk Rian.

"Sebentar, ya. Saya akan mengambil laporannya." Lelaki itu beranjak dari tempatnya. Mencari-cari sesuatu yang tersimpan di lemari arsip.

Jemari lelaki itu cekatan membuka amplop putih di tangan. Manik cokelat Alia mengamati setiap gerak-geriknya. Namun, air mukanya tiba-tiba berubah. Raut ketidakpercayaan terpampang dari wajah Rian.

"Alia ...."

"Bagaimana hasilnya, Mas?" tanya Alia.

"Em ... begini, Al. Hasil tes ini menyatakan bahwa salah satu di antara kalian mengalami kemandulan."

"Itu pasti aku, ya?"

Rian menggeleng pelan, "Bukan, Alia. Hasil tes ini menyatakan bahwa Arya mengalami kemandulan."

Alia terperangah mendengar penuturan Rian. Tidak dapat dipercaya bahwa suaminya mengalami kemandulan. Namun, Alia berjanji merahasiakan ini dari suaminya. Arya tidak boleh mengetahui kebenarannya.

Tanpa diduga, Alia mengungkapkan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Bersekongkol dengan tim dokter untuk mengubah hasil tes itu. Terbesit keinginan bahwa namanya yang tertulis mengalami kemandulan. Ia terpaksa melakukan ini agar suaminya tidak patah semangat.

"Tolong bantu aku, Mas. Aku mohon!" Perempuan itu mengiba di hadapan Rian.

"Tidak bisa, Al. Ini sangat berisiko untuk rumah tangga kalian dan jabatanku. Jika aku melakukan ini, artinya melanggar sumpah dokter."

"Aku akan membayar biayanya dua kali lipat, Mas. Biarlah namaku yang tertera mengalami kemandulan. Perempuan sepertiku hanya ingin rumah tangga dengan Mas Arya berjalan harmonis." Jemarinya mengusap bulir bening yang meluruh deras.

Terpopuler

Comments

Melisa Author

Melisa Author

Ya Allah.. kasihan banget sih kamu Al? Kamu rela menukar kertas itu. lantas bagaiamana dengan suamimu? akanakah ia tahu pengorbana mu??

2023-05-23

0

sari wahyudi

sari wahyudi

salh satu kebodohan yang mengatasnamakan.jelanggengan rumah tangga🤦‍♀

2021-07-28

0

Bundanya Kevin

Bundanya Kevin

apa ini yg d namakan istri sholehah ,,, tpi adanya cuma novel klw dunia nyata ad gk

2021-05-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!