وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهٖ جَنَّتٰنِ
"Dan bagi siapa yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga."
(QS. Ar-Rahman 55: Ayat 46)
***
"Abi, Annisa berangkat yah?" Aku mendekat ke arah Abi yang sedang duduk bersantai di ruang tamu. Ku coba untuk meraih tangan Abi, namun setelah ku raih Abi malah menarik dan membuat ku berakhir terduduk di sebelahnya.
Abi memberikan ku senyum terhangatnya.
"Sarapan dulu ya, Nak." Pinta Abi lembut seperti biasa. Aku tersenyum seraya menggeleng menanggapinya.
Abi terlihat sendu mendapatkan penolakan dariku. Aku sebenarnya tidak berniat menyinggung, sungguh. Hanya saja aku tidak ingin membuat keributan di pagi yang cerah ini. Aku tidak ingin membuat Abi dan Umi berdebat, membuat suasana menjadi kacau dan canggung seperti di pagi yang sudah-sudah.
Tersenyum tulus, "Jangan khawatir Abi, Puspa pasti sudah menunggu ku untuk sarapan bersama di butik. Aku tidak ingin membuatnya menunggu." Alasan ku mencoba memberikan pengertian kepada Abi. Abi menghela nafasnya lelah dan mengangguk mengiyakan rencana ku di pagi ini.
"Kak Annisa pagi ini tidak sarapan lagi?" Suara Saqila lembut mengintrupsi pembicaraan ku dengan Abi. Ia datang dengan sebuah gelas yang masih mengepul asapnya, ah itu kopi kesukaan Abi.
Aku tersenyum dan mengangguk mengiyakan pertanyaannya. Ia terlihat cemberut mendapatkan jawaban singkat dari ku. Pipi gembilnya terlihat mengembung lucu. Ah, betapa manisnya Adik ku yang satu ini.
"Kak Annisa masih saja keras kepala, uh aku merasa terluka karena masakan ku tidak pernah dimakannya." Rajuk Saqila membuat ku mau tidak mau tertawa lepas, lihatlah ia seakan tidak sadar umur, begitu menggemaskan. Aku mencubit pipinya gemas seraya mencium tangan Abi, mengucapkan salam dan langsung pamit untuk memulai pagiku.
"Umi, Annisa berangkat, assalamualaikum.." Pamit ku kepada Umi sambil mencium tangan kanannya. Ia tidak menolak juga tidak mengatakan apapun. Tapi aku yakin, walaupun Umi bersikap seperti itu ia pasti menjawab salam ku.
Setelah pamit aku langsung bergegas keluar, berjalan menuju butik. Aku tidak jalan kaki kok, aku menempuh perjalanan ke butik dengan menggunakan layanan taksi. Ini sudah biasa aku lakukan jadi aku tidak terlalu takut atau khawatir jika menggunakan taksi atau layanan jasa antar lainnya. Selama perusahaan asal mereka jelas dan mempunyai sertifikat telah lulus uji dari pemerintah maka itu bukanlah masalah.
Hampir 15 menit menempuh perjalanan akhirnya aku sampai di depan butik yang sudah beberapa bulan tempat ku bekerja, di sana Puspa dengan manisnya menunggu kedatangan ku.
Sebenarnya butik mulai dibuka pukul 8.15 pagi, namun aku dan Puspa sepakat untuk datang lebih pagi agar bisa sarapan bersama. Iya, hal ini rutin kami lakukan begitu Puspa mengetahui bahwa aku selalu melewati sarapan pagi ku di rumah.
"Assalamualaikum, Puspa?" Salam ku semangat setelah sampai di depannya. Puspa tersenyum lebar melihat kedatangan ku, ia menjawab salam ku dengan tidak kalah semangat sambil menggapai pergelangan tangan dan langsung menarik ku untuk mengikuti langkah kakinya.
Kami menyeberangi jalanan dan langsung masuk ke kafe yang menjadi langganan kami sejak aku bekerja di sini. Tidak seperti kafe yang biasanya buka jam 8 pagi, itu pun maksimal. Kafe ini justru mulai buka dari jam 6.30 pagi hingga jam 20.30 malam.
Aku tidak tau sistem apa yang mereka gunakan di sini, akan tetapi yang aku tau adalah sistem kerja mereka ini sangat membantu untuk ku. Jadi aku sangat berterima kasih atas sistem kerja mereka.
Setelah duduk disalah satu meja yang amat sangat strategis untuk di tempati kami pun langsung memesan makanan yang baik untuk sarapan pagi.
Sambil menunggu pesanan kami datang, aku mencoba memanfaatkan waktu yang kosong untuk melihat-lihat kafe ini sementara Puspa yang sedang asik dengan handphone genggamnya.
Pagi ini cukup ramai menurut ku, itu terlihat dari semua meja yang ada di kafe ini hampir terisi semua. Kebanyakan adalah mereka yang masih berumur muda, tidak jelas apakah mereka anak SMA atau kuliahan, karena ya, hari ini adalah hari minggu dan seperti yang kalian tau sendiri ini adalah hari libur. Minggu berarti libur jika kalian belum paham.
Bosan memandangi suasana kafe yang monoton, aku akhirnya mengalihkan pandangan ku ke arah luar. Memang kafe ini di dominasi oleh kaca, aku tidak tau tujuan utama sang pemilik untuk membuat kafe ini menjadi tempat yang didominasi oleh kaca atau sesuatu yang transparan, akan tetapi yang jelas aku bersyukur karena dengan begini aku bisa menghilangkan rasa bosan ku terhadap tempat ini.
Di luar sana, aku bisa melihat beberapa orang yang sedang ingin menyeberangi jalan raya, ada orang yang sedang duduk bersantai dikursi yang memang khusus disediakan oleh pemerintah untuk para pejalan kaki atau untuk orang yang singgah beristirahat.
Ada beberapa pasangan remaja yang sedang asik berbincang-bincang, terlihat menyenangkan. Di sana juga ada beberapa para pejalan kaki yang sedang istirahat di pinggir trotoar jalan, mereka terlihat kelelahan dari aktivitas acara lari pagi mereka.
Ah, di sana juga ada beberapa pejalan kaki. Salah satu diantara mereka sepertinya pasangan suami istri. Itu terlihat dari sikap mereka yang begitu romantis dan manis. Ah, betapa beruntungnya mere-
"An?"
"Ya?" Jawab ku seraya mengalihkan pandangan ku menatap Puspa yang kini juga sedang menatap ku.
"Kamu dari tadi liatin apa sih? Kok kelihatan nya seru banget deh. "
"Oh, enggak kok. Biasa aja, aku cuma liatin para pejalan kaki yang lagi istirahat diseberang jalan." Jawab ku sedikit berbohong. Mana bisa aku menceritakan apa yang aku lihat tadi kepada Puspa, bisa-bisa Puspa kepikiran lagi dengan apa yang ku lihat.
Hem, benar. Itu tentang pasangan suami istri yang terlihat romantis, sejujurnya aku sedikit iri atau cemburu mungkin melihat mereka begitu bahagia dengan pasangan masing-masing.
Puspa terlihat menganggukkan kepalanya mengerti dan kembali fokus berkutik dengan handphone genggamnya.
Lagi, aku memilih mengalihkan pandangan ku ke arah pasangan tersebut namun na'as karena tempat pasangan tersebut beristirahat dihalangi oleh sebuah mobil sedan hitam. Dari mobil tersebut keluarlah seorang laki-laki yang terlihat cukup tinggi. Dari perawakannya aku bisa simpulkan bahwa laki-laki ini sangat tampan, itu bisa aku simpulkan dari posturnya yang cukup tinggi, kulitnya yang putih, garis rahangnya yang tegas, kedua alisnya yang tebal dan hitam, kedua matanya yang tajam dan berwarna hitam bersih, bibirnya yang-
"Hem, biasa aja ya? Tapi ngeliatnya kok gak nyantai gitu?" Bisik seseorang berhasil membuat ku tersadar dari acara menilai ku. Tunggu
Jangan-jangan...
"Puspa!" Kaget ku setelah mengetahui bahwa yang sedang membisikkan ku tadi adalah Puspa.
"Astagfirullah..kamu hampir buat aku jantungan tau gak! Astagfirullah.." Kesal ku yang langsung dihadiahi suara tawa Puspa yang terdengar ditahan, itu karena ia masih waras tidak mau menjadi bahan perhatian dan perbincangan orang-orang di sini. Ia enggan menjadi buah bibir simpelnya.
"Biasa aja tapi ngeliatin orang sampai segitunya, huh sampai-sampai sarapannya sendiri dilupakan." Cibir Puspa membuat ku mendengus tak suka.
Benar, aku baru menyadari jika menu sarapan yang kami pesan sudah berjejer rapi di atas meja kami. Sejak kapan makanan ini ada di sini?
"Kau tentu tidak menyadari kapan makanan ini datang karena kau sangat sibuk memandangi seseorang." Ujar Puspa seakan bisa membaca isi pikiran ku. Ia dengan santai memasukkan satu sendok nasi goreng kedalam mulutnya dan jangan lupa tatapan mengejeknya yang sangat menyebalkan itu.
Aku memutar bola mata ku malas, kesal sendiri menanggapi tatapan mengejeknya. Daripada meladeni ejekan Puspa, aku lebih memilih untuk memfokuskan pikiran ku pada seporsi nasi goreng yang ada di depan ku.
***
"Alhamdulillah..sudah rapi semua." Syukur ku begitu selesai mengecek stok di luar ternyata sudah sangat pas. Sementara Puspa sibuk mengecek stok di gudang, aku pun memutuskan untuk duduk bersantai sambil mengecek stok bulanan bulan lalu. Sedang asik-asik membaca draft pengeluaran tiba-tiba aku mendengar suara pintu dengan langah ringan yang spontan membuat ku mengalihkan perhatian ku. Seorang wanita paruh baya masuk dengan anggun berjalan ke arah ku.
"Assalamualaikum Ibu, ada yang bisa saya bantu?" Sapa ku seramah mungkin seraya memberikannya salam hangat.
Ibu itu tersenyum dan membalas salam ku tidak kalah hangatnya. "Saya ingin mengambil pesanan saya satu minggu yang lalu." Jawab Ibu tersebut.
Mendengar jawaban Ibu tersebut aku langsung membawanya ke ruang tunggu.
"Atas nama siapa Ibu?" Tanya ku seraya membuka buku daftar nama para pelanggan yang memesan pakaian.
"Atas nama Ibu Hadratul Aini." Jawab Ibu itu tersenyum, ah melihatnya terus tersenyum seperti ini pasti ia adalah seorang wanita yang ramah dan baik. Aku jadi kangen Umi. Tunggu, wajah Ibu ini terlihat tidak asing bagiku, aku
sepertinya pernah bertemunya di suatu tempat.
"Oh, pesanan Ibu saat ini sedang dikemas di gudang. Mohon tunggu sebentar ya, Bu." Ujar ku setelah mengecek ternyata pesanan Ibu tersebut masih dikemas di gudang.
Lagi-lagi Ibu tersebut hanya merespon ku dengan sebuah senyuman, masyaa Allah, betapa
ringan bibirnya.
"Kalo begitu, tolong temani saya di sini. Saya tidak suka jika berdiam diri tanpa bersuara padahal saya mempunyai seseorang yang bisa diajak mengobrol. " Pinta Ibu tersebut.
Aku hanya menanggapinya dengan sebuah tawa kecil seraya berjalan mendekati dan berakhir duduk bersamanya. "Ah, ternyata selera humor Ibu baik juga." Kagum ku membuat Ibu tersebut mau tidak mau tertawa juga.
"Benarkah begitu?" Aku mengangguk pelan sebagai ungkapan rasa kejujuran ku.
"Saya tidak pernah tahu jika saya mempunyai humor yang cukup baik, tapi jujur saya tidak bisa tahan jika tidak berbicara padahal ada seseorang yang bisa saya ajak mengobrol." Jelas Ibu tersebut membuat ku lagi-lagi menganggukkan kepala ku maklum.
"Ibu tinggal dimana?" Tanya ku mulai membuka obrolan ringan.
"Saya tinggal di kota jauh Nak, di pondok pesantren Ar-Rahman." Jawabnya pelan. Ia tinggal di pondok pesantren?
Ah, apakah ia pemilik pondok pesantren itu tepatnya?
Aku penasaran.
"Apa-"
"Assalamualaikum, Umi." Ucapan ku terhenti ketika seseorang mengintrupsi obrolan kami.
"Waalaikumussalam, bagaimana? Apa urusan kamu sudah selesai?" Tanya Ibu tersebut kepada laki-laki yang ku yakini adalah anaknya. Kenapa aku bisa mengetahui bahwa anak Ibu tersebut adalah laki-laki?
Karena simpel saja, suaranya terdengar seperti laki-laki yang masih muda.
"Alhamdulillah, sudah Umi." Jawabnya sopan. Karena penasaran aku akhirnya memutuskan untuk melihat seperti apa sosok anak dari Ibu ini.
Deg
Bukankah laki-laki ini adalah laki-laki yang aku lihat di kafe tadi?
Dia sangat-astagfirullah! Apa yang aku pikirkan?
Jangan melangkah terlalu jauh Annisa! Jangan melangkah terlalu jauh.
"Ibu Hadratul Aini, ini pesanannya sudah siap. Maaf membuat Ibu menunggu." Suara Puspa memecahkan kecanggungan, tepatnya hanya aku yang merasa canggung di sini.
"Oh, tidak apa-apa. Lagipula saya juga sedang menunggu anak saya menyelesaikan urusannya. Oh ya, terima kasih atas kerja keras kalian. " Jawab Ibu tersebut ramah. Di setiap kata yang ia ucapkan selalu saja membuat hati tenang. Bagaimana bisa aku melupakan orang seramah dia. Karena urusannya yang sudah selesai akhirnya Ibu dan pemuda laki-laki tersebut meninggalkan tempat kami. Aku masih merasa aneh, bahkan setelah kepergian laki-laki tersebut. Perasaan yang ku rasakan ini seperti sebuah ketidak relaan atas kepergian laki-laki tersebut.
Apa iya?
Astagfirullah, aku baru menyadarinya sekarang bahwa Ibu ini adalah Ibu dari laki-laki tersebut. Maka wajar saja jika aku merasakan pernah bertemu dengan sosok Ibu ini karena faktanya tadi pagi aku sempat melihat anaknya. Ah, jadi sebenarnya orang yang ku temui pertama kali adalah anaknya, bukan Ibu itu.
“Jadi seperti itu.” Gumam ku kepada diriku sendiri.
“Ada apa Ann?” Puspa bertanya bingung. Mungkin ia mendengar apa yang ku katakan tapi kurang jelas.
Tersenyum tipis, aku menggelengkan kepala ku ringan. “Bukan apa-apa.”
***
Author P. O. V
"Assalamualaikum, Annisa pulang." Salam Annisa seraya membuka pintu rumah. Namun, tidak ada seorang pun yang menjawab salam Annisa. Alasannya? Itu karena tidak ada seorang pun di rumah ini. Karena tidak mendapati siapa pun di ruang tamu, akhirnya Annisa mencoba mencari keberadaan orang-orang rumah dengan mengitari semua tempat.
Hingga akhirnya Annisa mendapatkan keberadaan keluarganya di ruang keluarga. Sayup-sayup Annisa bisa mendengar suara mereka yang sepertinya sedang mengobrol serius.
"Namanya Mas Gio Umi, bukan Mas Ilham." Suara Safira menyela ucapan Uminya.
Annisa terdiam di tempat, ia ragu untuk bergabung bersama mereka. Karena saat ini Umi, Abi, Saqila, dan Safira sedang berkumpul bersama. Ini jarang terjadi sejak Annisa gagal dalam berumah tangga. Karena sejak saat itu Umi dan Abi pasti selalu berdebat dan berujung emosi yang membuat suasana rumah menjadi tegang.
Annisa tau diri, jika ia bergabung bersama mereka maka itu sama saja ia merusak kebahagiaan yang sedang menyelimuti keluarganya. Melihat suasana damai ini, Annisa memilih untuk diam dan pergi ke kamarnya. Ia cukup bahagia melihat Umi dan Abinya tertawa bahagia seperti saat ini, dia bersyukur akan nikmat yang Allah berikan hari ini.
BERSAMBUNG..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Seri Wahyuni
sedihnya hanya gara gara diceraikan dimp
2021-07-05
1
Dwi Trisna
sungguh mulia hatimu annisa
2021-04-27
3
Arum
sedihhhhh
2021-01-02
2