Waktu telah berlalu.
Terlihat aku bersama Eggy sedang saling diam satu sama lain di kamar. Entah karena kejadian di kantor atau karena ada masalah lain. Tetapi ini tidak aneh. Kami setiap hari memang seperti ini. Ingin rasanya aku bertanya sesuatu tentang Irani padanya. Nakun aku tidak berani untuk bertanya itu. Bisa-bisa aku dimakan habis oleh sikap amatirannya. Tetapi....
"Baru inget!" ucapku dalam batin mengingat akan hal sesuatu. "Oh, iya. Katamu kemarin hari ini kamu bertemu klienmu kan? Dan menyuruhku untuk bersiap-siap. Tapi maaf aku lupa," kataku pada Eggy mengawali pembicaraanku dengan Eggy.
"Tak perlu meminta maaf!" sahutnya datar.
"Baiklah. Aku akan tidur terlebih dahulu," kataku sambil berbaring memunggungi dirinya. Di balik itu, aku merasa benar-benar semakin tegang dan terancam. "Apa yang aku khawatirkan? Semoga hasrat dia terhadapku masih tertahankan," pikirku.
"Kau benar-benar ingin bercerai?" tanya Eggy membuatku terkejut setengah mati.
"Kenapa tiba-tiba kamu bertanya seperti itu?" tanyaku balik sambil membalikkan badanku ke arahnya.
"Kamu bertanya seperti itu seakan kamu tidak berniat berpisah denganku," ujar Eggy menatap tajam mataku.
Sekilas aku tersentak dengan hal tersebut. Sebenarnya hati ini menginginkan perceraian itu, namu disisi lain aku tak menginginkannya. Ada apa denganku?
"Jelas aku ingin berpisah denganmu. Kenapa kamu bertanya?" kataku sewot.
"Setelah peluncuran proyek terbaruku, kita akan berpisah," kata Eggy.
Kini ia berbicara dengan nada lemah, yang penuh dengan rasa kecewa atau semacam risau. Ia berbicara tidak seperti biasanya. Lalu perasaanku ketika mendengar Eggy menetapkan hari perceraiannya, aku merasa seperti kehilangan sesuatu dan itu rasanya sangat sesak. Dadaku benar-benar sesak, juga tenggorokanku mulai gondok menahan apa yang ingin aku sampaikan padanya. Namun aku tak bisa berbicara jujur untuk itu.
"K-kapan hal itu terjadi?" tanyaku ragu-ragu dengan perasaan yang waspada.
"Kau tidak sabar ya?" tanya Eggy kembali dengan sikap yang sama seperti sebelumnya. Membuatku menjadi kesal dan mengurungkan rasa gelisahku.
"Bisakah kamu bicara dengan serius ketika sedang membahas hal yang penting? Kamu selalu saja merubah sikapmu dengan semaumu!" umpatku kesal.
"Sudahlah. Jangan di bahas. Kamu akan tahu nanti, anggap saja perceraian kita adalah hadiah berharga untuk kehidupanmu nanti. Laku mengenai sikapku, jika kamu tak suka, sebaiknya mulai saat ini jangan mendekatiku," kata Eggy pedas, mengalihkan pembicaraan.
Oh, Tuhan! Disaat aku mendapatkan apa yang kuinginkan untuk bercerai dengannya, mengapa aku tak ingin itu terjadi?
"Memang ini adalah musibah!" sahutku dengan kasar.
Eggy terkekeh, "apakah musibah bagimu jika jauh dariku? Hah?" tanya Eggy.
"Bukan itu maksudku. Tapi musibah jika aku selalu bersamamu. Kamu tahu? Kita memang tak pernah cocok!" kataku yang seolah-olah tak membutuhkannya.
"Sungguh labil!" sindirnya sambil pergi.
"Siapa yang kamu maksud? Bukannya itu kau?" teriakku padanya.
Eggy menoleh. "Mulai saat ini aku tidak akan sekamar denganmu lagi."
"Kaum yang ingin sekamar denganku!" sahutku.
Eggy tak mendengar. Ia pun pergi meninggalkanku di kamar sendirian.
Beberapa jam kemudian.
Terlihat aku melamun memikirkan tentang hal itu. Perasaanku benar-benar kesal kepada Eggy. Rasanya aku ingin marah dan ingin mencakar seluruh tubuhnya, terutama pada wajahnya yang sok ganteng itu. Dalam hatiku terus saja menggerutu tentangnya.
"Kenapa aku tak bisa berhenti memikirkan hal itu? Bodoh! Seharusnya dari awal aku tidak berbuat baik padanya kalau akhirnya seperti ini," gerutuku sambil memukul pelan kepalaku berkali-kali.
Dan sepanjang malam, karena aku tak bisa berhenti memikirkannya dan tak bisa berhenti menahan rasa amarahku, akhirnya aku begadang sepanjang malam.
Alhasil keesokan harinya aku mendapatkan sesuatu hal yang buruk.
Pukul 07:23 WIB.
Seperti hari biasanya, aku selalu menyiapkan sarapan pagi untukku dan untuk Eggy.
Tidak. Kali ini aku membuatkan sarapan pagi hanya untukku seorang saja. Untuk Eggy tidak akan aku buatkan.
Lalu tak lama kemudian, Eggy datang ke meja makan dan melihat makanan yang ada di meja makan. Ia melihat bahwa di meja makan hanya di sediakan satu buah piring dan satu buah gelas minum saja.
Aku berpura-pura tidak melihat apapun saat ini dam aku juga berpura-pura tidak tahu apapun tentang hal ini. Aku anggap bahwa aku hanya lupa untuk tidak melayaninya seperti sebelumnya.
"Baguslah!" kata Eggy datar. Lalu ia pun pergi meninggalkanku tanpa berkata apapun lagi.
"Bagus katanya?" tanyaku kebingungan. Membuatku semakin kesal.
Aku memang ingin dimengerti oleh Eggy, namun aku menyadari bahwa aku juga tak pernah mengerti dan memahami dirinya.
"Oh, ya Tuhan! Apa yang aku pikirkan?" gumamku bertanya-tanya sambil menyadari sesuatu.
Drrrtt... Drrrtt...
Ponsel bergetar.
Aku lekas mengambil ponselku dan melihat pesan masuk ke ponselku.
"Selamat pagi! Mari kita pergi jalan-jalan sore ini? Aku ingin bersamamu."
Itu adalah isi pesan yang masuk ke ponselku dari Raihan. Aku merasa bahwa aku tidak begitu senang dengan ajakan darinya. Justru aku merasa risih saat ini. Semenjak kejadian semalam dan perjanjian perceraian itu, membuat pikiranku menjadi kacau dan tubuhku berubah menjadi lemas.
"Eggy ...?" panggilku pelan sambil menatap ke arah Eggy yang masih berjalan ke arah pintu keluar.
Lalu tiba-tiba ia menengok ke arahku. Seakan-akan ia mendengar aku menyebutkan namanya. Namun terlihat dari raut wajahnya ia tetap datar tak berekspresi. Hanya diam, menatap tajam dan entah apa yang dia pikirkan. Ia tidak memberikanku gambaran bahwa ia masih marah atau tidak. Aku pun tidak tahu. Kemudian iapun pergi setelahnya, setelah menatapku sejenak.
"Hampir saja! Telinganya memang peka. Atau perasaannya yang peka?" gumamku bertanya-tanya.
Kupikir bahwa itu adalah perasaannya yang lebih peka terhadapku. Syukurlah jikalau memang itu yang sebenarnya. Namun apakah dia mampu peka terhadap perasaanku terhadapnya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 242 Episodes
Comments