11. Pertemuan Bersaudari

   “Terima kasih atas tumpangannya, maaf karena membuat anda repot.”

   “Santai saja, aku juga tidak tega meninggalkan dua pengembara dengan keadaan satu orang yang pingsan.”

   “Terima kasih.”

   “Sama-sama.”

Beberapa menit yang lalu ...

Rindou mengambil ancang-ancang seraya meregangkan tubuhnya, Liese berusaha menghentikan Rindou yang benar-benar ada niatan untuk merampok seorang pedagang yang membawa kereta kuda pengangkut barang.

   “Hentikan Rindou!”

   “Minggir Liese, aku akan melakukannya sendiri.”

Apapun yang diperbuat Liese, niatan Rindou tetap tidak bisa dihentikan dan ia tidak punya cara lain lagi untuk menghentikannya selain menggunakan satu cara yang cukup menyakitkan.

   “Maaf Rindou.”

Dari belakang, Liese menyentuh punggung Rindou lalu menggunakan serangan dalam menggunakan sihir dan mengacaukan aliran mana yang ada di tubuhnya. Serangan dari dalam tubuh langsung efektif dan membuat Rindou kesakitan akan mana miliknya yang diacak-acak.

Dalam beberapa detik, Rindou pingsan lalu jatuh tersungkur dengan kepala yang mendarat terlebih dahulu. Liese bernapas lega karena Rindou akhirnya dihentikan olehnya secara paksa.

Dan itulah yang terjadi.

   “Ngomong-ngomong, apa pemuda yang pingsan itu pacarmu?”

Pertanyaan dari pedagang tersebut membuat Liese menolaknya dengan pipi yang merona kemerahan. Sedari tadi, Liese menyadari akan tatapan mata pedagang tersebut yang memperhatikan bekas lukanya serta luka mata kirinya.

   “Mungkin ini pertanyaan yang sedikit menjurus, apa desa kalian berdua diserang lalu pergi dari desa?”

   “Dari pertanyaan itu ... sepertinya anda penasaran dengan bekas lukaku. Bukan seperti itu, kami berdua baru saja melakukan perjalanan dari Kota Morez.”

   “Mo-morez!? Bukankah itu Kota yang di mana para bangsawan terbunuh sekaligus oleh para budak!?”

Pedagang itu terkejut hebat akan informasi yang baru ia dapatkan. Liese menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan pedagang tersebut.

   “Begitu ya ... jadi informasi itu benar. Syukurlah ... ”

   “Eh? Kenapa?”

Liese bertanya-tanya kenapa pedagang itu lega ketika para bangsawan tewas setelah informasinya dipastikan. Pedagang tersebut cukup enggan menceritakannya karena menjurus masalah pribadi, tetapi tidak ada salahnya juga untuk memberitahukannya.

   “Desa kami berada pada kekuasaan tanah pemilik seorang bangsawan di Kota Morez. Pajak yang tinggi dan kami harus membayarnya setiap bulan, itu masalah yang serius. Tetapi setelah mendengar kabar tentang bangsawan yang menguasai tanah desa kami tewas, seluruh penduduk desa senang karena dapat terbebas.”

   “Tetapi ... bukannya ada cara lain lagi agar dapat terhindar dari pajak tersebut seperti berpindah tempat.”

Ucapan dari Liese ditanggapi dengan gelengan kepala, ia juga penasaran dengan apa yang dilakukan oleh para bangsawan dari Kota Morez.

   “Selama ini kami tinggal di desa itu selalu aman. Terdapat suatu penangkal sihir yang membuat para monster tidak mau mendekati, dan para bandit dapat diatasi oleh para petualang yang disewa. Jika saja kami melakukan perjalanan ke tempat lain, itu akan membahayakan anak-anak dan para perempuan karena para monster bisa menyerang kapan saja.”

Penjelasan dari pedagang tersebut memang masuk akal dan Liese mengerti betul akan hal tersebut, karena dia sendiri telah memahaminya. Maka jika seperti itu tidak ada cara lain selain tinggal, namun sekarang mereka terbebas karena hak tanah bangsawan yang dikuasai telah hilang.

   “Ngomong-ngomong, kau tahu nama keluarga bangsawan tersebut?”

   “Nama keluarga ya, jika tidak salah ... Keluarga Bangsawan Forded.”

Setelah mendengar hal tersebut, Liese terdiam lalu menundukkan kepala. Pedagang yang duduk di sampingnya seraya menjalankan tugasnya sebagai kusir, ia cukup heran akan Liese yang tiba-tiba diam saja.

   “Sebentar lagi akan kelihatan desanya, santai saja.”

* * * * *

*Jdug

Rindou terbangun karena kuda yang menarik kereta pengangkut barang berhenti tiba-tiba dan ia menyundul kotak kayu. Ia berguling-guling seraya memegangi kepalanya yang kesakitan.

   “Kita sudah sampai Rindou, ngg ... apa yang sedang kau lakukan?”

Tanya Liese seraya melihat tingkah Rindou dari belakang kereta kuda. Rindou masih bingung kenapa ia bisa tidur di dalam kereta kuda ini, meskipun sudah mencoba untuk mengingatnya tetap saja sulit. Yang terakhir kali ia ingat adalah ketika ia berniat untuk merampok.

   “Liese, di mana ini?”

   “Di suatu desa, lebih baik kita bermalam di sini lagi pula sudah sore.”

   “Baiklah, hanya saja ... kenapa aku bisa tidur di sini?”

Pertanyaan dari Rindou seraya mengingat kejadian sebelumnya membuat Liese langsung memalingkan wajahnya. Rindou menghela napas lalu melupakannya, yang lalu biarlah berlalu layaknya kenangan bersama mantan.

   “Aku pergi ke Kepala Desa dulu, kalian masuk saja ke desa.”

Ucap pedagang yang telah memberi mereka berdua tumpangan. Liese membungkukkan badannya lalu mengucapkan rasa terima kasihnya, sedangkan Rindou menguap seraya menggaruk-garuk kepalanya.

   “Desa ini lumayan berpenghasilan juga, apakah mereka saking giatnya untuk memakmurkan desa ini hingga menjadi desa berpenghasilan sendiri.”

   “Entahlah ... ”

Liese merasa kecewa akan ketidaktahuannya tentang hal ini. Ia merasa bersalah akan desa ini karena dia juga adalah anggota Keluarga Forded.

   “Kita cari tempat dulu.”

Ucap Rindou seraya berjalan mendahului Liese, mereka berdua memasuki desa dari jalur depan sehingga kedatangannya diketahui para warga dan anak-anak yang ada di sekitar. Mereka disambut dengan hangat dan para anak-anak menarik-narik mereka untuk mempercepat jalannya.

Ketika mereka berdua sudah jauh dari jalan masuk desa, terdapat dua perempuan bersaudari kembar yang sudah terlihat jelas karena perawakan mereka sama dengan rambut perak sedikit keunguan.

   “Ah ... bukankah kau ... ”

   “Tu-tuan Rindou?”

Ucap bersaudari kembar tersebut, Rindou terdiam sebentar seraya memperhatikan dua bersaudari tersebut dengan seksama. Akhirnya ia ingat dengan dua budak bersaudari yang diselamatkan olehnya ketika dikejar oleh dua laki-laki.

   “Kalian berdua kan yang ada di Morez, aku lupa nama kalian berdua.”

Ucap Rindou seraya menunjukkan wajah polosnya. Sang Kakak dari bersaudari tersebut membentak Rindou karena ia tidak bisa mengingat nama mereka berdua padahal hanya satu minggu beberapa hari yang lalu berpisah.

   “Kenapa kalian ada di desa ini?”

   “Apa kau sudah lupa? Keributan yang terjadi di Kota Morez membuat para budak dapat kabur. Kami berdua bisa sampai ke tempat ini dengan uang pemberianmu, kini kami berdua menetap di desa ini.”

   “Begitukah ... ”

Balas Rindou, Liese yang ada di samping kirinya menanyakan tentang dua bersaudari kembar tersebut akan hubungannya dengan Rindou. Rindou hanya menjelaskannya secara singkat, hanya teman yang ada di Kota Morez.

   “Jika kalian berdua tidak punya tempat bermalam, pergi saja ke rumah kami berdua. Ada satu kamar yang tersisa, jika kalian tidak keberatan maka silahkan saja. Pengecualian untuk Rindou, kau tidur di luar.”

Ucap Fiona sang Kakak dengan perkataan yang tegas dan cukup kasar memperlakukan Rindou. Rindou menunjukkan senyuman kecilnya seraya menatap Fiona.

   “Tunggu sebentar, bukankah kau pernah menjadi budakku? Seharusnya kau mematuhi perintahku.”

   “Eh budak? Tunggu ... berarti mereka berdua ... ”

Liese terkejut akan ucapan Rindou, ya ... Rindou menjelaskan bahwa Fiona dan Maron pernah menjadi budak sementara dari Rindou. Fiona dan Maron pun menjelaskan bahwa ia terlibat tentang kerusuhan para budak yang mengamuk.”

* * * * *

Malam hari ...

Rindou tidur di ruang tengah rumah Fiona dan Maron. Sedangkan Liese tidur di kamar yang tersedia, namun ia masih belum tidur karena penasaran tentang sosok Fiona dan Maron apalagi ia belum memahami semuanya.

Karena ia ingin memastikannya, Liese beranjak dari atas kasur lalu pergi menuju kamar dua bersaudari tersebut yang tidak jauh dari kamarnya. Ia berjalan amat pelan melewati Rindou yang tertidur pulas seperti panda, membangunkannya akan tambah runyam saja.

Sesampainya, Liese mengetuk pintu dua kali lalu menunggu jawaban dari dalam. Terdengar suara Fiona dari dalam yang mempersilahkannya masuk, Liese perlahan-lahan menekan gagang pintu lalu memasuki kamar Fiona dan Maron.

   “Liese ... ada perlu apa malam-malam seperti ini?”

Tanya Fiona yang tengah duduk di atas kasurnya, di kamar ini terdapat dua kasur yang terbagi dan terdapat sang Adik yaitu Maron tengah menulis sesuatu di atas meja dan ditemani oleh penerangan dari batu bercahaya menempel di dinding.

   “Aku ingin melanjutkan pembicaraan ketika di sore hari tadi.”

   “Begitu ya ... kemarilah.”

Fiona mempersilahkan Liese duduk dia atas kasur milik Maron. Ia juga disuguhi air bening dan beberapa makanan ringan oleh Maron secara inisiatif lalu duduk kembali di kursi sebelumnya.

   “Apa yang ingin kau ketahui?”

   “Hubungan kalian dengan Rindou dan kerusuhan yang terjadi oleh para budak.”

Jawab Liese, Fiona menghela napas panjang terlebih dahulu karena jika diceritakan akan menjadi lama. Ia mengerti akan keegoisan dari seorang perempuan yang bernama Liese ini, tetapi ia juga mengerti kenapa Liese ingin mengetahuinya.

   “Baiklah, pertama hubungan kami bersama Rindou hanya sebatas permintaan saja. Dia menyelamatkan kami berdua yang berusaha kabur lalu dikejar oleh dua orang penjaga para budak, yah kau tahu karena kami berdua mantan budak. Pada saat itu pula, Rindou membayar kami dan meminta kami untuk menemaninya.”

   “Rindou yang melakukannya? Ke mana?”

   “Tentu saja, ke suatu tempat di mana kami akan dijual. Perdagangan budak.”

Ucap Fiona seraya menatap mata Liese dengan cukup tajam. Liese menelan ludahnya karena ia baru tahu akan keterlibatan Rindou mengenai para bangsawan yang tewas, padahal selama ini dia bertindak seakan-akan tidak ada hubungannya dengan peristiwa kerusuhan para budak.

   “Hanya saja, kami berdua diberi perintah yang berbeda. Aku tidak boleh membicarakan hal ini, tetapi ... di tempat itu juga kami berpisah dengan Rindou.”

   “I-itu benar ... Tuan Rindou itu baik, bahkan dia membelikan kami pakaian dan memberi kami makan.”

Lanjut Maron sang Adik, mereka berdua mulai membahas tentang apa yang terjadi ketika di toko pakaian. Liese yang mendengarnya semakin penasaran akan sosok Rindou yang tidak ia ketahui.

   “Ketika kerusuhan terjadi, para budak mengamuk namun kami berdua tidak diserang meskipun sudah berpenampilan mewah apalagi Maron.”

   “Kakak ... aku pun dapat menemukanmu lebih cepat karena Tuan Werewolf yang baik itu memberiku arahan.”

Ketika mendengar nama Tuan Werewolf, Liese terkejut lalu menanyakan lebih lanjut tentang apa yang terjadi. Jika seperti itu, Liese berpikir akan keterlibatan Tuan Werewolf yang menyelamatkannya terlibat akan peristiwa kerusuhan tersebut.

   “A-aku tidak terlalu tahu karena tiba-tiba saja dia datang lalu menyuruhku untuk pergi dan mencari Kak Fiona.”

Ucap Maron yang sedikit malu, Fiona melanjutkan ceritanya tentang mereka berdua yang dapat kabur bersama para budak yang telah lepas dari kandang.

Setelah mendapatkan jawabannya dan ia memahaminya. Liese kembali ke ruangannya dengan pertanyaan yang terus muncul di kepalanya, siapa sebenarnya Rindou dan apa hubungannya dengan Tuan Werewolf? Pertanyaan tersebut terus terngiang di pikirannya.

   “Apa mungkin ... Tuan Werewolf dan Rindou merupakan pelaku dari semua kejadian yang ada di Kota Morez?”

Terpopuler

Comments

O-JAK

O-JAK

😅😅😅😅

2023-04-20

1

Autumn Poi

Autumn Poi

Seperti yang diharapkan dari bang Sema, mantap euy

2020-01-08

6

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!