Tentang Diana

Tentang Diana

Senyuman Palsu

Namanya Diana Starla Saskia, bunda dan ayahnya memanggilnya dengan nama Sasa. Dipanggil Dian oleh satpam sekolah dan 'Sigagap' oleh teman-teman yang biasa membully-nya. Tak ada rasa enggan sedikitpun ketika orang memanggilnya 'Sigagap' ya memang benar, dirinya memang memiliki kekurangan itu lalu kenapa harus berteriak pada takdir kalau sebenernya dia tak menyukai dirinya yang serba kekurangan. Berkali-kali dirinya menyerah tetapi berkali-kali juga dia bangkit, melawan semua kekurangan yang ada di dalam dirinya.

'Gagap' gangguan berbicara, membuat siapapun yang mengalaminya akan merasa terganggu. Dari umur 5 tahun ia mengalami gangguan berbicara dan sampai saat ini penyakit itu masih saja melekat dalam dirinya.

Sakit. Itulah yang dirasakan Diana saat melihat tawa orang-orang setelah mendengar suaranya. Sebegitu lucu kah mereka sampai tidak tahu kalau dibalik senyumnya ini menyimpan beribu-ribu luka yang disebabkan oleh mereka.

Semilir angin mengibaskan rambut panjangnya. Air matanya mengalir begitu saja bagai derasnya air sungai, segala kepedihan yang dia pendam berhari-hari dia keluarkan disini, di bawah langit gelap dibawah bintang-bintang, sendirian tanpa ada orang disini.

"Bin-bin-bintang! Bu-bulan! Ka-kalian te-teman ku k-kan! Arghhh-"

Diana menjambak rambutnya sendiri. Dia meringis, sulit sekali dia mengeluarkan suaranya. Kakinya bergetar, tubuhnya roboh tak sanggup menahan semua ini.

"Bu-bulan hiks ... Kia ga-gak ta-tau ha-harus a-a-apa bu-bulan."

Diana menggeleng-gelengkan kepalanya, mengeluarkan secarik kertas dalam ransel kecil berwarna hijau tosca. Dia menulis, menulis semua apa yang ada dipikirannya saat ini. Setiap malam sabtu dia rutin curhat pada gelapnya malam, meluapkan emosi dan kesedihannya lewat surat yang diterbangkan melalui balon, berharap surat itu menembus gelapnya malam.

Bulan, bintang? Kalian tidak menertawai suaraku kan?

Kalian masih mau kan? Menjadi temanku?

Mereka telah menyakitiku bulan,

Mereka telah menyakitiku bintang,

Aku sakit! Setiap hari aku selalu tersenyum! Menyembunyikan air mata yang ingin sekali terjatuh...

Andai aku punya teman selain kalian, teman berwujud manusia, teman yang mengerti akan keadaanku...

Aku akan sangat berterimakasih

Pada tuhan sang pencipta semuanya

Seperti biasa bulan, bintang, ini dari aku,

Diana

 

                                                                               OoO

.

 

Kalau dikata Diana lemah, dia menolak keras fakta yang sebenarnya. Berusaha untuk bersikap kuat seolah biasa saja menghadapi masalah yang setiap hari dia rasakan padahal, setiap malam dia menangis memeluk boneka di balkon sambil menatap gelapnya langit.

Diana tak mempunyai sahabat satupun, yang dia tahu bulan dan bintang adalah sahabatnya. Teman pun hanya dirinya yang menganggap mereka teman tapi mereka tak menganggap Diana sebagai teman melainkan bahan bullyan yang menyenangkan.

Hari semakin siang, 5 menit lagi bel masuk dibunyikan. Cuaca tak mendukung membuatnya duduk termenung di halte dekat gerbang sekolah. Tak bisa masuk kedalam sekolahan karena hujan yang cukup deras. Kakinya mengetuk-ngetuk pelan aspal yang mulai tergenang oleh air, berfikir bagaimana cara untuk mencapai sekolah tanpa kebasahan.

"Neng Dian?" panggil seseorang membuat Diana terlonjak kaget, pasalnya suara itu tiba-tiba muncul tanpa wujud.

Diana menoleh mendapati pak satpam yang sedang tersenyum padanya.

"Bapak tahu kamu tidak bisa masuk karena hujan kan? Nih Bapak bawain nak Diyan payung"kata pak satpam menyodorkan sebuah payung lipat berwarna navy pada Diana.

Diana tersenyum, menerima payung itu. Menyiapkan kata terimakasih untuk pak satpam dan ketahuilah betapa sulitnya dia mengatakan terimakasih.

"Sama-sama nak," balas pak satpam seolah tahu apa yang ingin Diana katakan.

Lagi lagi Diana tersenyum. Pak Jeno itu nama pak satpam si penjaga sekolah. Pak Jeno atau kerap disapa pak Jen ini, selalu mengerti kondisi dirinya, beliau tidak pernah menertawai ataupun membicarakan kekurangannya ini.

"Ayo Nak masuk, Bapak mau nutup gerbang," Ajak Pak Jen, diangguki oleh Diana.

Betapa baiknya pak Jen terhadapnya, semoga suatu saat nanti dia akan membalas semua kebaikannya.

Baru saja Diana menapaki koridor kelas 12, ia sudah mendapatkan banyak tatapan dari banyak murid-murid. Ini sudah biasa, setelah ini pasti ia akan mendapatkan ejekan manis yang langsung menembus hatinya. Terbiasa memang, tapi tetap saja setiap ucapan yang keluar dari mulut mereka berhasil membuat senyuman paslu tercetak di wajahnya.

"Si gagap datang guays!"

"Wah dapet lawakan nih pagi ini."

"Ngomong dong!! Buat kita ketawa!!"

"Eh, Des! Buat dia ngomong dong kan gak seru kalau dia diem doang."

Tahan Kia kamu pasti kuat,

Diana berusaha untuk menghindari mereka tapi langkahnya terhenti ketika seseorang menarik tasnya. Dengan ragu, Diana membalikan badannya, melihat siapa yang menarik tasnya.

Dessi

Itu Dessi teman sekelasnya, dia jahat! Sangat jahat! Melebihi apapun. Ia bersumpah jika ia diberikan kesempatan untuk berbicara lancar ia akan beradu mulut dengan Dessi.

Dessi menempelkan secarik kertas di wajahnya. Demi apapun, dia menempelkan kertas itu mengunakan lem kertas. Mereka tertawa sangat keras, air matanya ia tahan sekuat mungkin agar tidak keluar, mereka pasti senang melihatnya menangis.

"Di situ ada puisi! Sekarang juga lo baca yang kenceng dihadapan kita!" teriak Dessi.

Lambat laun, siswa siswi yang baru saja datang ikut serta menonton kejadian ini. Dirinya bagaikan pelawak nasyonal hingga melihat wajahnya saja akan membuat orang tertawa. Tangannya bergetar, mengambil kertas yang menempel di wajahnya.

"CEPETAN DIANA!!"

"I-iya D-d-dessi," lirihnya.

"Apa gak kedengaran! Lo ngomong apa!"

"I-i-iya D-d-dessi."

Hening. Suara orang berlalu lalang pun terdengar nyaring saat ini. Sedetik kemudian tawa mereka pecah, mendengar suara Diana yang terbata-bata.

"Aduh perut gue sakit ****... lanjut Des!!" teriak seorang cowo yang berdesak-desakan dengan penonton.

Dessi menghentikan tawanya, tangannya mengeprak kertas yang dipegang Diana. "CEPETAN BACA!!"

Keringat didahinya bercucuran, tangannya bergetar hebat. Ia menggigit bibir bawahnya pelan, sungguh untuk saat ini ia tidak bisa mengeluarkan suaranya.

"A-a-aku--"

Diana belum menyelesaikan satu kalimat tapi tawa mereka meledak bagai petasan neraka yang berkoar-koar. Ia diam, menunggu tawa mereka selesai.

Sabar pasti tuhan membalas mereka.

Kata-kata motivasi dari pak Jen selalu menguatkan dirinya agar tidak terlihat lemah dimata orang-orang. Tawa mereka perlahan surut, ia mulai membaca puisi itu lagi.

"S-s-s--"

"Si Thapki mau jadi uler wei!!"

 

'Thapki' panggilan terbaru dari teman-temannya. Ia tahu kenapa mereka memanggilnya 'Thapki' karena dulu ia pernah menonton film serial India yang pemeran utamannya bernama Thapki dan si pemeran utamanya itu bernasib sama sepertinya.

 

 

"S-si Tha-tha-thap-ki y-yang ga-gap hm---"

"HEI HEI NGAPAIN KALIAN BERKUMPUL DISITU! MASUK CEPAT!"

Suara yang berasal dari mikrofon TU terdengar, menghentikan aksi tawa mereka. Diana bersyukur kepada pak Baron, karena intrupsi pak Baron Diana dapat melihat kekecewaan dari raut wajah mereka dan karena pak Baron ia tidak harus membacakan puisi sialan itu lagi.

"BUBAR!! Diana! Dessi! Kenapa kalian masih disitu!"teriak pak Baron mengunakan mikrofon.

Dessi melirik Diana sinis. "Urusan lo sama gue belum selesai Thapki!"

Diana tersenyum tipis kemudian masuk kedalam kelasnya. Hanya tersenyum yang ia bisa tampilkan, ingin marah pun tak bisa karena kekurangannya selalu menahannya untuk melawan.

OoO

Diana duduk sendirian dan juga paling belakang. Tidak ada satupun yang ingin berdekatan dengannya apalagi satu kelompok dengannya. Hidupnya memang menyedihkan tapi Diana berusaha untuk tetap kuat dan tegar menjalaninya.

Keheningan terjadi dikelas XI MIPA 2, hanya ada suara guru yang sedang menerangkan. Setiap pelajaran bahasa Indonesia, murid-murid dikelas XI MIPA 2 tidak berani untuk tidur, mengobrol atau sekedar memikirkan sesuatu di luar tema pembahasannya. Bukan karena gurunya galak tapi guru bahasa Indonesia selalu membuat siapapun tegang ketika pelajarannya dimulai.

Bu Nindi itulah nama guru bahasa Indonesia, dia tegas dan sangat bijak dalam menyampaikan sesuatu. Pengocokan absen, melihat kalender dan menghitung berapa jumlah benda selalu dilakukan Bu Nindi untuk menjawab pertanyaannya, itulah hal yang membuat siapapun tegang. Bu Nindi mengajar Bahasa Indonesia sekaligus menjadi wali kelas XI MIPA 2, ya. Itu kelasnya.

"Apa yang dimaksud dengan ceramah, pidato dan khutbah? Akan dijawab oleh,"tanya Bu Nindi.

"Sekarang tanggal berapa ya?" tanya Bu Nindi sambil melihat kalender yang terpajang tepat di belakangnya.

"13 bu!" jawab salah satu murid.

"Felicia nugroho!" panggil Bu Nindi.

Seorang siswi bernama Felicia itu pun berdiri panik, berbisik-bisik pada teman sebangkunya meminta jawaban. Setelah cukup lama teman sebangku Felicia menjelaskan, Felicia pun menjawab pertanyaan itu dengan sangat lancar tanpa hambatan.

"Oke Felicia kamu boleh duduk kembali. Nah! Kita sudah mendengar pengertian ceramah, pidato dan khutbah, sekarang ibu mau tanya apakah diantara ceramah, khutbah dan pidato ada perbedaannya? Kalau ada sebutkan dimana letak perbedaannya."

Bu Nindi menatap ke tempat Dessi. Dessi yang tahu sedang ditatap oleh Bu Nindi pun langsung menunduk, takut tiba-tiba Bu Nindi memberikan pertanyaan kepadanya.

"Dessi! Hitung buku yang ada dimeja kamu!" perintah Bu Nindi.

"I-iya Bu," ujar Dessi mulai menghitung semua buku yang ada dimejanya.

Dessi tersenyum miring, otak liciknya mulai bekerja, tanpa sepengetahuan Bu Nindi dia memasukan satu bukunya kekolong meja. Yang seharusnya ada 10 buku, kini hanya ada 9 buku.

"Rasain lo!" gumam Dessi.

"Ada berapa Dessi??"

"Ada sembilan bu!"

Bu Nindi mengangguk. "Nomor absen 9 siapa?" tanya bu Nindi.

Diana menelan salivanya kasar. Ia yakin sekali ini hanya akal-akalan Dessi yang ingin sekali mempermalukannya. Dessi menoleh kearahnya, menatapnya seakan mengatakan'syukurin!!!'

"Thapki bu!" jawab mereka kompak.

Bu Nindi mengerutkan keningnya, tidak mengerti dan tidak tahu siapa itu'Thapki'

"Maksud saya Diana Saskia Bu," ralat Dessi.

Diana sudah siap dengan jawaban atas pertanyaan Bu Nindi tapi ia sangat sulit membuka mulutnya. Tangannya berkeringat dingin, berusaha untuk membuka mulutnya dan lagi-lagi gagal.

"Diana kamu tidak perlu memaksakannya, ibu tahu kamu sudah tahu kan jawabannya?" kata Bu Nindi sambil tersenyum pada Diana.

Ia menghela nafasnya, bersyukur lagi-lagi ia terselamatkan sementara Dessi tidak terima kalau Diana dibiarkan begitu saja. Dessi berdiri, mengacungkan sebelah tangannya keatas.

"BU! Saya tidak terima bu! Seharusnya Diana menjawab pertanyaan dari ibu bukan malah melepaskannya begitu saja! Ibu memang tidak adil pada kami, kalau kami tidak bisa menjawab pertanyaan dari ibu kami pasti dihukum!" Protes Dessi.

Diana mengacungkan sebelah tangannya keatas kemudian berdiri. "Sa-sa-saya--"

Semburan tawa murid-murid kelas XI MIPA 2 menyeruak didalam ruangan. Bu Nindi menatap datar Dessi, bertanya-tanya dalam hati, terbuat dari apakah hati anak itu hingga dia tidak pernah mengerti dan tidak pernah memposisikan dirinya menjadi Diana.

"DIAM SEMUA!!! Diana itu teman kalian!"

"Diana bukan teman kami Bu! Kami malu punya teman sekelas seperti dia!"

Deg

Hari-harinya akan seperti ini dan selalu seperti ini. Tidak akan pernah berubah, merengek pada takdir dan tuhan pun tak ada gunanya. Hanya menyesali pada dirinya sendiri, kenapa ibunya melahirkannya kedunia ini kalau tidak ada yang mau melihatnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terpopuler

Comments

eciw♡

eciw♡

Huaaaa, nama gue jadi antagonis 😪🙂

2020-12-12

2

Lismadwiii

Lismadwiii

kayaknya seru deh

2020-08-20

0

Priska Anita

Priska Anita

Like dari Rona Cinta mendarat disini 💜

2020-08-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!