Kalo di hitung-hitung, aku sudah hampir 4 hari 5 malam di rumah sakit ini. menjadi pasient tuh kerjanya cuma makan, minum obat, rebahan, ya gitu terus aja sampai mau gila karena bosan.
seperti biasanya semuanya terasa sangat membosankan hingga tiga orang yang menjadi tamu keluargaku beberapa hari lalu kini kembali datang menemui kaluarga kami dirumah sakit.
mereka datang bertiga, kusalimi mereka dan mengucapkan terimah kasih karena telah menjenggukku tapi kata yang terlontar dari mulut lelaki dewasa yang ternyata bernama Bagaskara membuatku tercenggang, bagaimana tidak jika lelaki itu dengan entegnya berkata
"Tidak, kami tidak merasa direpotkan karena sangat wajar jika calon mertua menjengguk menantunya kan?" ucap om Bagas dengan mimik wajah yang seakan dipaksakan untuk bahagia dan menggucapkan kalimat nista itu.
Aku yang mendengar itu tentu saja syok. seingatku, aku yang sakit tapi dia bilang menantunya. "mantunya siapa sih?". itu om Bagaskara sedangkan anaknya juga tidak kalah anehnya.
dari awal pertemuan kami, wajahnya terus saja datar seakan penuh dengan derita, matanya juga masih menunjukkan ketidak sukaannya padaku. aku tidak peduli dia suka atau tidak tapi yang aneh adalah, sedari awal kami ketemu, dia sangat jarang membuka mulut apa lagi bersuara.
aku pasti sudah yakin jika dia bisu jika tidak ingat dulu dia pernah menggucapkan namanya, tapi rasa curiga jika lelaki itu bermasalah dengan suaranya masih ada.
Seingatku Kakak-kakakku tidak ada yang pernah belajar bahasa isyarat dan aku juga belum pernah belajar bahasa isyarat. dalam benakku terbersik, "bagaimana caranya berama tamah dengan lelaki gagu ini?" pikirku sambil menatapi dia dengan intens.
Tidak kunjung mendapat jawaban jadi akhirnya aku kembali mengarahkan wajahku untuk bersitatap dengan om Bagas dan seperti biasa aku hanya menunjukkan cenggiran bodohku lalu berkata
"Heheh iya om" ucapku singkat padat namun tidak jelas
"Jadi bagaimana kondisimu nak.?" tanya tante Mia dengan suara lembutnya, tante Mia adalah istri dari om Bagas. Wajah tante Mia itu masih sangat cantik walau kini garis-garis halus yang menunjukkan usianya.
"Alhamdulillah baik tante, besok insya allah saya sudah pulang kok" Ucapku dengan wajah ceriah.
"Alhamdulillah" Ucapnya namun tidak sejalan dengan perasaannya.
"Jadi bagaimana kamu masih ingatkan kesepakatan kita" kata om Bagas tanpa aling-aling aku kan binggung.
seigatku kalo proposal kan harus ada pendahuluan, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat nah ini apa?. kesepatan apa dia bilang?, tapi karena penasaran dan tidak tahu harus bilang apa akhirnya kata yang kulontarkan cuman
"He?" Aghh aku tidak tahu kata jenis dan bahasa apa itu yang jelas kata itu bisa menunjukkan keterkejutanku.
"Segeralah sembuh" Ucap om Bagas lagi. aku yakin dari ucapannya, jika om itu skripsi sudah sampai bab penutup tanpa pembahasan. ucapan om Bagas itu tidak jelas jadi yang bisa kulakukan kan hanya senyum formalitas lalu berkata.
"Hehehe iya om insya allah" Kataku.
"Kami sekeluarga sebenarnya... " Ucap om Bagas tapi belum sempat om Bagas menyelesaikan ucapannya ayah sudah mengintrupsi dan berkata
"Kau sudah sangat lancang Bagas, kau apa tidak lihat kondisi anakku saat ini!" Ucap ayah dengan wajah dan tangan yang ikut menggeras hingga urat-urat di tangan tuanya mulai terlihat.
"Lancang seperti apa maksudmu?" Ucap om Bagas dengan kondisi yang sama dan suara yang sama tinggi seperti ayah.
"Itu hanya perjanjian lama antara orang terlebih dahulu sebelum kita, jangan libatkan anak-anakku" Ucap ayah dengan wajah yang mulai melemah dan kulihat tangganya juga sudah mulai mode normal seperti biasanya.
"Kalau bukan anakmu dan anakku siapa lagi? cucu atau cicitmu iya? Kau saja orang yang jelas mendengar perjanjian itu enggan apa lagi penerus kita yang entah kapan itu ada" Kata om Bagas tanpa menghilangkan urat dilengannya begitupun dengan suara tinggi kala itu.
"Janji adalah janji sampai matipun itu tetap akan berlaku Anggara dan jika tidak sekarang kapan lagi?"
"Iya tapi anakku terlalu mudah untuk anakmu" Ucap ayah masih mempertahankan pemahamannya tapi hingga sampai sejauh ini pun aku belum menggerti point inti pembicaraan mereka.
Perdebatan terus berlanjut, om Bagas dan Ayah seakan tidak ada yang ingin menggalah, hingga om Bagas kembali berujar
"Apa salahnya toh setelah menikah anakmu juga masih bisa melanjutkan pendidikannya, aku hanya punya satu anak dan jika tidak sekarang kapan lagi? anakku juga sudah sangat matang, dia juga sudah sangat sanggup menghidupi anakmu" kata om Bagas yang kekeh dengan keinginannya, belum juga ayah bersuara lagi-lagi om Bagas berkata
"Apa yang kau takutkan Anggara?, atau jangan-jangan kau tidak ingin karena anakku hanya prajurit dan bergaji kecil iya?" bentak om Bagas tanpa merendahkan nada suara apa lagi menghilangkan urat-urat di tangan tuanya.
Ayah dan om Bagas masih beradu pandang, tapi dari perkataan om Bagas aku baru tahu jika anaknya itu berprofesi sebagai seorang prajurit.
kuakui penampilannya memang mendukung menjadi seorang prajurit. tubuhnya tinggi tegak menjulang, berotot tapi wajahnya keras seperti otot tangannya yang ikut menggeras sedari tadi.
Mendengar kata itu semuanya yang berada di ruang rawatku semakin bungkam, bahkan bang Adi yang biasanya ikut andil bersuara malah memilih memalingkan wajahnya seakan tidak sanggup melihat perdebatan ayah dan om Bagas.
Ibu, kak Diba dan tante Mia hanya bisa menundukkan kepalanya seakan enggan ikut campur dengan pembicaraan dua lelaki lanjut usia itu. Jangan tanyakan tentangku karena, aku terlalu apatis dengan semuanya sehingga lebih memilih menyibukkan diri dengan gadgetku ditangan.
Ragaku memang masih disana namun pandangan dan pemikiran melayang bersama jari jempol turun, naik menscroll layar gadget begitu seterusnya selama perdebatan itu, toh apa yang bisa kulakukan coba?.
Membunyikan lonceng lalu berada di tengah-tengah ayah dan om Bagas terus ngangkat papan nilai skor perdebatan gitu? Please deh, kurasa memang apa yang kulakukan saat ini kurasa yang paling benar.
Aku begitu terhanyut dengan apa yang kulihat di sosmed, tanpa ku sadari kak Diba mencubit tangan yang di hiasi selang infus sehingga membuatku menjerit kesakitan dan dengan refleks melemparkan gadget hingga terbanting ke lantai.
kini semua mata kembali memperhatikanku. Di tatapi oleh semua orang dengan pandangan yang berbeda-beda aku hanya bisa menunjukkan barisan gigiku lagi dan lagi.
Baru saja akan bertanya pada kak Diba dan menunjukkan aksi protesku tapi tiba-tiba sosok maskulin, berwajah tegas, juga berotot itu menjulurkan gadget hingga membuatku beralih pada sosok yang memilih tak bersuara sedari tadi.
Kuperhatikan gadget dengan seksama dan setelah lama bungkam kata pertama yang keluar dari mulut adalah
"Ighh kak Diba, gara-gara kakak ni gadgetku jadi lecetkan! Igh pokoknya Ira ngak mau tahu kak Diba harus ganti" Ucapku sembari melipat tangan di dada.
"Kamu yaaaaaaa"
"Aduduuddddu ayahhhhhh" jeritku melengking saking sakitnya cubitan kak diba.
"Sakit ngak? sakit ngak? rasain ini" Kata kak diba dengan penuh semangat.
"Ayah, anaknya gila adudududu" jeritku sambil berusaha menepis tangan kak Diba.
Perlu kuingatkan sekali lagi jika kak Diba ini karakternya ya mirip ibuku yang judes, cerwet, dan suka main tangan, jadi setelah mendengar perkataanku dirinya malah terlihat semakin semangat untuk menyubitku di tempat-tempat tertentu secara acak.
Cubitan kali ini lebih sadis dari sebelumnya saking sadisnya tanganku malah menggeluarkan darah dan darah itu terlihat jelas di selang infus yang kini menghiasi tanganku namun bukannya mengakali sehingga darah itu meghilang kak Diba malah sibuk berteriak meminta bang Adi untuk menolongnya.
Sudah sesuatu yang wajar jika Kak Diba yang bisa menanggani infusku tanpa meminta bantuan dari perawat rumah sakit tapi, sehebat-hebatnya dia masa dirinya tidak bisa menemukan urat yang benar untuk menancapkan jarum infus dan itu terjadi tidak sekali pemirsa tapi berkali-kali.
"Eghh gadungan percuma gelarnya spesialis adudu kalo ngak bisa"
"Diam"
"Ayahh aduduu"
"Kak diba berhenti"
"Waaahh" Jeritku ketika dengan sadis jarus menembus kulitku
"Kalo ngak tenang nancapinnya susah"
"Alasan kak diba memmm aaaghhh sakit bego" Kataku kasar ketika jarum ditancapkan lagi dengan kondisi yang sama
"Makanya tenang jadi orang kok aira diam kalo ngak semua darahnya ku keluarin sampai habis" Bentak kak diba padaku.
"Ayahhh" Rajukku manja
"Adek aira tenang yaaa" Hibur ayah dengan sayang dna sangat lembut
Setelah berkali-kali dicoba dan hasilnya gagal akhirnya selang infus itu berhasil juga dipasang, seharusnya aku bernafas lega dan bahagia karena rasa sakit suntikan jarum suntik telah berlalu tapi nyatanya keberhasilan itu membawa malah petaka untukku, iya infusnya memang berhasil dipasang hingga cairan infus itu kembali berhasil menyatu dengan darahku tapi heii haruskan dipasang di kaki?.
Adakah tempat HAM menggenai kejahatan kakak kandung? aghh aku ingin melaporkan kak Diba jika ada, tetes demi tetes terus meloncati muara mata hingga sukses membasahi wajah dan menampakkan wajahku yang sudah sangat kacau bahkan lebih kacau dari sebelumnya, MEMALUKAN SUNGGUH-SUNGGUH MEMALUKAN.
demi jinnya aladdin yang bewarna biru itu kak Diba sekarang ini membuatku frustasi bog yaaa itu, antara malu, ingin marah, dan ingin merutuki kak Diba namun semuanya hanyalah angan-angan semata.
Rasanya aku begitu menderita sedangkan pelaku dengan santainya menjulurkan lidah dan hal itu menbuatku semakin menjerit dan senggungukan di dalam pelukan ayah.
Ayah tidak hanya memelukku bahkan beberapa kali ayah mendaratkan ciuman dikening lalu membisikkan ayat-ayat suci agar jiwaku tenang tapi bukannya teralihkan aku merasa seperti orang kesetanan karena dibacakan ayat kursi oleh ayah Sumpah!!
Hal itu sudah berlalu dan hari ini adalah hari kebebasanku dari ruang inap yang membosankan.
Aku sudah tidak sabar menjalani aktivitasku seperti biasanya apa lagi kini aku akan menghadapi ujian sekolah dan nasional dug sungguh kedua tes itu menentu masa depanku dan teman-teman. Pernah terbesik protes dalam benakku jika rasanya sangat sia-sia kami sekolah bertahun-tahun jika hanya hasil dari kegigihan kami bersekolah hanya dituliskan lewat selembar kertas bener ngak sih? tapi ya mau menyampaikan aspirasi pada siapa coba? jika buyut-buyutku saja mendapatkan hal yang sama setelah bersekolah!.
Hari-hari yang dinantikan akhirnya tiba, aku dan teman-teman seangkatan kini harus melewati UAS lalu berlanjut dimana kami juga akan menggikuti UN, UN kali ini cukup menegangkan memang karena kini semakin canggihnya teknologi maka untuk menyelesaikan pendidikan akan semakin sulit dan sialnya angkatanku yang menjadi kelinci percobaan. Bagaimana tidak kini UN sudah diadakan dengan sistem online.
Aghh boro-boro nyontek atau berbagai jawaban aku menyelesaikan 1 soal saja seperti dikejar valak sehingga aku sendiri tidak percaya diri apakah jawabanku benar adanya atau tidak arggh tapi biarlah. lirik lagu dari virgolah yang kini menjadi prinsip juang kami semua, iya liriknya yaitu:
"Setidaknya diriku telah berjuang, meski tak pernah ternilai dimatamu" ya kini kami hanya bisa pasrah menanti hasil dari kerja keras kami. Kami semua rasanya legah karena ujian telah berakhir tapi begitu kami semua dirindung rasa khawatir dengan nilai yang akan kami peroleh.
UAS dan UN akhirnya berlalu kelas tiga mendapatkan minggu tenangnya. Hal itu membuat kami anak kelas 3 bebas untuk tidak masuk sekolah seperti itu sih sebenarnya tapi untukku dan anggota OSIS lainnya, masih kami diwajibkan datang kenapa ya karena kami akan melepaskan tugas dan memilih anggota OSIS lain untuk mengantikan peran kami.
Rapat kali ini cukup panjang pembahasanannya karena kami harus mendiskusikan pemilihan calon ketua OSIS, mengadakan kegiatan perpisahan selain itu kami juga harus menyelesaikan pembahasan mengenai kegiatan PORSENI (pekan olahraga dan seni) yang akan diperlombakan.
Rapat yang kami lakukan cukup alot, detik demi detik berlalu menegangkan, serasa melelahkan, tidak terlupakan semuanya menggunakann cukup banyak tenaga.
Otak kami digunakan untuk menciptakan kalimat-kalimat rasional dan bibir kami digunakan untuk menyampaikan hasil kerja otak, kuping berfungsi menggelolah penolakan dan menerima sanggahan lalu kembali otak berputar untuk menemukan titik akhir dari perdebatan kami ini.
Semuanya telah selesai kami bahas satu persatu dan mendapatkan persetujuan bersama hingga tiba saatnya kami membahas mengenai perpisahan, nah disitu masalah utamanya.
Begitu banyak saran yang kami tampung misalnya saja dalam perpisahan kami, ada beberapa teman yang mengginginkan acara prom night, ala-ala wisuda, dan yang terakhir ada yang mengiginkan kami mengadakan syukuran ala kadarnya saja lalu menyantuni anak yatim.
Jujurnya aku lebih setuju dengan saran sungguh muliah niat itu tapi mau dikata banyak alibi yang menentang hal itu, rapat kami berlajan lama dan penuh dengan tarik urat untuk mempertahankan pendapat masing-masing namun pernyataan terakhir membuat kami semua bungkan, Edo yang menjadi perwakilan kelas XII IPS 2 berkata.
"Ngak usah pusing mikirin acara perpisahan gede-gedelah yang harus kalian pikir itu kalian semua yang ada disini lulus kagak? ngak etis banget, namanya acara pelepasan tapi banyak diantara kita yang bersedih karena tidak lulus, toh kita pisah untuk bertemu lagi besok-besok makanya ada yang namanya reunian tapi kalo emang kalian cuman mikirin hari penentuan kalian sendiri dan say good bye sama teman seangkatan setelah lulus gua diam dan ngikutin alur aja" katanya enteng didukung dengan wajah cueknya.
Karena kata-kata edo itu fiks kami hanya akan mengadakan syukuran sederhana lalu menyatuni anak-anak yatim yang membutuhkan uluran kami dan jika hasilnya melimpah akan kami sumbangkan lagi ke Palu dan Donggala.
Waktu telah menunjukkan pukul 03:35. Sekolah masih terbilang ramai karena persiapan kegiatan pekan olahraga dan seni atau "Porseni" antar kelas kala ini.
Aku sudah meminta dijemput sedari tadi dan tidak butuh waktu lama untuk menunggu seseorang yang akan mengantarku pulang, ternyata yang menjadi supirku kali ini adalah oleh orang yang sangat di harapkan kak Diba.
Memikirkan hal jahat tanpa sadar aku tertawa lepas dan tentu saja membuat bang Angga melirikku dengan dahi berkerut lalu dengan pelan akhirnya dirinya berkata
"Aira baik-baik saja kan? Ngak kesurupan kan? Apa abang perlu menggantar aira ruqiah dulu?" Tanyanya beruntun sembari curi-curi pandang padaku karena kini memfokuskan mobil merayap di sela-sela mobil yang lain.
Dari ucapan itu semua akal jahatku akhirnya musnah dan kini aku benar-benar percaya jika jodoh adalah cerminan dirimu buktinya Bang Angga dan Kak Diba sama-sama menjengkelkannya.
Kesel dengan perkataannya aku bersedekap sambil melototinya hingga tanpa sadar aku melamun entah sampai mana dan suara dan perkataan bang Anggalah yang menyadarkanku.
"Jangan diperhatikan terus, tar kamu cinta" katanya dengan mimik wajah jenakanya. Tidak ingin kalah akhirnya aku memilih ikut permainannya terlebih dahulu dan berkata
"Mang udah cinta kok" kataku langsung tanpa maksud apa pun namun ternyata candaku ditanggapi serius oleh bang Angga.
ketika aku akan turun tiba-tiba tanganku dicekat oleh bang Angga. Dengan tulus akhirnya aku berkata
"Aira cuman becanda kok bang! Aira tahu betul siapa wanita yang abang perjuangkan" Kataku sok bijak.
"Aira" Katanya gamang, layaknya ikan bang Angga memang membuka mulut namun tidak menggeluarkan sepatah katapun lagi.
"……" Seperti sebelumnya bang Angga tak jua bersuara, dirinya hanya menatapku dengan intens lalu menampilkan senyum kecutnya.
"ingat bang kak Diba itu ibarat layangan yang sangat bagus jika abang terlalu bodoh untuk melepaskannya tentu banyak yang akan mengejarnya, dan aku dengar ayah akan menjodohkan kak Diba dengan anak om Bagas jadi jika tidak sekarang maaf bang, Abang mending pergi jauh sekarang juga sebelum abang sakit hati dan patah semangat"
Aghh seharusnya aku membuat kak diba menjerit-jerit sedih tapi yang kulakukan malah membantunya memilih cerita cintanya. menyesal sih tapi biarlah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Bahrul Ulum Mudin
ceritanya di perbaiki lagi ya jg terlalu berbelit2 dan jg di ulang2 jadi baca nya bosan yg ada cpe sdri ok
2022-03-03
0
Aden Boy
Angga sbnrnya suka Aira y thor
2021-12-28
0
Marny Rahman
bosennn di awal terllu pnjg
2021-12-09
1