Usai menutup buku catatan kecil miliknya, Aira beranjak untuk kembali ke kamarnya dan beristirahat mengingat besok masih harus ke sekolah.
Begitu gadis berambut cepol itu menginjakkan lantai ruang tamu, ia terheran dengan seorang pria yang berpostur tinggi besar dan budhenya sudah masuk dirumahnya tanpa permisi. Aira membelalakkan matanya melihat pria itu.
"Ayah?" ujarnya lirih.
"Aira" panggil pria paruh baya itu.
Aira mempersilahkan ayahnya dengan hati yang masih kacau balau.
"Aira, tujuan ayah kesini adalah mengajak kamu untuk tinggal bersama ayah" jelas Bernan, ayah Aira.
Aira semakin membulatkan matanya mendengar ucapan ayahnya. Lantas, Aira menatap Yulia, selaku kakak dari ibunya dan kebingungan harus menjawab dengan apa. Yulia yang mengerti isyarat dari Aira itu menganggukkan kepalanya pelan tanda mengiyakan.
"Huffhhhh....." Aira menghela nafas.
"Tapi yah, aku nggak bisa nyaman sama yang lain" kata Aira.
"Yang lain itu siapa? Ayah tinggal sendirian" kata Bernan.
"Sendiri? Emangnya kemana perempuan itu?" Aira sedikit membumbui perkataannya dengan sindiran.
Bernan hanya menundukkan kepalanya menatap lantai berdebu.
"Airaaa" bujuk Yulia, mengusap lutut Aira.
"Huhhh.... Emangnya nanti aku mau tinggal dimana? Aku nggak mau kalau harus pindah ke luar kota. Aku udah nyaman disini. Aku juga udah tinggal disini sama ibu bertahun-tahun. Banyak kenanganku sama ibu disini" Aira menahan tangis.
"Raaaa, kalau begini terus kamu jadi nggak bisa melupakan kesedihan kamu. Kamu nggak bisa begini terus kan?" kata Bernan.
"Nggak mau! Aku maunya tetep disini. Seenggaknya aku bisa tinggal sama kenangan ibu!" Aira beranjak dari sofa ruang tamu dan pergi ke kamar dengan kaki yang dihentak-hentakkan.
"Airaaaa" Yulia berusaha membujuk Aira yang sedang dirundung pilu.
"Udah, nggakpapaa. Mungkin dia masih pikir-pikir dulu" kata Bernan.
Sebelum pergi, Bernan berjalan menghampiri kamar Aira.
"Ra, kalau kamu udah berubah pikiran, hubungi ayah aja ya. Ayah juga nggak maksa kok. Nomor ayah tetep yang dulu. Ayah tahu kamu masih nyimpan nomor ayah walau kamu memblokir nomor ayah" kata Bernan.
Aira yang ada didalam kamar itu menelungkupkan badannya kekasur. Aira bingung, harus menerima tawaran ayahnya atau tidak. Sebab, Aira masih membenci ayahnya. Tapi disisi lain, Aira juga tidak ingin kehilangan ayahnya sama halnya dia kehilangan ibunya.
"Aku harus gimana?"
"Kalau aku nggak tinggal sama ayah, aku tinggal sama siapa?" gerutu Aira.
---
Aira menatap cermin yang memantulkan bayangan dirinya. Aira yang sudah memakai baju seragam lengkap beserta tasnya itu tampak murung. Alisnya menyatu, bibirnya cemberut dan keningnya mengkerut.
"Huffhhhh....." menghela nafas lalu meninggalkan cermin.
Aira berjalan keluar untuk pergi ke sekolah. Karena melewati dapur yang bisa disebut sebagai markas ibunya, Aira teringat sesuatu. Yang biasanya setiap pagi Aira sudah melihat ibunya sibuk dengan wajan penggorengan, kini tiada lagi. Wajah murungnya semakin jelas.
Gadis yang memakai sepatu hitam bertali putih itu mengayuh sepeda melewati jalanan yang mulai ramai pengendara.
"Oh sephia... Malam ini kutakkan datang... Hmmmmmm.....sayang...." Aira mengalunkan lagu milik sheila on 7 - Sephia untuk menemani perjalanannya.
Sesampainya dikelas, Aira menyibukkan diri dengan membuka segala aplikasi di ponselnya sebab dari kemarin dia belum membukanya.
"Ditemukan Siswa SMA Yang Telah Mati di sungai Brantas"
"Berikut Ini Adalah Fakta Siswa SMA Yang Ditemukan Tewas di Sungai Brantas"
Aira menemui beberapa artikel yang mengusung berita yang sama.
"Diduga S yang merupakan siswi dari sekolah EB, ditemukan tidak bernyawa di tepi sungai brantas. Saat ini, belum diketahui pasti penyebab dari siswi yang berinisial S ini ditemukan tewas. Polisi masih menyelidiki kejadian ini lebih lanjut......." begitulah kiranya potongan artikel itu.
"Ra!!!" salah satu teman Aira, Tama mengagetkan dirinya.
"Wua!!!! Ih!!! Kebiasaan!" Aira memukul lengan Tama.
"Kamu tuh yang kebiasaan! Dipanggilin daritadi nggak nyaut!" balas Tama.
"Emang lagi bacain apasih?" dengan jail Tama ikut mengintip layar ponsel Aira.
"Ihhhh kepo ya? Udah sana sana. Ganggu aja" kata Aira.
"Yeeee, daripada ganggu hubungan orang kan?" Tama menaikkan alisnya.
"Aku tabok mulutmu, mau?!!" Aira sudah mengangkat tangannya bersiap-siap untuk memukul.
---
Saat istirahat, Aira pergi ke taman yang ada di atap sekolahnya. Disana merupakan tempat yang paling ia sukai dari penjuru sekolah.
Aira berdiri mengarah ke pemandangan lapangan voly sekolah. Aira sempat melamun. Sampai seseorang datang mematahkan lamunannya.
"Duar!!" Tama menghentakkan kakinya mengagetkan Aira.
"Arrrggghhhh!!!" tangan Aira nyaris memukul Tama.
"Kebiasaan kan! Awas!" ancam Aira.
"Nih! Thaitea green tea. Kesukaan kamu kan?" Tama menyodorkan dua cup plastik minuman.
"Tau aja deh! Makasih ya" dengan senang Aira menerima minuman pemberian Tama.
"Ra" panggil Tama pelan.
"Hm?" Aira menjawab hanya dengan deheman sebab mulutnya masih menyeruput minuman.
"Pasti berat ya ditinggal orang yang paling kamu sayang, ibu kamu" Tama berbicara secara hati-hati takut menyinggung perasaan Aira.
"Hmmmm, gimana ya Tam" Aira menjadi diam sejenak.
"Mau dibilang berat ya, tapi udah takdir. Ya gimana lagi"
"Kalo aku boleh jujur sih, pasti berat lah Tam. Aku juga kan cuma tinggal sama ibu aku. Tapi sekarang malah nggak ada" Aira bercerita pada Tama dengan menahan tangisannya.
"Pasti ini ya yang kamu rasakan saat kehilangan ibu kamu juga?" kata Aira, mendongakkan kepala menatap Tama yang lebih tinggi darinya.
Tama hanya mengangguk, tatapannya menatap arah lain.
"Sekarang aku udah bisa berpikir jernih kok. Mungkin karena ini, ibuku udah nggak ngrasain sakit lagi, nggak minum obat-obatan lagi, nggak disuntik terus-terusan, nggak bergantung sama mesin. Aku cukup lega kok karena ibu nggak ngrasain sakit lagi" mata Tama berkaca-kaca.
Aira memegang tangan Tama dengan erat, maksud menenangkan.
"Sekarang udah nggak ada yang dicemasin lagi kan?" kata Aira.
Tama mengangguk.
"Aku salut sama kamu Ra, jujur. Kamu masih berusaha untuk nggak nunjukin kesedihan kamu didepan teman-teman yang lain" Tama memegang lengan Aira.
"Anggep aja hari ini aku mau menikmati masa-masa terakhirku disini Tam"
"Maksudnya? Kamu mau pindah dari sini?" Tama membulatkan matanya.
"Kemarin ayahku kerumah Tam"
"Tiba-tiba dia ngajakin aku tinggal sama dia setelah ibuku nggak ada" jelas Aira.
"Trus, apa jawabanmu?"
"Awalnya aku ragu buat ninggalin kota ini, tapi kalo dipikir-pikir lagi ya, apa salahnya. Toh ayahku kayaknya udah sadar dari hasutannya itu"
"Tapi sebenarnya aku belum ngomong keputusanku ini ke dia"
"Ayahmu bercerai dengan perempuan itu?" kata Tama.
Aira mengangguk.
"Habis morotin ayah kamu kayak gitu?"
Aira mengangguk lagi.
"Ternyata kamu tipe pemaaf juga ya. Padahal kan kalo dikagetin dikit aja udah mau nonjok!" ledek Tama.
"Ya liat-liat orangnya juga! Kalo orangnya kayak KAMU mah beda!" balas Aira, menekankan kata "Kamu".
"Trus, kenapa kamu nggak ngomong sekarang aja soal keputusan kamu?"
"Hmmmm, nanti aja deh. Kayaknya aku masih nanggung gengsi karena marah sama dia kemarin" Aira cemberut.
"Ah, lama!!!" Tama merebut ponsel Aira yang sedari tadi Aira genggam.
"Kamu masih memblokir nomornya?"
"Tamaaaa, udah nanti aja biar aku ngomong sendiri"
Tut...tut....tut....
Suara telepon tersambung.
"Ups! Udah nyambung, wlek!" Tama menjulurkan lidahnya meledek Aira.
"Halo?"
"Eh, eh, eh gimana dong" Aira berbisik pada Tama.
"Udah cepetan ngomong apa adanya aja" Tama pun membalas dengan bisikan.
"Halo, yah. Aku udah memutuskan tawaran ayah"
"Terus gimana jawabanmu Ra?"
Aira diam sejenak, melirik pada Tama. Tama yang mulai geregetan itu mengisyaratkan pada Aira agar cepat-cepat membalas pertanyaan Bernan.
"I...iy...iyaaa yah. Aira terima tawaran ayah. Aira mau tinggal sama ayah"
"Syukurlah, itulah jawaban yang ingin ayah dengar. Yaudah, nanti pulang sekolah ayah jemput kamu disekolah ya. Sekalian langsung ngurus pindahan"
"Secepat itu yah? Bisa nggak beri waktu Aira tiga hariiii aja" Aira memohon.
"Iya, yaudah. Sampai jumpa Aira"
"Da ayah"
Sambungan telepon pun terputus. Aira menghela nafas lega setelah mengatakan apa yang ingin ia sampaikan.
"Huffhhhh..... rasanya kaya lega banget, enteng banget" kata Aira.
"Kamu yakin nih ngedukung aku buat pindah ke luar kota?"
"Yakin lah! Itu kan untuk kebaikanmu juga Ai. Sebagai temen kan harus saling dukung"
"Eh, tapi jangan sampe hilang kontak ya. Pokoknya kita harus kontakan terus kayak biasanya. Awas kalo lupa sama aku" ucap Tama.
"Iya iyaaaaa. Kalo lupa kan nanti aku nggak ditraktir thai tea green tea lagi, hahaha" mereka tertawa bersamaan.
---
Sepulang sekolah, seorang pria yang mengenakan kemeja kotak-kotak rapi itu menunggu anaknya didepan pagar.
"Ra! Apa itu ayahmu?" tanya Tama, yang melihat kehadiran Bernan lebih dulu.
Aira pun mengajak Tama untuk ikut menemui Bernan, ayahnya. Aira pun canggung dengan ayahnya yang sudah lama tidak bertemu, apalagi dengan Tama yang belum pernah ketemu dengan Bernan.
"Yah?" panggil Aira canggung.
"Eh, Aira! Udah pulang? Ruang kepala sekolah dimana? Kita kesana dulu ya"
"Eh, ini siapa?" Bernan baru menyadari ada orang lain yang sedang bersama anaknya.
"Om, kenalin. Saya Tama, teman sekelasnya Aira" Tama mencium tangan Bernan dengan sopan.
"Temen apa temen nih?" Bernan menggoda Tama yang wajahnya mulai merah.
"Ehehehehe, yaaaa temen om" Tama menjawab dengan malu-malu.
"Eh, apanih! Kok malu-malu gitu. Sosok Tama yang nggak pernah aku liat sebelumnya. Apa jangan-jangan kamu sebenarnya emang suka ya sama aku?!" Aira menunjuk Tama, membuat Tama bingung untuk menjawab ucapannya itu.
"Hah... Ng...nggak...nggak... Siapa bilang. Kepedan, yeeeeee" Tama memonyongkan bibirnya.
"Hahahaha. Ternyata kamu nggak berubah ya Ra" Bernan menyahut.
"Yaudah, yuk antar ayah ke ruang kepala sekolahnya" sambung Bernan.
"Tama, kamu boleh ikut kok kalau mau. Temenin Aira dulu"
"Iya om"
Bernan berjalan terlebih dulu, sementara Aira masih terdiam sejenak melihat ayahnya dari punggungnya. Tak terasa, bibir Aira tertarik ketika melihat ayahnya itu. Aira merasa hidupnya perlahan kembali berwarna dengan kembalinya sang ayah, walaupun tidak ada sang ibu. Namun Aira tetap mensyukuri keadaannya ini, dengan senyuman tentunya.
"Yuk, Tam! Inget! Temenin, bukan ngledekin" kata Aira, lalu berjalan mendahului Tama yang masih berdiri ditempat.
"Huffffh untung aku bisa mengendalikan emosiku. Kalau nggak kan bisa ketahuan" Tama menggerutu ditempatnya berdiri.
"Haha, Ra... Ra... Kalau aku emang beneran suka sama kamu, kamu bisa apa? Haha" Tama tertawa kecil seperti malu dengan dirinya sendiri, yang kemudian menyusul langkah Aira.
***
Minggu pagi, karena tidak pergi ke sekolah, Aira sengaja bangun lebih siang dari biasanya. Berhubung Aira sedang mendapatkan tamu bulanan, yang artinya dia tidak diwajibkan untuk melaksanakan kewajiban jadilah Aira yang molor seperti sekarang ini.
Tak lama kemudian, Aira membuka matanya walau masih setengah sadar. Aira terbangun karena merasa terganggu dengan suara gemelontang diluar.
"Ayah ngapain sih diluar?" Aira langsung beranjak dari kasurnya.
Sreng....sreng....sreng....
Suara alat-alat dapur yang bertabrakan.
"Ayah ngapain?"
"Ayah masak?"
"Masak apa?" Aira bertanya dengan suara yang masih serak.
Tanpa Aira tahu, jika di sofa ruang tengah sudah ada seorang tamu tak diundang yang duduk disana hanya dengan menatap Aira sampai Aira tersadar akan kehadiran dirinya.
"Astaga!!!"
"Tama!!! Sejak kapan?"
"Ehehehe" Tama cengengesan.
"Kok pagi-pagi usah kesini aja sih. Udah kangen ya?" goda Aira.
"Sembarangan! Nggak lah. Kan kamu mau pindah hari ini. Itung-itung pertemuan terakhir"
"Apasih! Nggak ada pertemuan terakhir! Yang ada itu perpisahan sementara! Ganti kata-katamu itu, ngerti?!" tegur Aira.
"Ck!! Iya iyaaaaa Airani Bestariiiiiiii" Tama memanjangkan ucapannya.
"Ini dia sarapannyaaaa" Bernan membawa dua piring nasi goreng buatannya.
---
Sebelum Aira benar-benar meninggalkan rumah yang menyimpan kenangan bersama ibunya, Aira sempat memberi salam perpisahan pada tempat favoritnya dirumah ini.
Aira naik keatap dengan penampilan yang sudah bersih dan rapi, sudah siap untuk pergi. Aira menatap pemandangan kota di pagi hari sembari menyelipkan memori-memori ingatan yang pernah ia lalui semasa dirumah ini.
"Ra?" panggil Tama lembut.
Aira menengok ke sumber suara.
"Masih ngerasa berat untuk ninggalin kenangan-kenangan kamu yang ada disini?" tanya Tama dengan hati-hati.
Aira hanya mengangguk pelan.
"Pelan-pelan kamu bisa kok, oke?" Tama menepuk bahu Aira.
Karena Aira sedang kalut dalam kesedihannya, Aira tak kuasa menopang kepalanya yang berat. Aira mendaratkan kepalanya itu pada sebuah bahu lebar milik Tama. Tanpa Aira sadari, ada jantung yang sedang berdegub kencang saat ini. Jantungnya seakan hampir meledak.
Raaa, kamu sadar nggak sih bikin aku deg-degan?, batin Tama.
"Airaaaaa?!" Bernan berteriak memanggil Aira yang sedang diatap.
"Ini buat kamu, jangan dibuka sebelum sampe disana ya"
"Yuk, aku antar kamu sampe persimpangan"
"Jangan menoleh kebelakang sebelum aku ilang, ngerti?" ucap Tama.
"Kok gitu? Emangnya kenapa?"
"Aku nggak mau lihat wajah sedihmu itu" jawab Tama.
Aira pun menaiki mobil bersama ayahnya. Sementara Tama menaiki motor kalong, dan mengenakan kelengkapan helm bogo hitam menambahkan kesan yang berbeda.
Didalam mobilnya, Aira terus menebak dengan apa isi kotak yang diberikan Tama tadi diatap. Dan Aira pun sedang menahan diri untuk tidak menoleh kebelakang, kearah Tama. Karenanya, Aira hanya memantau keberadaan Tama melalui kaca mobil.
"Oh, dia masih dibelakang" gumamnya, membuat hati Aira menjadi tentram.
Sampai pada persimpangan yang sudah mereka janjikan, Aira semakin tak kuasa untuk menahan dirinya agar tidak menengok kebelakang.
"Tahan Ai... Tahan" Aira memejamkan matanya paksa.
"Ahh, aku nggak bisa!!!"
Yang pada akhirnya Aira membuka jendela lebar, dan menoleh kearah Tama. Tama yang melihat tingkah Aira itu tertawa gemas. Aira melambaikan tangannya pada Tama. Sementara Tama sudah mulai memelankan laju sepeda motornya. Semakin lama semakin jauh. Semakin sedih pula raut wajah yang ditunjukkan Aira.
Dan, mereka akhirnya berpisah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Teti Susanti
2wmome.maàawmwww
2020-07-08
0
Bcd
nice 💜💜
2019-11-02
2