Keesokan harinya.
Aku terbangun lebih awal dari suamiku. Hari ini aku ingin mempersiapkan sarapan pagi dan mempersiapkan pakaian kerjanya, walau pun aku tidak tahu kemeja dan dasi yang mana yang cocok untuknya. Tetapi aku ingin melakukan hal terbaik untuk suamiku.
Aku berpikir bahwa seharusnya kemarin aku tidak melakukan hal itu padanya. Bagaimana pun juga, dia tetaplah suami sah dan ia memiliki semua haknya terhadapku.
Pertanyaannya adalah mengapa aku harus melakukan semua itu, kalau pada akhirnya aku dan dia akan bercerai juga? Jawabannya adalah aku sendiri juga tidak tahu mengapa aku melakukannya. Aku masih labil. Kemungkinan aku masih polos untuk mengetahui bagaimana caranya membuktikan perasaan yang kurasakan.
Ya. Anggap saja ini adalah caraku untuk menebus dosaku pada hari kemarin, karena telah menolaknya yang sudah merasa hormonnya naik.
"Mm ... Yang mana ya? Yang ini, atau yang ini?" tanyaku seraya memilih warna yang cocok untuknya.
"Kau sedang apa?" tanya Eggy yang melihatku sedang memilih dasi untuknya.
"Ah, kakak sudah bangun ya? Aku pikir mulai sekarang aku akan menyiapkan pakaian dan sarapanmu. Aku juga sudah menyiapkan sarapan di meja makan," jawabku lembut dengan hati-hati.
"Tidak usah repot. Aku tidak suka merepotkan orang lain," sahutnya sambil bangun dari ranjang sambil merapikan rambut singanya.
"Aku ini istrimu kan? Sudah sepantasnya aku mengurus kakak," kataku tersinggung karena ia mengatakan bahwa aku adalah orang lain baginya.
Mendengarku berkata seperti itu, ia pun berjalan perlahan ke arahku dan mendekatiku. Jarak kami sangat dekat dan tatapan matanya sangat menusuk mataku, seakan ia ingin memangsaku. Serraaaam...
"Oh, Tuhan. Tolong aku! Aku tak sanggup jika harus melihatnya seperti ini," ucap batinku.
Sedikit demi sedikit aku berjalan mundur, namun ia tetap berjalan mendekatiku sampai akhirnya tubuhku menempel pada dinding. Jantungku tak bisa ku kontrol lagi, aku tidak tahu debaran jantung ini menandakan rasa takut, tegang atau bahkan suka.
"Kakak kenapa?" tanyaku terbata-bata. Kurasa bahwa akan ada suatu hal yang buruk terjadi padaku.
"Apa kau memang istriku?" Eggy malah balik tanya padaku dengan mendekatkan wajahnya ke arahku.
Aku pun menjawab dengan cepat. "Ya. Dari status kita berdua memang suami istri."
"Jadi selain mengurusku seperti ini, kau juga harus melayaniku dengan senang hati kan?"
Sejenak aku terdiam mendengar kalimat itu. Aku tahu maksud dirinya adalah kejadian tadi malam. Tapi aku harus berbuat apa? Aku belum siap memberikan mahkotaku padanya. Aku ingin memberikannya jika aku dan dia benar-benar saling mencintai. Itu sudah benar.
"Aku tahu," sahutku sambil mendorong tubuhnya. "Tapi jika maksudmu adalah kejadian tadi malam. Maaf, aku tak bisa. Kita sudah ada perjanjian," lanjutku sambil berjalan menjauhinya. "Pilihlah dasi yang cocok untukmu. Aku tak bisa mencocokan warna dasimu dengan kemejamu yang ini!" tambahku, lalu aku pun pergi meninggalkannya sendirian di kamar.
"Kamu ini kenapa?" tanya Eggy terheran-heran.
Beberapa saat kemudian. Aku menunggunya di meja makan. Iapun berjalan ke arahku dengan memakai kemeja dan dasi yang lain, bukan memakai kemeja dan dasi yang ku pilih tadi. Kadang kala aku merasa heran padanya, ada apa dengan dia? Terkadang dia baik dan peduli padaku, tapi terkadang dia juga cuek, dingin dan menyebalkan. Sama seperti saat ini.
"Sudah capek-capek aku pilihkan kemeja dan dasi. Kubandingkan berkali-kali agar warnanya cocok satu sama lain, tapi nyatanya dia tak memakai apa yang sudah ku pilih. Nyesel udah buang waktu buat mikirin hal itu," gerutuku dalam hati.
Lantas Eggy duduk bersamaku satu meja di meja makan. Lalu aku berinisiatif untuk memberikan makanan yang sudah ku masak ke dalam piringnya yang kosong.
"Kau suka telor dadar?" tanyaku sambil mengambil potongan telor dadar di meja, lalu memindahkannya ke dalam piring Eggy. "Mau di tambah sambal dan tahu tempe? Kakak suka asin? Biar aku tambahkan juga," lanjutku sambil memindahkan makanan yang sudah ku sebutkan tadi.
"Cukup!"
Aku pun terhenti. "Kenapa?" tanyaku kebingungan. Dia mulai berulah lagi rupanya.
"Aku buru-buru, soalnya di kantor aku ada meeting. Terima kasih sudah menyiapkan semuanya," kata Eggy. Lalu ia pun pergi meninggalkanku.
Aku hanya terdiam dan menatap heran ke arahnya.
"Apa salahku, ya Tuhan?" tanyaku dalam batin.
Aku pun membuang napasku dengan kasar dan aku menahan rasa amarahku dengan memegang dadaku. Aku telah di buat gila olehnya.
"Benar-benar menyebalkan. Kenapa tidak beritahu aku saat dia bangun tadi? Apakah dia sengaja membuatku seerti ini? Menyebalkan sekali!" gerutuku kesal.
Tak berpikir lama lagi, aku pun langsung mengambil piring yang sudah kuisi dengan masakanku. Lalu aku menambahkan nasi dan segera memakannya dengan penuh nafsu amarah pada Eggy. Masakanku memang sederhana, tapi ya beginilah keadaannya.
"Dasar! Berkepribadian ganda. Dikit-dikit baik, dikit-dikit pemarah. Mending tak usah pulang ke sini saja kalau begini caranya. Menetap saja di sana," kutukku.
Aku memang tidak pandai memasak seperti dirinya. Selera makanan orang kaya memang berbeda, benar-benar beda. Aku berpikir bahwa aku juga harus mengubah pola gaya hidupku seperti yang seharusnya, yaitu gaya hidup orang kaya. Karena kini aku telah menjadi seorang istri dari seorang pengusaha muda.
Mungkin ini akan kunggap sebagai balas dendam atas kejadian kemarin. Aku harus tetap menerima semua itu. Harus!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 242 Episodes
Comments