VARIELLA
Sudah satu minggu, itu berarti juga bertepatan dengan hari pertama aku bertemu dengannya. Hhhh... Si bodoh Alberta itu...
" Hay, El, kau sedang apa?" Tanya Falisya yang baru saja datang, duduk di sebelahku. Aku menoleh, mengerutkan dahi, kemudian tangannya meraih buku yang sedang ku bawa, membaliknya.
" Sepertinya Tuan Harry akan sangat lebih suka jika kau membacanya dengan posisi yang baik," aku hanya menampakkan wajah dengan ekspresi datar.
" Banyak sekali yang harus ku fikirkan akhir-akhir ini, dan semua itu melelahkan, okey?" Kataku.
" Fine, bisa kau ceritakan sekarang, apa yang sudah membuatmu berubah menjadi makhluk dingin mengerikan sepagi ini?" Tanyanya memosisikan diri lebih dekat. Aku menutup bukuku, lalu menarik nafas panjang,
" Teng! Teng! Teng! Teng!..." Lonceng itu berbunyi keras dari puncak gedung sekolah sisi kiri, bebarengan dengan suara ricuh dan langkah-langkah besar para siswa memasuki kelas.
" Mungkin kapan-kapan," jawabku singkat.
"Oh, ayolah..." Bujuknya. Tapi tak lama kemudian guru kami memasuki ruang kelas. Membuat semua orang terdiam, termasuk Falisya.
" Okey, lain waktu," lanjutnya membenarkan posisi ke arah papan tulis. Tuan Holwis mengedarkan tatapannya ke segala penjuru kelas. Dia adalah guru Fisika yang otoriter. Ya, setidaknya, begitulah yang di ucapkan oleh para siswa, banyak dari kontrak belajarnya yang cukup menyiksa.
Yang pasti selain aku, karna aku adalah salah satu murid teladan yang berprestasi, jadi, dia sangat menyayangiku.
Tuan Holwis sendiri juga terkenal sangat disiplin dengan berbagai penghargaan di bidang pemecatan beberapa siswa selama bertahun-tahun. Sangat mengerikan. Jadi saranku, jangan pernah bermain-main.
" Nona Aesyel Variella Quenner,"
" Eh, e, hadir," aku terkejut, mengangkat tangan kananku secara refleks karna Falisya menyenggol lenganku. Aku sadar bahwa sekarang seisi kelas ini sedang menatapku, heh, mata-mata itu benar-benar membuatku sangat-sangat risih.
" Nona Variella," Tuan Holwis membenarkan letak kaca matanya.
" Ku harap jangan lagi melamun sepagi ini, kau tau? Tetanggaku Hellen juga melamun pagi-pagi sepertimu, dan dia mati karna terus saja berdiri di tengah jalur kereta," seisi kelas menertawakanku, huh, persetan. Apa sekolah memang akan selamanya semembosankan ini?
Falisya kembali menoleh ke arahku,
" Dia tidak sedang mengecek kehadiran kita," aku mengernyitkan dahi, meluruskan pandanganku kepada Tuan Holwis. Oh ya, dia sedang membagikan ulangannya minggu lalu.
Akhirnya aku bangkit dan berjalan maju dengan perasaan malasku bersekolah seperti biasanya.
" Bukkk!..." Aku terjatuh. Semua orang tengah menertawakan kebodohanku sekarang.
" Au... Sakiiiit, jangan pernah melamun sepagi ini, nona El..."
Nadanya sangat menjijikkan, rasanya aku benar-benar ingin menggigit kaki jelek yang sudah menjatuhkanku itu. Tapi aku membatalkannya. Aku kembali berdiri, berjalan mendekati Tuan Holwis, menerima kertas ulangan yang ia angsurkan kepadaku.
" Sepertinya kau sedang bermasalah akhir-akhir ini, Nona Variella, datanglah ke ruanganku jika ada sesuatu yang ingin kau bagi denganku," katanya lembut, dia menatapku lekat, lekat sekali, seperti yang ia lakukan biasanya.
Dan, di balik tatapan tajam itu seperti ada sebuah pengharapan yang besar. Sesuatu yang mungkin tak akan pernah di sadari oleh orang-orang, tapi aku dapat menyadarinya. Sisi lemah lembut dari sosok piawai yang terlihat tegas dan kompeten. Aku bisa merasakannya.
" Aku tidak papa," jawabku berbalik menuju meja,
ya... Tidak ada satu siswapun yang mendapatkan perhatian khusus dari master killer ini. Mungkin, bisa di bilang, aku cukup beruntung.
" El," Tanya Falisya dengan tatapan yang memuakkan.
" Aku hanya kurang fokus," jawabku. Falisya melihat isi kertas ulanganku. Empat. Itu adalah nilai terburuk sepanjang diriku duduk di bangku sekolah.
Selama pelajaran aku terus diam dalam lamunan. Aku teringat mimpi-mimpiku, dan juga, kejadian-kejadian aneh yang selalu mengikutinya.
🌀🌀🌀
Kami berjalan menuju kantin sekolah. Mengambil jatah makan siang yang biasanya akan membosankan. Itu yang selalu kami dapatkan sebagai kelas junior. Sesuatu yang selalu penuh dengan serat yang sulit untuk dicerna oleh pencernaan.
Aku duduk bersebelahan dengan Falisya. Tempat duduk di ruang makan ini pun juga dibagi, antara area bagi siswa junior, yaitu kelas satu dan kelas dua, dan area bagi siswa senior, yaitu kelas tiga dan kelas empat.
Aku tidak tau mereka mendapat ide seperti itu dari mana. Bahkan jika aku dimintai pendapat tentang sekolah ini, menurutku gedung sekolah ini sudah saatnya untuk dipugar. Atau dialih fungsikan menjadi museum dan ditutup. Bukannya terus berstatus sekolahan dengan meninggalkan kesan horor dan misterius.
Bangunan ini lebih terlihat seperti Kastil Drakula reot atau mungkin sampah lebih tepatnya, di antara ratusan bangunan modern lainnya. Dominan warna coklat keemasan menyedihkan dan kesan mistis yang bahkan membuatku memandangnya saja malas.
Aku sampai heran kenapa bangunan busuk seperti ini masih memiliki banyak peminat, seperti kedua orang tuaku, atau Aleta. Membingungkan.
" El,"
" Hem," aku mengangkat kepalaku ke arah Falisya, mulutku masih penuh berisi mie. Dia hanya menatapku, tapi aku tau apa arti dari tatapan mata itu. Aku buru-buru menelan makan siangku. Lalu menegak sedikit limunku yang sudah tidak terlalu dingin.
" Berhenti dengan tatapanmu yang sangat tidak mutu itu, okey," pintaku.
" Tolong mulailah ceritamu, aku bahkan tak pernah tau kau sungguh bisa menciptakan nilai di bawah tujuh seumur hidupmu di sekolah," jawabnya terkejut. Dia memang sangat mengerti kapan aku sedang tidak mood. Ada sedikit kesan khawatir dari nada bicaranya
" Aku tau, kau tau aku tidak sebodoh itu kan Fal," kataku. Falisya mulai jengah.
" Hufff... Jadi begini Fal, aku, aneh," terkaku dengan nada lesu.
" Yeach, memang, kau baru menyadarinya?" responnya. Hm... Aku tersinggung. Tadi dia yang berusaha membuatku untuk bercerita, dan sekarang, dia sepertinya hanya menganggap omonganku adalah lolucon bodoh.
" Aku aneh, kau tau?" Ulangku, berdiri, mengangkat ke dua tanganku setinggi pinggang.
" El, apa yang kau maksud, ayolah... Aku tidak mengerti, sedikit pelankan suaramu jika tidak ingin menjadi pusat perhatian di sini," jawabnya, aku mendengus dan kembali duduk.
" Aku akan memperlihatkan sesuatu kepadamu," kata ku. Geram dengan responnya.
Aku memang tidak pernah mencobanya secara sengaja, tapi sepertinya, aku memang bisa sedikit mengendalikannya secara sadar.
" Yeach, okey," beonya tak yakin, mencoba percaya.
" Perhatikan, tapi jangan berteriak atau mengeluarkan suara apapun," aku terdiam.
" Apa?" Tanyanya penasaran karna tak kunjung terjadi apa-apa.
" Kau harus berjanji, kawan," kataku menatapnya.
" Okey, aku berjanji.." jawabnya, aku tersenyum.
Ini bukanlah sesuatu yang pantas untuk di jadikan alat bermain-main, aku sepenuhnya tau tentang hal itu. Tapi Falisya penasaran.
Aku takut kehidupanku setelah ini akan menjadi sekacau kehidupan Harry Potter dalam buku yang sering ku baca itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments