Binatang Buas

(Warning: 18+)

P.O.V. Emma

"Kamu mencari ini, sayang?" ujar William dengan suaranya yang aneh-aneh. Aku menelan ludah ketakutan.

"Tidak, Emma, tetaplah kuat," dalam hatiku.

Aku mengambil napas dalam-dalam dan berbalik. Aku menatap matanya dan berkata dengan tegas, "Bagaimana kamu bisa memiliki ponselku?" William mengangkat alisnya dan menatapku dengan intens. Aku tidak akan takut padanya apapun yang terjadi. Aku tidak bisa menghabiskan sisa hidupku dengan pembunuh.

Dia membuka mulutnya untuk berkata-kata, tapi aku segera merebut ponselku dari tangannya dan langsung berlari keluar dari kamar.

Aku kembali ke kamar tidur kami. William hanya mengikutiku dengan tenang. Aku pergi ke lemari dan mengambil gaun tidurku. Aku masuk ke kamar mandi sambil memegang ponselku erat-erat. William hanya diam dan menatapku dengan mata elangnya. Aku mengernyit.

"Mengapa dia sangat tenang?"

Aku mengabaikannya karena aku benar-benar tidak punya waktu untuk menguraikan perilakunya yang aneh. Aku segera menutup pintu dan mengunci pintunya. Aku segera menekan nomor ayahku.

~Suara Dering

*Ring Ring*

"Papa, angkatlah, tolong," aku menggigit bibirku karena aku sangat gugup saat itu. Setelah beberapa kali berdering, panggilan itu berakhir. Aku mendengus kesal.

"Pasti dia sedang tidur, bodoh. Siapa yang akan bangun pada jam segini malam? Aku harus menelepon Mark," aku segera menelponnya.

Mark adalah temanku dan rekan John. Dia juga bekerja di Badan Intelijen.

~OTP

"Halo."

"Mark, ini aku Emma."

"Oh Tuhan, Emma! Bagaimana kabarmu dan di mana kamu b-," Mark bicara dengan nada khawatir tapi aku langsung memotongnya.

"Mark, tolong bantu aku. William membunuh John. Dia memaksa menikahiku sambil mengancam akan menyakiti orang tuaku. Aku sangat ketakutan, tolong...," aku tak bisa mengontrol diri lagi dan mulai menangis. Aku menutup mulutku dengan telapak tanganku agar William tidak mendengar.

"Jangan menangis, Emma. Dengarkan aku sekarang. Besok kamu akan membawa William ke Starbucks. Aku dan seluruh timku akan berada disana. Cari alasan untuk meninggalkan William untuk beberapa menit dari pengawasannya. Aku akan segera membawamu pergi dari sana dan mengawalmu dengan aman ke bandara. Kemudian kamu akan naik pesawat ke Paris dan langsung meninggalkan Amerika. Paham?" dia menjelaskan rencananya.

"Baiklah, tapi bagaimana dengan William?" tanyaku dengan suara gemetar. "Jangan khawatir tentang dia. Lakukan apa yang kukatakan," dia meyakinkanku.

"Baiklah, bye Mark aku harus menutup teleponku sekarang."

"Sampai jumpa manis. Hati-hati," dia bicara dengan lembut. Aku menutup teleponnya. Aku menghela nafas lega. Akhirnya aku akan bisa meninggalkan neraka ini. Senyum kecil terbentuk di bibirku. Aku menghapus air mataku dan berbalik.

Aku membeku di tempatku. Ponselku jatuh dari tanganku dan menabrak ubin putih mengkilap dengan bunyi keras. Aku mulai berkeringat dengan sangat dan tubuhku mulai gemetar karena ketakutan.

Di hadapanku berdiri Iblis yang paling kubenci sekarang.

William bersandar di bingkai pintu dengan kedua lengan saling bertumpuk di dadanya sambil menatapku dengan mata intimidatif. Kerongkonganku menjadi kering. Aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi tak ada suara keluar.

"Sudah selesai mengganti baju, sayang?" dia berkata dengan serak. Aku menatapnya dengan kaget dan bingung.

"Apa yang terjadi- bagaimana kau masuk ke dalam?" aku berteriak dengan marah.

William tak menjawabku. Pandangannya kemudian turun ke lantai dan melihat-lihat ponselku dengan tajam. Dia kemudian menatapku lagi dan mulai mendekatiku. Aku panik. Aku melihat ke mana-mana dan menemukan sebuah botol sabun mandi. Aku memukulnya dengan sepenuh tenaga pada bak mandi. Botol itu hancur berkeping-keping. Aku membungkuk dan segera meraih sepotong kaca.

"JANGAN DEKATI AKU," aku berteriak sambil menunjukkannya dengan kaca. Jantungku mulai berdetak tidak teratur. William berhenti mendadak.

Namun semuanya terjadi begitu cepat.

Aku berteriak ketika peluru ditembakkan tepat di dinding di samping kepala ku. Aku langsung menutup telinga ku karena takut, membuat pecahan kaca jatuh ke lantai. Aku mengangkat kepala ku, tapi teriakan kesakitan keluar dari mulutku ketika aku tiba-tiba dihempaskan ke dinding dengan keras. Aku mendesah kesakitan dan membuka mataku hanya untuk melihat William yang marah memandangku dengan ganas. Aku mulai gemetar dalam genggamannya. Pegangannya pada tangan ku begitu erat sehingga mulai menyakitkan.

“William, berhenti sakit”, aku menangis sambil bergeliat dalam genggamannya.

“DIAM KAU!!” katanya dengan suara guruh membuat jantungku berhenti. Mataku menjadi berair dan air mata mulai mengalir di pipiku.

“SIAPA YANG KAU AJAK NGOMONG?", William mengerutkan kening sambil menatapku, nafasnya yang panas meniupi bibirku. Begitu aku mendengar katanya, semua rasa takut yang mengepungku tadi pudar dan digantikan dengan amarah.

Dia lah orang yang pertama kali berbohong padaku, menghancurkan kepercayaanku, menyembunyikan identitas mafia-nya, bahkan membunuh sahabatku di depan mataku dengan kejam. Kemudian menikahiku tanpa izinku dengan memaksaku dengan nama orang tuaku. Tetapi, alih-alih meminta maaf padaku untuk perbuatannya yang jahat, dia berani untuk memata-matai dan berteriak padaku sekarang?

Aku bukan kucing penakut yang akan takut pada monster ini. Aku tidak akan bertindak seperti gadis kecil yang bodoh yang dapat ditakuti kapan saja.

Aku menatapnya tajam dan dengan segala keberanian yang ada padaku, aku berkata. “JANGAN BERTERIAK PADAKU. AKU TIDAK BERBICARA DENGAN SIAPA PUN”

"JANGAN BOHONG, EMMA!!" katanya dengan suara menggeram dan merapatkan cengkraman tangannya pada pergelangan tanganku. Aku mulai bergeliat di tangannya untuk membebaskan diri.

"JANGAN BERTERIAK, PSIKOPAT!!" aku berteriak menghadapinya. Tiba-tiba wajahku dipalingkan ke sisi lain.

"Di-dia memukulku?"

Pipi ku mulai terasa sakit. Aku menoleh pada William dengan kaget. Dadanya naik turun dan nafasnya menjadi berat. Tatapannya segera menjadi lembut begitu dia melihat mataku yang berbinar-binar. Dia melonggarkan cengkraman tangannya sedikit dan bertanya dengan suara mematikan yang tenang. "Jawab pertanyaanku. Dengan siapa kamu bicara?" Aku tidak menjawab dan terus menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

Ini pertama kalinya William memukulku. Dia selalu memanjakanku dan memperlakukanku seperti putrinya. Dia tidak pernah berteriak padaku atau marah padaku. Dia sangat mencintaiku tapi tindakannya hari ini membuktikan bahwa semua cintanya dan perhatiannya adalah sekadar kedok, sandiwara.

William mencoba memegang pipiku tetapi aku menarik tangannya dan lari dari sana. Dia mengejarku. Aku hampir keluar dari ruangan ketika dia menangkapku. Aku mulai bergeliat. Dia memutar tubuhku, seluruh tubuhku berputar di udara saat dia membelakangiku ke dinding.

"TIDAK, LEPASKAN AKU!" aku mulai menangis karena sangat takut padanya.

"JAWAB PERTANYAANKU DAHULU", katanya dengan suara mendengus dan rahangnya terkatup.

"TIDAK, AKU TIDAK AKAN MENJAWABNYA", aku berteriak dengan air mata yang mengalir dari mataku. William memperketat cengkeramannya pada pergelangan tanganku sehingga aku merintih kesakitan.

"LEPAS AKU KAU BANGSAT", aku berteriak karena aku tidak tahan lagi dengan rasa sakit itu. William memukulku dengan keras lagi tapi kali ini lebih menyakitkan dari sebelumnya. Aku memegang pipiku dengan tanganku dan mulai menangis dengan keras. Dia memegang leherku dan membawaku lebih dekat ke wajahnya, hidung kita saling bersentuhan.

"Jangan kau berani-berani mengutukku. Jangan kau berani-berani tidak menghormatiku. Jawab pertanyaanku SEKARANG!" katanya dengan suara yang menggeram dengan keras. Tapi aku tidak mundur. Aku meludah di wajahnya. Dia menutup matanya dengan frustasi. Aku Mengambil kesempatan dan menendang keras di ***********. Dia mengerang kesakitan dan terhuyung mundur. Aku mendorongnya dengan sekuat tenaga dan lari menjauh

Aku masuk ke dalam ruangan sembarang dan menutup pintu. aku hampir akan menguncinya ketika pintu tersebut terbuka lebar. William membobol masuk ke dalam ruangan dan membuatku jatuh duduk di lantai. Dia menutup pintu dan menguncinya. Aku  panik. Aku buru-buru menuju kamar mandi karena itu satu-satunya tempat yang aman, tetapi dia segera menangkapku dari pinggang dan melemparkanku ke tempat tidur.

Aku mendarat di tempat tidur dengan wajahku. Aku berbalik dan mencoba lari, tetapi dia kembali mendorongku dan melayang di atasku. Aku mulai berjuang, tetapi dia menggenggam pergelangan tanganku dengan satu tangan dan wajahku dengan tangan yang lain dengan kuat. Air mata terus menetes tetapi itu tidak memengaruhi dia sama sekali.

"Kamu tidak mengerti bahasa yang sederhana, kan?" katanya.

"TIDAK LEP-" Tiba-tiba dia menciumku dengan paksa dan menempatkan seluruh bobotnya di atasku sehingga aku tidak bisa memukulnya lagi.

Sial, dia sangat berat.

Dia terus menyerang bibirku dengan brutal dan aku terus menangis. Kemudian dia melepaskan dan menatapku dengan marah sementara kami berdua mencoba untuk bernapas. "*terengah-engah*Bicaralah. Siapa yang kamu ajak bicara-"

Dia tidak dapat menyelesaikan kalimatnya saat aku kembali meludah di wajahnya. Dia menutup matanya dalam kemarahan. Aku mencoba menendangnya lagi, tetapi dia memukulku dengan keras. Wajah ku berbalik ke samping. Bibirku mulai berdarah. Rambutku terpercik di seluruh wajahku. Kemudian dia menghapus rambut yang berserakan di wajahku. Dia menggenggam pergelangan tanganku dengan satu tangan dan memegang daguku dengan erat menggunakan tangan yang lain, membuatku menghadapinya. Sambil menangis dengan histeris, aku menatapnya.

"KAMU SUDAH MELEBIHI BATAS SEKARANG. AKU MENYURUHMU UNTUK TERAKHIR KALINYA, DENGAN SIAPA KAMU BERBICARA?", dia berteriak. Aku menggelengkan kepala menolak dan terus berjuang.

Akan lebih baik mati daripada membiarkannya menghancurkanku. Aku sangat sadar bahwa jika aku  memberitahunya kebenarannya, dia pasti akan membunuh Mark. Aku sudah kehilangan sahabat terbaikku dan sekarang aku tidak siap kehilangan yang lain. Aku akan membela mereka meskipun harus kehilangan nyawaku hari ini. William menatapku dengan marah dan memperketat cengkeramannya di pergelangan tanganku. Rasanya sangat sakit. Sambil menangis, aku menutup mataku, menahan rasa sakit dengan air mata mengalir di wajahku.

Tiba-tiba William melepaskan tangannya dari pergelangan tanganku dan menggenggam wajahku. Aku membuka mataku. Dia menatapku dengan sedih dan berkata dengan nada lembut namun tegas, "Kamu sangat mencintainya, ya?" Aku menjadi bingung dengan tanggapannya.

Dia dengan sedih tertawa dan menghapus air mataku dengan ibu jarinya. Kemudian dia mencium bibirku dengan lembut.

"Kamu pikir aku tidak mendengar percakapanmu dengan... Mark?"

Mataku melebar kaget. Dia tersenyum sinis.

"Bagaimana kamu bisa-", aku tidak bisa mempercayainya. William menghela nafas seolah meremehkan dan mulai mengelus pipiku dengan ibu jarinya.

"Sayang, ini rumahku. Aku sudah mendengar seluruh percakapanmu dengan teman tercinta, tapi aku diam saja untuk memeriksa kesetiaanmu padaku," katanya sambil memperlihatkan senyum congkak.

DASAR SIALAN!!

Aku menatapnya dengan tajam dan berteriak dengan marah. "LALU MENGAPA KAU MENAMPARKU? KAU ANJING BAJ-"

"DIAM KAU SIALAN!!" dia memukul tempat tidur di samping kepalaku dengan marah.

"TIDAK! TIDAK PERNAH! KAU MONSTER, AKU MEMBE-," aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku karena dengan sekejap dia merobek baju tidurku dengan kasar. Aku berteriak ketakutan. Aku mencoba menutupi diriku dengan tangan-tangan ku, tapi dia menamparku dan terus merobek baju tidurku. Aku mulai menangis ketakutan. Kemudian dia memegang pergelangan tanganku dan mengikatnya ke kepala tempat tidur dengan kain yang tersisa dari baju tidurku. Aku berjuang, tapi tiba-tiba dia menggigit leherku dan mulai menghisapnya dengan kasar.

"TIDAK, TIDAK, WILLIAM, BERHENTI TOLONG!!" aku terus berteriak dan memohon padanya, tapi dia tidak berhenti. Dia terus menghisap dan menjilati leherku.

"KAMU MILIKKU. HANYA MILIKKU," katanya dengan suara seraknya.

Aku menjadi mengerikan karena perilaku kanibalistiknya. Aku mulai merasa pusing karena panik, tenggorokanku menjadi kering. Segera ketakutan melanda diriku dan aku menghilang ke dalam kegelapan.

Akhir dari P.O.V Emma.

P.O.V. William

Aku tahu bahwa Emma sedang merencanakan sesuatu itulah mengapa aku masuk ke kamar mandi dengan hati-hati. Aku memiliki akses ke setiap sudut rumahku karena keberadaanku adalah kuncinya. Aku mendengar seluruh percakapan Emma dengan Mark yang membuatku marah.

"Betapa sangat ia ingin meninggalkanku."

Aku kehilangan kesabaranku ketika Emma mengarahkan gelas ke arahku. Aku segera menembakkan peluru dekat kepalanya ke dinding. Dia terus melawan dan melawan ku, yang tidak menggangguku karena aku sendiri yang bertanggung jawab atas itu. Dia terus mengutukku, sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh siapa pun sebelumnya. Tetapi hal yang paling menyakitkan adalah bahwa dia melakukan semua ini hanya untuk melindungi orang itu dariku. Aku tidak bisa mentolerir ini lagi.

Dia harus melihat hanya diriku, peduli hanya padaku, memandang hanya padaku, dan bernafas hanya untukku...

Aku terus bertanya padanya tetapi dia terus menyangkal dan melawan. Tetapi ketika dia mengatakan bahwa dia membenciku, dia membangunkan Binatang di dalamku. Aku tidak tahan dengan kebencian darinya. Aku tidak pernah ingin melakukan ini padanya, tetapi dia harus belajar sebuah pelajaran.

Aku merobek gaun pernikahannya dan mulai menciumnya dengan kasar. Dia terus berjuang tetapi aku menggenggamnya dengan erat dan terus menyerangnya. Aku tidak lagi berada dalam kendali diriku. Aku tidak bisa mentolerir dia berbicara atau melihat pria lain selain dariku. Hanya pikiran itu membuatku gila. Dia milikku dan hanya milikku.

Tidak lama kemudian, Emma berhenti berjuang dan menjadi diam. Aku bingung dan melihat ke atas. Dia pingsan. Aku kembali sadar. Aku segera melepaskan ikatannya dan bangkit dari atasnya.

"Hei, Sayang?", Aku membelai pipinya dengan lembut tetapi dia tidak merespons yang membuatku khawatir. Aku memakaikan kemejaku padanya dan menggendong nya seperti pengantin ke kamarku. Aku dengan lembut meletakkannya di tempat tidur dan menutup tubuhnya dengan selimut. Aku melihatnya.

Wajahnya basah oleh air mata yang kering, hidungnya berubah merah-merah, pergelangan tangannya yang lembut penuh memar, bibirnya yang lembut berdarah, dan pipinya yang merah muda terdapat bekas sidik jari berwarna merah. Melihat sosok mungilnya tergeletak tanpa daya di atas tempat tidur membuat air mata mengalir di mataku. Aku tidak pernah ingin melakukan ini padanya, tetapi kepeduliannya pada orang lain selain diriku memunculkan kemarahan dan rasa cemburu di pikiranku.

Tetapi bukan salahnya juga sebenarnya. Aku telah berbohong padanya. Aku menjaganya dalam kegelapan. Tetapi aku tahu bahwa dia akan membenciku begitu aku mengungkapkan identitas asliku.

Akhir dari P.O.V. William.

William perlahan merayapi pipinya dengan tangannya dan berbicara dengan suara terputus-putus, "Maafkan aku, sayang. Aku tidak pernah ingin melukaimu. Aku sangat mencintaimu. Aku tidak akan pernah melukaimu lagi, aku berjanji." Dia mendekatkan wajahnya dan mencium bibirnya dengan lembut.

Tetapi tiba-tiba pandangannya berubah menjadi gelap. Dia menatap Emma seperti orang gila dan berbicara dengan suara seram yang menyeramkan.

"Dan aku akan memastikan tidak ada yang akan berada di antara kita.

Tidak.Sekarang.Tidak.Pernah..."

~🍃~

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!