Re:START/If {Book 1.0}
Menurut kamu apa yang membuat dunia bisa terus berjalan seperti ini?
Apakah karena adanya masyarakat yang tertib?
Nilai?
Moral?
Atau Hukum?
Apapun sebabnya, pasti sebuah unsur bernama ‘Manusia’ akan selalu terlibat di dalamnya.
“Manusia adalah pusat dari dunia.”
Itulah bagaimana orang-orang hedonis berpikir. Menganggap diri mereka paling penting di dunia, tak tergantikan, dan merupakan prioritas utama.
Mereka semua menikmati kebahagiaan, tanpa pernah berpikir semua yang mereka dapat itu berasal dari mana.
Meskipun banyak orang yang menderita, bersedih, kesusahan, dan merana di luar sana, kebanyakan orang yang hidupnya terpenuhi akan bersifat apatis akan kenyataan yang ada.
Orang-orang seperti itu akan berpaling dan menganggap dunia hanya seluas lingkungan mereka yang damai, sejauh kaki mereka pernah melangkah.
Bagi beberapa orang, alasan mengapa dunia bisa tetap ada dan terus berjalan sampai sekarang adalah karena keberadaan mereka, orang-orang yang berperan dalam kesusahan dan penderitaan.
Itu merupakan sebuah pandangan untuk memuaskan diri semata, begitu naif.
Aku sendiri merupakan bagian dari mereka, orang-orang yang berjuang dalam kesusahan dan penderitaan tersebut.
Tetapi, asal kalian tahu, aku satu kali pun tidak pernah mengutuk takdir. Tak pernah menganggap nasib yang diriku dijalani ini buruk dan pantas dihina.
Apa yang aku dapat sekarang, hidupku saat ini, semua yang telah aku lewati, dan berbagai nasib yang sudah aku alami, semua itu adalah sebuah anugerah dalam kehidupan.
Entah sejelek dan semenjijikkan apa pun hal tersebut, itu adalah diriku.
Hanya dengan melihat mereka yang berkecukupan, aku bisa merasa, “Ah, dia bisa makan enak dan bersenang-senang seperti itu berkat adanya orang seperti diriku ini. Kalau saja tidak ada yang di bawah, pasti tak akan ada yang di atas.”
Pemikiran tersebut hanya untuk menghibur diri, secara tidak sadar aku menyadari hal tersebut. Untuk melindungi sesuatu yang bernama hati dan perasaan yang rapuh, diriku pun berpaling pada kenyataan yang ada.
Tetapi ..., itu mau bagaimana lagi. Ini adalah hidupku, ini ketentuan dan ketetapan yang ku dapat. Sudah tidak ada yang bisa diubah sekarang.
Aku tahu kehidupan ku sangatlah membosankan dan menyedihkan, oleh karena itu diriku mencoba untuk tenggelam dalam harapan palsu dan ilusi.
Aku tahu dunia ini dibuat dengan adil, tetapi tidak setara untuk semuanya. Oleh karena itulah, sebuah perbedaan ada di mana-mana.
Aku tahu kalau dunia ini tercipta sangat indah, namun tidak setiap saat akan terlihat seperti itu. Ada kalanya hal buruk memenuhi, lalu menjadi hal yang biasa.
Aku hanya tahu, tetapi tak pernah mengerti sebuah makna yang ada di balik semua itu.
Entah itu alasan mengapa diriku terlahir di dunia ini, mengapa aku ada, lalu kenapa hidupku bisa menjadi seperti ini.
Terus bertanya-tanya tanpa bisa memahami atau bahkan menemukan jawaban, lalu pada akhirnya hanya mencari setumpuk alasan.
Tanpa benar-benar mencari tahu jawaban yang diinginkan.
Lebih rendah dari orang-orang yang menutup mata dari kenyataan, itulah jenis manusia yang menyalahkan orang lain atas situasi yang didapatnya.
Lalu, aku pun termasuk golongan orang semacam itu. Begitu rendah, hina, dan munafik.
Andai bisa mengubah segalanya, aku ingin menjadi diriku sendiri sampai akhir.
Namun, sayangnya hal tersebut sangatlah mustahil. Sebuah organisasi bernama ‘Masyarakat’ takkan pernah memberi kesempatan itu padaku.
Bagaikan sebuah produk yang telah ditempeli label harga, aku tidak bisa melepas peran yang telah diberikan oleh masyarakat.
Jika mencobanya, seperti halnya barang tanpa label di swalayan, aku tidak akan diterima oleh pembeli bernama masyarakat.
Ini hanya sebuah keluhan. Tidak ada yang penting, tidak ada yang harus dipermasalahkan, dan tidak perlu diperdebatkan.
Hanya sebuah ungkapan kata-kata, sebuah kalimat yang akan hilang terbawa angin dan suatu saat akan tertelan oleh waktu.
Sungguh, semuanya adalah omong kosong belaka. Sebuah bualan tak penting.
««»»
Sore hari menjelang senja, aku berdiri di atap gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tempatku berkuliah. Sambil meletakkan kedua tangan di atas pembatas besi, melihat pemandangan pepohonan sekeliling bangunan.
Gedung ini memiliki tiga lantai, dengan ruangan yang jumlah mungkin mencapai lima puluh lebih. Itu hanya perkirakan, sebab diriku sendiri tak pernah menghitungnya secara langsung.
“Huh, sungguh menyedihkan.”
Perkataan itu aku arahkan pada diriku sendiri. Ya, mau bagaimana lagi. Untuk masa penuh potensi di umur 18 tahun, aku bagaikan anak ayam yang masuk ke dalam kandang bebek.
“Aku tidak tahu kalau salah jurusan akan sangat menyedihkan seperti ini.”
Sebenarnya tidak ada alasan untukku mengeluh, dari kecil sampai sekarang memang tak ada satu pun pilihan penting yang diriku ambil sendiri. Semuanya aku serahkan pada keluarga, lingkungan, dan suasana yang ada.
Sekolah dasar hanya karena diperintah untuk bersekolah, masuk SMP yang cukup ternama di daerah ku juga hanya karena tuntutan orang tua. Saat jenjang berikutnya juga tak jauh berbeda, begitu pula masa kuliah ini.
Namun, dari semua itu ada satu yang berbeda sekarang. Aku tidak harus berada di rumah itu. Jujur saja, aku juga masih ragu untuk memanggil tempat itu sebuah rumah.
Tidak, ini bukan berarti tempatnya tidak nyaman ataupun tidak layak, malah bisa disebut tempat itu kelas menengah ke atas.
Hanya saja, sesuatu yang penting dari sebuah ‘Rumah’ tidak ada pada tempat itu. Sebuah kekeluargaan yang rukun tidak ada di tempat tersebut. Di sana hanya ada orang, orang, dan orang yang mungkin bisa disebut keluarga.
“Yah, kurasa ini lebih baik daripada harus satu tempat dengan mereka terus.”
Sambil duduk bersandar pada pembatas, aku mendongak ke atas. Mengingat kembali orang-orang yang secara DNA adalah keluargaku.
Ayah yang selalu pulang larut malam karena pekerjaan, Ibu yang merupakan seorang wanita karier, dan adik yang lebih berbakat dariku. Jujur aku tidak membenci mereka, tetapi aku juga tidak bisa bilang kalau diriku suka mereka.
Mau bagaimana lagi, aku bahkan tidak pernah punya kenangan bahagia dengan keluargaku sendiri.
Sejak umur lima tahun, aku sudah dititipkan ke kerabat karena mereka sibuk bekerja.
Aku tidak pernah dipuji atas hasil yang diriku capai. Jangankan memuji, mereka selalu membanding-bandingan diriku dengan adikku.
Memang itu bukan salah siapa-siapa aku sampai tidak bisa merasa suka kepada mereka. Aku tahu kalau mereka melakukan semua itu demi anak mereka. Tetapi, hanya saja aku sebagai anak tidak pernah bisa merasakan kebaikan mereka.
Muak dengan suasana yang menyesakkan di tempat yang disebut rumah itu, setelah lulus SMA aku memilih Universitas yang jauh.
Sayangnya, aku tidak diterima dan harus masuk ke Universitas yang hanya berjarak lima stasiun dari daerah tempatku tinggal.
Meski begitu, paling tidak aku terbebas dari suasana itu. Memasuki sebuah masa baru dimana aku merasa salah jurusan. Hasil dari pilihan yang coba aku ambil.
Grrrrr...!
Perutku berbunyi, sudah dari pagi aku belum memasukan apa-apa ke dalam mulut kecuali air. Pada saat tanggal tua, bagi anak indekos memang wajar hal seperti ini terjadi.
Ya, paling tidak kecuali orang-orang yang bisa memanajemen keuangan dengan baik.
"Akh, sialnya ..., kalo tahu begini mending aku Puasa Senin-Kamis lagi. Apa sekalian ditambah Puasa Daud ya, kalo dihitung berarti seminggu bisa hemat senin, rabu, kamis, Sabtu. Ah, tetep harus buka, ya? .... Oh, iya ... ini hari Selasa.”
Setelah bergumam tidak jelas, aku berdiri dengan lemas. Menarik napas sejenak, kemudian berjalan masuk dan menuruni tangga.
Sebenarnya bukan berarti aku kekurangan uang sekarang, jatah bulanan dikirim tanpa telat ataupun kurang. Alasan aku sangat menghemat sampai tak makan adalah karena sedang menabung, untuk membeli tanah sendiri setelah lulus dan bisa benar-benar mandiri.
Sekarang aku bahkan kerja magang pada hari sabtu dan minggu sebagai Arsiparis di perusahaan yang memiliki koneksi dengan kelurga. Menggunakan nama kedua orang tua, aku diterima dengan mudah meski hanya mendapat upah 800 ribu sebulan.
Lulus langsung menabung untuk membangun rumah, itulah satu-satunya alasan ku ada sekarang. Mungkin itu terdengar konyol, namun apa boleh buat karena pada dasarnya aku adalah orang yang tak berambisi.
Setelah sampai di lantai paling bawah, aku segera keluar dan berjalan menuju tempat parkir motor. Namun, untuk beberapa alasan aku merasakan firasat buruk.
Untuk orang yang selalu membaca suasana seperti diriku, tidak mungkin aku mendapat musibah situasi seperti ini.
Aku dipalak, oleh tiga orang berandalan berbadan besar yang tidak aku kenal.
Dengan nada dan wajah yang menunjukkan tanda pasrah, aku berkata, “Aku enggak punya uang, sungguh. Kalo enggak percaya, cari aja.”
Aku mengangkat kedua tangan, lalu mereka pun merogoh semua saku yang ada. Pada saat mereka tidak menemukan uang yang dicari, sebuah bogem mentah mendarat di perutku dan ditutup dengan tendangan di wajah saat aku tersungkur.
“Cih, dasar barbar. IQ jongkok,” itulah yang aku pikirkan. Tentu saja aku tidak bodoh untuk mengatakan itu langsung kepada mereka.
Setelah mereka pergi meninggalkanku, aku bangun dengan tubuh yang lemas ditambah nyeri dan sakit. Tanpa melontarkan kalimat untuk mengumpat, aku lekas berjalan menuju satu-satunya motor yang tersisa di tempat parkir.
Itu motorku, motor bebek yang kalau diloak mungkin harganya kurang dari tujuh juta.
Kesialan ku hari ini tidak berakhir. Saat aku ingin keluar, ternyata palang pintu tempat parkir telah tertutup dan penjaganya sudah pulang.
Kalau dipikir-pikir, mungkin itu wajar mengingat hari sudah sangat sore.
Dengan berat hati, aku meninggalkan motor dan pulang dengan berjalan kaki. Memperkirakan motor bisa saja dicuri atau tidak, kemungkinannya tidaklah nol.
Tetapi, bagiku sekarang mengangkat motor melewati pagar setinggi hampir dua meter adalah hal mustahil.
Meminta bantuan adalah solusi mustahil, sebab di tempat tersebut sudah sangat sepi. Mungkin jika berlama-lama, yang ada mungkin aku dihajar lagi oleh preman-preman kampus yang sering keluyuran saat sore seperti ini.
“Lemes banget ....”
Aku berjalan pulang ke indekos yang berjarak kurang lebih empat kilometer. Itu tidaklah terlalu jauh, tetapi medan naik turun bukit memang membuat kaki letih. Ditambah penerangan jalan yang minim, jujur ini sangat menyebalkan.
Berhenti sejenak untuk beristirahat, aku duduk pada bangku umum di sekitar pertigaan. Kembali merenung, lalu mulai khawatir dengan motor yang aku tinggal.
Memang kalau mencuri satu buah motor akan cepat dilacak mengingat daerah ini adalah kawasan universitas. Tetapi, kalau hanya mencuri komponen-komponen penting saja itu akan mustahil dilacak.
"Gawat! Kalau motorku dirontok gimana?”
Aku beranjak dari bangku dengan rasa cemas, berusaha menyingkirkan pikiran seperti itu dan lanjut berjalan pulang. Namun, tiba-tiba sekilas cahaya putih lewat di hadapanku.
Tubuh langsung gemetar, hal-hal berbau gaib langsung mengisi pikiranku. Sore menjelang senja, tempat sepi, dan udara yang terasa dingin. Memikirkan yang tidak-tidak, tubuhku pun langsung gemetar ketakutan.
Sekilas terdengar suara dari belakangku. Saat aku berbalik, di bangku tempatku duduk tadi tampak seorang gadis yang menundukkan kepalanya.
“Putih,” itulah kesan yang aku dapat darinya. Dari rambut sampai gaun yang dikenakan, semuanya putih. Bahkan kulitnya pun sangat terlihat pucat.
“Ku-Kuntilanaaak!!!”
“Hey, kasarnya. Aku bukan Mbak Kunti ....”
Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap. Ia menyibak rambut putih keperakan yang menutupi. Wajah cantik jelita seketika terlihat, lalu dengan tatapan mata semerah buah delima gadis itu membuatku terpaku sesaat.
“Malaikat ....”
“Sekarang malah memggombal? Dasar, engkau memang selalu menarik.”
Perkataannya ada yang ganjal, padahal aku pikir ini pertama kalinya kita bertemu. Tetapi, mengapa dia menggunakan kata ‘selalu’. Seakan-akan pernah bertemu denganku beberapa kali.
Meskipun memikirkan itu dalam-dalam, aku tidak menanyakan rasa penasaran ini kepadanya.
“Belum pulang?” tanyaku untuk mengganti suasana.
“Ini mau pulang, makanya aku duduk di halte.”
“Eh, halte?”
Aku mendongak ke atas. Seperti apa yang dikatakannya, di sana ada sebuah papan besi sebagai atap dengan tulisan ‘Halte 101’.
Mungkin karena kurangnya penerangan, aku tidak sadar kalau tempat yang aku duduki tadi adalah sebuah halte.
Ya, biasanya aku kalau naik motor mengebut sih. Wajar enggak lihat kalau ada halte di pertigaan …. Hmm?! Masa ada halte sih di sini?
Keraguan masih tetap ada dalam benakku.
“Kamu sendiri ... mau apa di sini? Sudah senja, loh. Ya, malah sudah malam sih sekarang. Asal kau tahu, di sini angker. Kalo ada yang tidak-tidak bagaimana?” tanya gadis itu dengan senyum tipis.
“Kayak Kunti⸻”
"Sudah ku bilang! Diriku bukan Mbak Kunti,” ucapnya dengan sedikit ketus.
“Sorry, sorry, bercanda.”
Entah mengapa, Aku malah duduk di sebelah gadis itu. Meski seharusnya sekarang ini aku segera pulang mengingat hari sudah semakin malam.
Mungkin ini terdengar konyol, tetapi aku merasa tidak ingin pergi dulu. Jika diriku meninggalkan gadis yang tubuhnya terlihat rapuh di tempat sepi, rasanya aku gagal sebagai seorang pria.
Yah, paling tidak sampai bus datang. Lagi pula, turun bukit di depan juga aku sampai di indekos.
“Enggak pulang?” tanyanya dengan nada ringan. Seraya menjaga jarak duduk denganku, ia kembali bertanya, “Keburu malam, loh. Nanti menyesal.”
“Nanti .... Aku juga sedang menunggu bus.”
“Oh, begitu ya.”
Pembicaraan kami berakhir, kesunyian benar-benar mengisi suasana di antara kita. Dia tidak berkata apa-apa, aku juga tidak bisa menanyakan apa-apa.
Meski dua jam berlalu dan hari sudah benar-benar telah malam, tetapi bus masih belum datang. Gadis itu pun tetap duduk di samping kananku, sedari tadi diam tanpa membuat pembicaraan.
“Ngomong-omong, kamu naik bus yang rute apa?” tanyaku dengan canggung.
Tetapi, dia tidak menjawab. Merasa heran, aku menoleh dan memandangi wajahnya yang tertutup poni.
Saat aku menyentuh pundak gadis itu dan sedikit mengguncang tubuhnya, rasanya dia sangat ringan.
Kepalanya perlahan menoleh, lalu dengan tatapan berlinang air mata dia pun berkata, “Maaf, aku tidak bisa menahannya lagi. Ini pertama kali aku merasakannya. Tolong maafkan diriku.”
Perkataannya benar-benar membuatku bingung. Sangat aneh, janggal, dan tidak bisa dimengerti.
Sebelum sempat bertanya untuk meminta penjelasan, gadis itu kembali berkata, “Ini juga salahmu. Padahal aku hanya ingin melihat dari dekat ..., tapi kau malah …. Malah!!”
“Oi, apaan? Kenapa nangis?” Aku meraih tangannya, berusaha membuat gadis itu tenang.
Tetapi tanpa menjawab pertanyaanku, tiba-tiba wajah gadis itu meleleh seperti lilin yang terkena panas. Kulit beserta seluruh dagingnya melepuh, lalu hanya menyisakan kerangka tulang beserta gaun putih.
“A .... Apa ini ... apa ...?”
Aku segera melepaskan tangannya yang hanya tinggal kerangka tulang saja. Keringat dingin seketika bercucuran, napas ku mulai kacau, dan pikiran pun dipenuhi rasa takut.
Aku segera bangun dari bangku, melangkah mundur dan turun dari trotoar ke jalan. Saat pikiranku masih kacau balai, sebuah bus yang melaju dengan kecepatan tinggi membunyikan klakson.
Aku menoleh, tetapi jarak yang ada membuatku tak sempat menghindar. Dengan kecepatan tinggi, bus itu menabrak ku dari samping dan membuat tubuhku terpelanting sampai beberapa meter.
Aku menggelundung di jalan menurun, seluruh tubuhku dipenuhi luka lecet dan tulang rusuk bagian kanan dapat kurasakan patah.
Bahkan rasa sakit seperti sesuatu yang menusuk paru-paru dapat aku rasakan dengan sangat jelas. Aku tahu itu adalah patahan tulang rusuk yang menusuk organ dalam.
Dengan sebagian pandangan tertutup darah, aku kembali melihatnya. Gadis yang sebelumnya telah meleleh seperti lilin berdiri di hadapanku, lalu perlahan memperlihatkan tatapan sedih dan mata yang berkaca-kaca.
Bibirnya bergerak, seakan ingin mengatakan sesuatu yang tidak bisa diriku dengar.
Aku benar-benar tidak tahu apa yang dia katakan. Kepala dan tubuhku terlalu sakit. Pandanganku buram dan napas terasa sesak. Lalu, entah mengapa rasanya semua tubuhku mulai dingin.
Ah, akhir yang sesuai alur? Apa aku akan mati seperti ini? Padahal aku belum⸻ Belum apa, ya? Aku lupa. Biarlah, lagi pula mau mati. Kalau dipikir-pikir, untuk apa aku hidup selama ini jika mati bisa mendapatkan rasa tenang?”
.
.
.
.
.
Aku membuka kedua mata. Namun, sesuatu pertama kali ku lihat adalah langit-langit yang tidak aku kenal.
Saat berusaha bangun, seluruh tubuhku rasanya sakit semua, karena ternyata aku sedang dirawat di rumah sakit. Saat melihat infus dan alat-alat medis lain, aku langsung tahu hal tersebut.
“Syukurlah enggak jadi mati ....”
Meski telah menerima kematian, namun saat tahu bahwa masih hidup rasa lega seketika mengisi hati. Benar-benar senang rasanya aku tidak berakhir seperti itu.
Di tengah rasa lega yang mengisi hatiku, tiba-tiba terdengar suara engsel pintu yang terbuka.
Aku kira itu keluargaku yang datang menjenguk, namun sayang sekali bukan. Itu adalah dia, gadis yang sebelumnya meleleh seperti lilin daging.
Rasa takut langsung menguasai diriku. Hal yang membuatku takut bukan apa yang aku lihat sebelumnya. Kalau dia datang hanya untuk berkunjung aku tidak akan merasa takut.
Namun, sayangnya dia bukan gadis yang ramah seperti yang aku kira. Dengan menyeret kapak besar di lantai, dia berjalan menuju ke ranjang tempatku terbaring.
Aku segera melepas alat medis dan infus dari tubuh, lalu berusaha menjauh dari gadis gila itu.
“Maaf, maafkan diriku! Tolong datanglah padaku. Aku janji akan memberikan apapun untukmu. Aku mohon, datanglah ke tempat di mana aku bisa meraih dirimu. Hanya itu saja yang makhluk ini minta. Aku mohon, wahai⸻”
Hembusan angin masuk dari jendela yang terbuka, menerbangkan satu kata terakhirnya. Tetapi, dengan jelas aku dengar apa yang gadis itu katakan. Dia memanggil namaku dengan penuh rasa sedih.
Aku terkejut dan jatuh dari ranjang. Dengan tubuh penuh perban dan luka, aku merangkak menjauh. Berusaha untuk kabur darinya. Sayangnya, gadis itu sama sekali tidak berniat membiarkan aku pergi.
Tanpa membiarkan ku sempat berbalik, dia mengayunkan kapak dan membacok punggungku dengan sangat keras.
Rasa sakitnya membuat kesadaranku seakan melayang. Dia menarik kapak yang tertancap pada punggung dan mengoyak daging, kemudian kembali mendaratkan kapak untuk mengakhiri hidupku yang menyedihkan dan tidak berarti ini.
.
.
.
.
Di atas penuh genangan air, aku tersadar untuk kedua kalinya. Membuka kedua mata lebar-lebar, terbaring dengan lemas seraya mengingat-ingat sesuatu yang terjadi sebelumnya.
Saat itu, aku langsung sadar bahwa diriku sudah mati. Setahu ku, tidak ada manusia yang masih hidup setelah dibacok seperti itu dengan kapak.
Jelas-jelas tadi dia memanggil namaku. Sebentar, dari mana dia tahu? Lagi pula, di mana ini?
Aku bangun dan berdiri dengan tegak. Rasa nyeri dan sakit yang sebelumnya aku rasakan seakan lenyap tanpa bekas. Bahkan saat aku menggerakkan kedua tangan dan meloncat ringan, tubuh rasanya ringan seperti kapas.
Melihat ke depan, di sana hanya ada hamparan genangan air jernih yang dangkal dengan dasar permukaan lantai putih polos.
“Dunia Persimpangan Kehidupan dan Kematian.” Tanpa aku hendaki, kalimat itu keluar dengan sendirinya dari mulutku.
Anehnya lagi, rasanya aku sangat tidak asing dengan tempat ini. Tak asing, teramat nostalgia dan banyak kenangan. Meski seharusnya ini pertama kalinya aku datang.
“Apa kau masih bingung?” Suara yang terdengar sangat serak datang dari belakang.
Aku menoleh, tetapi yang ku lihat adalah sebuah sosok yang hanya ada hawa keberadaannya saja. Tetapi, tidak memiliki wujud fisik.
Seperti sebuah gambar dalam foto yang dihapus paksa, sosoknya tak bisa ditangkap oleh kedua mataku. Hanya sebuah unsur bahwa dia ‘Ada’ di sana sajalah yang memberitahu ku akan sosok tersebut.
“Apa ... aku sudah mati?”
“Hem, begitu rupanya. Jadi sampai batas itu? Sepertinya ritual para Korwa berhasil.”
“Hah? Batas? Siapa pula Korwa?”
“Tak apa-apa. Seperti apa yang kau pikir, wahai keturunan Adam. Kau telah mati, dan jiwamu dibawa ke alam Perbatasan ini.”
“Jadi ... aku akan masuk ke mana? Neraka? Surga?”
“Hmm, memang benar-benar jauh dari kata normal. Apa kau tidak takut masuk neraka?”
“Tentu saja takut, tapi kalau sudah mati mau bagaimana lagi. Memangnya kalau sudah sampai di tempat ini aku diperbolehkan memilih?”
Itu benar, aku selalu seperti itu. Membiarkan orang lain memilihkan sesuatu untukku. Kalau tidak puas dengan hasilnya di akhir, pasti aku hanya bisa mengeluh. Walaupun telah mati, aku memang orang seperti ini.
“Kalau begitu sayang sekali, ya. Engkau tak akan masuk surga atau neraka. Ya, dari awal jiwa dan rohmu sudah tidak bisa masuk ke kedua tempat itu.”
“Eh?” Aku segera memalingkan wajah.
Tidak bisa? Bukan Neraka atau Surga? Memangnya ada alam lain setelah kematian selain kedua itu? Apa alam kubur? Tapi, kalau ini alam perbatasan kurasa aku sudah melewati alam itu.
Keheranan sekali lagi merasuk ke dalam benakku.
Kenapa aku tahu semua itu?
Kenapa aku bisa paham dan tidak panik dengan situasi saat ini?
Semua pertanyaan itu membuatku tidak memedulikan pembicaraan untuk sesaat.
“Aku akan memberi kehidupan kedua untukmu.”
Pernyataan itu membuatku seakan membeku. Dengan panik aku berjalan ke arah sosok tanpa wujud fisik itu, lalu berusaha menyentuhnya. Tetapi layaknya sebuah fatamorgana, kedua tanganku tidak bisa memegangnya.
“Ini sebuah ketetapan. Kau tidak punya hak untuk menolak, kali ini engkau akan berada di tempat yang bisa diriku gapai. Dengan kekuasaanku sebagai salah satu Dewa Sejati, sang Penguasa Hidup dan Mati, aku akan mengirim engkau ke tempatku.”
Saat mendengar perkataan itu, aku tahu kalau identitas sosok samar di depanku adalah gadis itu. Cara bicaranya mirip dengan apa yang gadis itu katakan.
Dari susunan perkataan yang sangat tidak asing tersebut, aku juga sadar kalau dia tidak sedang bergurau tentang siapa dirinya.
Dia adalah Dewa Sejati, secara insting aku tidak bisa menolak fakta yang disampaikan olehnya.
“Kau⸻!”
“Jangan khawatir ... Akan diriku pastikan engkau bahagia.”
Walaupun aku tidak bisa melihatnya, entah mengapa diriku tahu ia sedang mendekat. Perlahan mengangkat tangan, lalu menyentuh kedua pipiku.
“Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Takkan pernah diriku lepaskan lagi. Kali ini, aku pasti akan mendapatkan engkau secara utuh. Tidak akan diriku biarkan engkau kembali jatuh ke⸻”
Kesadaranku pudar tanpa bisa mendengarkannya sampai akhir. Kedua kaki beserta tubuhku serasa terangkat ke atas, lalu melesat cepat ke udara.
Sebuah perasaan lega seketika mengisi sampai jiwaku, sebuah kedamaian yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Sebelum menyadarinya secara penuh, seluruh kesadaranku ditelan oleh cahaya terang keemasan.
««»»
{Author POV}
Awal musim semi di wilayah kekuasaan Keluarga Bangsawan Luke, Kerajaan Felixia.
Di hari yang cerah dan sejuk, beberapa roh tingkat rendah beterbangan. Melayang-layang layaknya kupu-kupu, terbang di antara bunga yang bermekaran di kebun herbal dan taman Kediaman Luke Bentuk mereka seperti uap udara, terlihat samar-samar seperti cahaya Ether dengan warna beragam.
Tepat di antara taman dan kebun herbal, terdapat dua bangunan besar berupa Mansion megah dan sebuah Perpustakaan. Mansion yang ada adalah tempat tinggal anggota Keluarga Luke, hanya memiliki satu lantai, serta mempunyai pilar-pilar di sepanjang teras di bagian samping dan depan.
Untuk Perpustakaan di sebelahnya juga tidak kalah megah. Walaupun tidak seluas Mansion, tetapi bangunan itu memiliki beberapa lantai dan menjulang tinggi layaknya sebuah menara.
Di dalam Mansion dengan gaya arsitektur victoria tersebut, terlihat beberapa pelayan yang lalu-lalang keluar masuk bangunan. Membawa kain dan baskom berisi air panas.
Alasan mereka terlihat sibuk bukan karena tugas harian seorang pelayan, tetapi karena hari ini sang Nyonya akan melahirkan penerus Keluarga Luke yang telah lama ditunggu-tunggu.
Di depan pintu salah satu kamar, Dart Luke, Tuan Tanah wilayah tersebut dengan keringat dingin menunggu istrinya yang sedang melahirkan di dalam. Pria yang sudah berumur sekitar 40 tahunan itu meletakkan tangan kanannya ke depan mulut, kemudian menggerak-gerakkan jari telunjuknya dengan cepat ke pipi.
Untuk pria yang terlihat kekar dan berwibawa, dia tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir. Dart sesekali memegang rambut kucir miliknya yang panjang dan telah memutih karena umur, kemudian menggigit ujungnya.
Beberapa pelayan pria dan wanita di dekat Dart sedikit merasa kasihan dengan Tuan mereka. Pada saat yang sama, mereka juga merasakan rasa khawatir yang sama dengannya.
Itu wajar, pada persalinan Mavis Luke, Nyonya mereka sedang tidak dalam kondisi prima. Untuk waktu yang lama, kondisinya sangatlah lemah, bahkan dalam persalinan ini risiko kematian pun sangatlah tinggi.
“Mavis .... Mavis ....”
Di saat Dart menunggu dengan cemas, pintu kamar terbuka dan dua orang tabib keluar. Pada saat hampir bersamaan, beberapa pelayan yang membawa kain dan baskom berisi air panas masuk.
Pakaian putih para tabib terdapat bercak darah. Melihat itu, sekujur tubuh Dart seakan kesemutan dan takut menguasai pria tersebut.
“Ba-Bagaimana persalinannya?” tanya Dart dengan cemas.
“Tenang saja, Tuan Dart. Istri anda telah melahirkan tanpa kendala. Dia selamat. Meski tadi darah yang keluar cukup banyak. Hanya saja ....”
Tabib yang berbicara dengan Dart sedikit memalingkan wajah. Melihat itu, kekhawatirannya berganti pada anaknya yang baru dilahirkan sang istri.
“A-Ada apa ....?”
“Anak anda, dia ....”
Perkataan itu membuat Dart semakin cemas. Tanpa menunggu penjelasan Tabib, pria itu menerobos masuk ke kamar dan menemui istrinya yang sedang dirawat oleh para Tabib lain dan beberapa pelayan.
Melihat istri dan anaknya yang terbaring di atas tempat tidur, hati Dart langsung lega. Kedua kakinya serasa lemas dan bahkan hampir saja roboh saking leganya.
Mavis Luke terlihat lemas terbaring di atas ranjang, sdangkan anaknya yang baru lahir berada di sampingnya.
Dart segera mendekat, kemudian menggendong anaknya yang baru lahir tersebut. Saat itu, dirinya sadar kalau ada yang aneh dari anaknya yang baru lahir itu. Dia tidak menangis seperti bayi pada umumnya, dia hanya terdiam dengan mata sedikit terbuka dan kedua telapak tangan terbuka lebar.
“Sayang ..., boleh diriku lihat anak kita? Aku belum sempat menyentuh wajahnya.”
Suara lemas istrinya memuat Dart berhenti memikirkan hal ganjil pada anaknya itu. Hanya dengan dirinya lahir dan istrinya selamat saat persalinan, itu sudah membuat Dart sangat bahagia.
Pria itu kembali membaringkan anaknya di samping ibunya.
Dengan tangan pucat, Mavis mengelus bayi itu seraya berkata, “Syukurlah ..., engkau lahir dengan sehat. Semoga kamu menjadi anak yang kuat dan diberkahi.”
Dart mengangkat anaknya ke dekapan Mavis, kemudian memeluk mereka. Sambil menangis tersedu, pria tersebut mendekatkan wajahnya ke anaknya dan berkata, “Anak kita, nama apa yang harus kita berikan padanya?”
“Supaya dia mendapat banyak berkah, bagaimana kalau Odo? Odo Luke. Odo memilki makna Kaya, sedangkan Luke berarti Terang. Sebuah kekayaan yang berasal dari kejayaan, diberkahi para Roh untuk kepemimpinan.”
“Odo ... Odo Luke. Namanya adalah Odo Luke .... Nama anak kita Odo Luke ....”
Dart menangis haru, Mavis juga ikut meneteskan air mata kebahagiaan. Semua Tabib dan Pelayan di tempat itu ikut tersentuh. Diberkahi anak setelah menjadi pasangan selama 20 tahun lebih merupakan suatu kebahagiaan yang tak tergantikan bagi mereka.
Tambahan informasi:
Roh dibagi menjadi beberapa tingkatan antara lain:
-Roh Tingkat Rendah: hanya berbentuk cahaya ataupun eter, tidak memiliki kepribadian atau ego dan hanya terbang melayang-layang tetapi memiliki elemen sesuai muatan dan karakteristik Roh masing-masing. Sifatnya seperti fenomena alam.
-Roh Tingkat Menengah: perkembangan dari tingkat Roh sebelumnya. Memiliki bentuk fisik, elemen, serta ego dan kepribadian. Sifat seperti hewan atau tumbuhan, dan intelegensi rendah. Sifatnya seperti fenomena alam.
-Roh Tingkat Atas: tingkat sempurna Roh. Bentuk fisiknya sempurna di Dunia Astral, tetapi tidak bisa berada di Dunia Nyata. Kecuali dengan kontak.
-Roh Agung: Roh yang menjadi penguasa para Roh lain. Sifatnya hampir sama dengan Roh Tingkat Atas, tetapi memiliki kekuatan berkali lipat.
-Roh Kudus: Roh yang setara dengan para Dewa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
Rhembezz
Mu'tazilah wkkwwkkwk...
2023-10-10
1
𝙍𝙮𝙪𝙪 𝘼𝙯𝙖𝙩𝙝𝙤𝙩𝙝
... *Senyum Puas* Awal yang bagus thor
2023-07-12
3
𝙍𝙮𝙪𝙪 𝘼𝙯𝙖𝙩𝙝𝙤𝙩𝙝
... *Menyilangkan Tangan* Hmm? Sepertinya Gadis Dewa Ini dan MC dulu memiliki hubungan... *Berpikir*
2023-07-12
2