Mandi Di Pinggir Jalan

'Sayang'

Hanya karena satu kata itu, gue langsung linglung seketika. Blank dan kehaluan gue membumbung tinggi.

Serius!

Saking linglungnya, setelah itu gue sampe nggak tau gimana perdebatan antara Pak Bian sama Bagas. Gue cuma inget mereka emang sempet debat sebentar, sebelum Pak Bian menggiring gue pergi dari sana.

Anehnya, Pak Bian nggak bawa gue ke parkiran atau ke tempat mobilnya terparkir, melainkan ke sebuah warung rokok yang ada di dekat kampus gue. Warung yang bentuknya gerobak, tapi nggak ada rodanya dan bisa masuk satu orang aja ke dalamnya.

Aish... Pokoknya kaya gitu deh. Ngerti 'kan? Pernah lihat 'kan? Soalnya gerobak-gerobak kayak gitu pasti ada di setiap kampus.

"Duduk!" titah Pak Bian pelan, tapi tegas.

Gue pun menuruti titahnya, karena masih linglung dan duduk di deket warung itu. Tapi, bukan duduk di kursi, melainkan di trotoar.

Entah apa maksud Pak Bian melakukan ini padaku. Intinya setelah itu dia keliatan ngobrol sama bapak pemilik warung dan nunjuk-nunjuk gue.

Eh, dia nggak niat bakal jual gue 'kan?

Setelah bicara beberapa menit sama si pemilik warung, Pak Bian pun balik ke tempat gue sambil buka jas dan jam tangan mahalnya. Setelah itu ngambil botol air mineral besar, membukanya, dan.....

Byur!

"Aakhhh ...!" Gue langsung memekik dan refleks berdiri, pas dia menuang seluruh isi botol ke atas kepala gue.

"Bapak!"

"Kamu bau banget, Nana," jawabnya cepat.

"Tapi kan-"

"Kamu itu butuh mandi!" selanya lagi.

Astaga! Maksudnya apa coba? Iya tau. Gue ini emang butuh mandi karena aroma busuk di tubuh gue, tapi kan...

"Nggak di sini juga kali, Bapak...!" kesal gue sambil cemberut nggak terima.

“Ya, terus mau di mana? Saya nggak mau nganterin kamu pulang kalau bau kamu busuk kayak ini,” balasnya tanpa perasaan.

"Ya-"

"Dan saya yakin, angkot atau siapa pun juga nggak akan mau melakukannya juga kalau kamu masih bau kayak gini!"

Ya.... Bener juga, sih! Tapi... tetep aja nggak kayak gini caranya. Emang gue apaan coba dimandiin di pinggir jalan kaya gini?

"Tapi... 'kan saya bisa mandi ditoilet atau di-”

"Kelamaan, Nana. Di sana juga nggak bakalan ada sabun atau shampo. Mending di sini lengkap," tukasnya lagi nggak bisa dibantah.

"Udah! Duduk lagi!" titahnya sekali lagi. Sambil ngendudukkin gue di trotoar dan kembali buka botol air mineral kemasan besar. Si pemilik warung menyiapkan beberapa dus di dekatnya.

Ya, ampun. Dia niat banget loh mandiin gue di sini. Nggak sampe di sana, dia pun minta beberapa sachet shampo rencengan dan nuangin itu di atas kepala.

Dia kemudian menggosok-gosoknya lembut banget, kayak mandiin anaknya.

Bisa dibayangin gimana nelangsanya gue di sini ya 'kan? Walau pun gitu, yang jelas kali ini gue udah pasrah, karena emang merasa percuma juga ngelawan dia.

Pak Bian ini tipe dominan. Dia itu dalam beberapa kesempatan emang kadang nggak bisa di bantah, soalnya dia anak pertama, pernah jadi suami dan sekarang jadi orang tua tunggal. Nah, kebayang dong ya... gimana otoriternya dia?

Beberapa pejalan kaki ngelirik gue sambil senyum-senyum dan bisik-bisik, emang nyebelin. Tapi gue nggak peduli dan lebih milih nikmatin pijatan lembut di kepala gue dari tangan Pak Bian.

Kapan lagi dimandiin cogan kayak gini ya 'kan? Meskipun di pinggir jalan, nggak papah deh. Intinya gue udah ngerasain belaian lembut tangannya.

Aduh! Otak gue emang mulai geser kayaknya.

"Angkat tangan kamu, Na!" titahnya lagi, yang langsung gue turutin. Gue pun ngangkat kedua tangan gue tinggi-tinggi.

"Selonjorin kakinya, cepet!" Kembali, gue melaksanakan apa yang pria ini perintahkan.

Tanpa kata lagi, Pak Bian pun menyiram-nyiram seluruh tubuh gue dengan telaten dan fokus sekali.

"Pak, ini nggak sekalian aja buka baju, terus pake sabun gitu? Nanggung banget kan kalo cuma kepala doang mah. Badan saya juga butuh di mandiin nih!" tantang gue sekalian dengan sengaja ngenggoda dia.

Tapi, Pak Bian cuma ngelirik gue sekilas dan naikin sebelah alisnya sebelum mendengus geli.

"Nanti Kyli cemburu," jawabnya sebelum ngasih anduk kering sama gue, yang entah dia dapet dari mana.

"Udah selesai mandiinnya nih, Pak?" tanya gue nyoba mastiin. Siapa tau ada season dua atau tiganya gitu. Hihihi...

Akan tetapi, Pak Bian cuma ngangguk dan nyeka peluh di dahinya. Dia nemuin sang pemilik warung buat bayar semua yang udah dia pake.

Entah dia harus bayar berapa, gue pun nggak perduli. Soalnya gue takut disuruh bayar. Hehehe...

Ketika urusan bayar-membayar selesai, Pak Bian pun mengambil jas dan jam tangannya lagi. Dia ngegiring gue ke arah parkiran kampus, tempat di mana mobilnya terparkir.

"Tunggu di sini bentar!" Lagi-lagi, dia ngasih perintah yang nggak bisa gue bantah. Ralat, tepatnya nggak mau gue bantah.

Pak Bian membuka bagasi belakang mobilnya, kemudian terlihat mengacak-acak isi yang lumayan terdapat banyak barang ternyata.

Akan tetapi, kalo dilihat baik-baik. Barang di sana udah pasti punya si Kyli, karna di sana ada mainan bebek-bebekan, sendal, sepatu, selimut dan banyak lagi yang semuanya bernuansa pink. Seorang Fabian Putra Reksamahendra nggak mungkin pake sesuatu berwarna pink 'kan? Ntar jadi cucok deh!

"Bapak nyari apa?” tanya gue karena terlalu lama nunggu di tengah kegiatan mencari si duda yang memakai kemeja hitam tanpa dasi dan jas itu.

"Kaos," jawabnya singkat.

"Kaos?" beo gue.

"Iya, seingat saya. Saya masih punya kaos cadangan di sini. Tapi saya lupa taro di mana. Uhm.... ah, ini dia!" Tiba-tiba dia memekik kegirangan, seraya menujukan kaos oblong berwarna hitam ke arah gue.

"Maksudnya?" Gue masih nggak ngerti arti tindakannya itu buat gue.

"Ck, kamu nggak mungkin pulang dengan pakaian basah kuyup kayak gitu Nandyra. Makanya ganti sana kaos kamu sama ini," jelasnya sambil nyodorin kaos yang pasti berukuran besar di tubuh gue itu.

"Tapi yang basah bukan cuma kaos, Pak. Celana sampe daleman saya pun kan basah semua. Gimana dong?" terang gue dengan polos.

Pak Bian pun terlihat berpikir sejenak, sebelum mengacak-acak kembali isi paper bag yang sama dan...

"Pake sarung ini dulu."

Astaga!

Dikira gue mau sunat apa di kasih sarung gitu? Dasar si duda! Untung ganteng ya 'kan?

****

"Papa nggak ada!"

"Masa, sih, Kyl? Itu mobilnya masih ada kok?"

"Kyli bilang nggak ada, ya gak ada! Udah deh tante pergi sana!"

"Ih, Kyli. Kok nggak sopan, sih? Gini-gini Tante calon Mama kamu, loh. Belajar hormat sama Tante, Sayang!"

"Ogah! Kyli nggak mau punya Mama kaya Tante."

"Eh, Kyli. Kok ngomongnya gitu? Tante bisa loh jadi Mama yang baik buat kamu. Plus ngasih kamu adik-adik yang lucu, terus— arghhh... Kyli! Kok Tante disiram, sih? Jadinya basah baju Tante nih?"

"Biarin! Biar Tante bangun terus nggak kebanyakan mimpi!”

"Tapi-"

"Pergi nggak, Tante! Kalo gak Kyli siram lagi nih!"

"E..eh i..iya-iya deh. Tante pergi sekarang. Tapi salamin sama Papa kamu ya, bilang kalau— arghhh... Kyliiii!"

"Pergi!"

Gue pun langsung ngakak so hard, pas ngelihat Mbak Ida lari tunggang langgang karena takut disiram si Kyli.

bocah itu beneran galak banget kalo liat Mbak Ida deketin rumahnya. Soalnya, udah bisa ditebak sih maksud dan tujuan dia, yaitu pengen banget menggoda Pak Bian yang katanya suami masa depannya.

Ah, ya. Mungkin kalian belum kenal Mbak Ida yang gue maksud tadi. Okay, mari kita kenalan dulu sebentar.

Jadi, Mbak Ida itu janda kembangnya di kompleks ini. Serius deh! Dia emang janda kembang panggilannya. Tapi, bukan karena dia janda cantik, bahenol dan seksi kayak yang kalian bayangin ya. Dia emang Janda yang jualan kembang dan suka sekali pake kembang di salah satu kupingnya.

***Karya ini telah kontrak dengan NovelToon, dilarang membajak karya seperti mencetak ulang tanpa izin.***

***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***