Semua orang sudah pergi dari ruangan itu. Tinggallah Rara sendirian di sana dengan kesedihan yang mendalam. Air mata sudah tidak mengalir lagi di matanya, sebab tubuh dan raganya sudah terbiasa dengan semua ini.
Dengan gerakan perlahan, Rara meletakkan peralatan makannya. Selera makannya sudah hilang meski perutnya terasa lapar.
Manik gadis itu menelusuri setiap sudut rumah yang sudah setahun lebih ditinggalkannya. Rara tersenyum kecut, ketika mengingat bagaimana dulu dirinya bagaikan budak membersihkan rumah sebesar ini. Ditambah dengan kekejaman ibu dan saudari tirinya, kerap kali mereka mempersulit dirinya.
Gadis itu menghembuskan nafasnya resah. Rara berusaha menguatkan batin dan fisiknya, karena dia tau awal mula penderitaannya baru saja dimulai.
Rara berdiri, dia ingin mengelilingi rumah ini, melihat apa saja yang telah berubah selama dirinya tidak ada.
Rumah yang begitu luas bergaya Eropa modern, dengan segala fasilitas mewah di dalamnya, tak urung membuat mata berdecak kagum melihatnya. Memang sangat indah, tetapi Rara sama sekali tidak nyaman tinggal di sana.
Rara berjalan melewati koridor-koridor yang berada di bagian utara, yang mengarah langsung ke taman samping. Senyumnya tersungging kala beberapa pelayan menyapanya dengan ramah. Ya, di rumah ini hanya para pelayanlah teman yang dia punya. Dulu, mereka yang selalu menolongnya setelah mendapat siksaan dari ibu dan saudari tirinya.
Rara memandangi taman luas dipenuhi oleh hamparan bunga-bunga, juga pepohonan tumbuh subur di sana. Udara pagi di tempat ini sangat sejuk, membuat segala kegundahan hatinya hilang sejenak. Lima menit dia berdiri di situ, hingga Rara memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
Namun begitu dia berbalik, Rara dikejutkan oleh seseorang yang ternyata sudah berdiri di belakangnya sedari tadi.
"I...ibu..." cicit gadis itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tubuhnya gemetaran, dia sangat ketakutan pada wanita di hadapannya ini, sebab dalam ingatannya, wanita ini adalah wanita paling kejam yang dia kenal. Wanita yang selalu mengisi penderitaan dalam hidupnya selain saudari-saudari tirinya.
Wajah Vina menatap datar pada Rara yang gemetaran. Manik tajamnya memperhatikan gadis itu dari atas sampai bawah. Setelah itu tanpa berucap sepatah kata pun, Vina pergi begitu saja dari hadapan Rara.
Hal itulah yang membuat Rara tercengang sekaligus keheranan. Davina pergi begitu saja tanpa melakukan sesuatu yang buruk padanya? Hah, Rara sungguh tidak percaya ini. Dulu, setiap Vina melihat keberadaannya tidak sekalipun dia bisa lolos dari kekejamannya.
Rara tidak mau ambil pusing, dengan cepat dia berlalu dari sana, sebab tidak ingin bertemu dengan orang-orang yang membencinya di rumah ini.
***
Seminggu kemudian...
Satu minggu sudah Rara tinggal di rumah itu. Sejak seminggu terakhir, Rara bisa merasakan sedikit kedamaian di rumah itu. Sebab, Ibu, Dena, Safira maupun Bara, tidak pernah lagi mengganggu dirinya. Jika tanpa sengaja bertemu di rumah, maupun saat berkumpul di meja makan, tidak ada lagi yang membuat keributan di sana, meski wajah kebencian masih terlihat jelas di wajah mereka.
Rara tidak tau mengapa mereka seperti itu. Tapi apapun alasannya, Rara bersyukur, karena setidaknya dia bisa hidup tenang tanpa adanya penderitaan seperti dulu.
Malam itu, menjadi malam ke delapan Rara tinggal di sana. Malam itu udara malam terasa sejuk, Rara memutuskan untuk bersantai di balkon kamarnya. Malam terasa tenang, membuat pikirannya sedikit rileks.
"Ibu..." lirihnya seraya memandangi bintang-bintang yang bersinar terang di langit malam.
"Apa Ibu melihatku dari sana?"
"Ibu... Rara merindukanmu..." tanpa sadar air mata membasahi wajahnya kala teringat akan Ibunya yang sudah meninggal saat usianya masih tiga belas tahun.
Rara menangis tersedu-sedu. Semua kenangan tentang ibunya silih berganti memenuhi ingatannya. Rara amat merindukan wanita itu. Wanita yang merupakan teman seperjuangannya menghadapi kekejaman dari keluarganya. Wanita yang sudah lebih dulu meregang nyawa akibat tidak tahan lagi memikul beban hidupnya.
"Rara..." suara lembut itu menyapa. Rara mengangkat kepalanya, melihat orang yang sudah menyapanya.
"Ayah..." mengusap air matanya.
Tanpa menghiraukan apapun, Derri menarik Rara ke dalam pelukannya. Memeluk erat seolah ingin memberikan kekuatan pada sang putri. Penuh penyesalan ketika merasakan begitu beratnya beban yang dipikul oleh Rara.
Dan semakin besar saja penyesalannya, saat Rara menderita dirinya tidak bisa berbuat banyak untuk melindunginya. Dia hanya bisa diam, ketika melihat Rara direndahkan, dihina dan disiksa.
"Maafkan Ayah Nak."
Tangis Rara semakin pecah dalam pelukan itu. Pelukan ini, pelukan yang sangat dia inginkan sejak dulu. Belum pernah Rara merasakan pelukan ini. Sebab dulu, saudari tirinya tidak pernah membiarkannya untuk merasakan kasih sayang Derri.
Rara meluruhkan semua bebannya dalam tangisannya. Ditambah dengan pelukan hangat dari sang Ayah membuatnya sedikit lebih tenang dan lega.
"Maafkan Ayah Nak. Selama ini Ayah tidak bisa menjaga dan melindungimu." Tak urung Derri pun berurai air mata.
"Tidak apa-apa Ayah. Rara mengerti bagaimana posisi Ayah saat itu." Rara menghentikan tangisnya, dan berusaha tegar di depan Derri.
Hati pria tercabik-cabik melihat betapa kuatnya Rara menahan semua ini. Dia berjanji dengan segenap hatinya, akan melindungi Rara mulai saat ini.
"Ada apa Ayah datang kemari?" gadis itu mengalihkan topik.
"Apakah Ayah tidak bisa lagi menemui putri Ayah?"
Rara terkekeh pelan, "Tentu saja Ayah. Duduk di sini saja Yah." membawa Derri duduk di sebuah kursi panjang yang biasa digunakan untuk bersantai.
Derri menarik Rara bersandar di bahunya, sambil mengusap-usap surai panjang nan hitam itu.
"Bagaimana kehidupan Rara selama setahun ini?"
Rara diam, bayangan kesehariannya saat tinggal di rumah keluarga Hutama muncul di kepalanya. Bagaimana dulu begitu jahatnya dirinya pada sepupunya yang tidak memiliki salah apa-apa padanya.
"Rara... Rara baik-baik saja Ayah."
"Benarkah?"
"Hmm..." gadis itu tidak tau harus mengatakan apa.
"Rara masih ingin sekolah?"
Seketika tubuh Rara menegak, melihat sang Ayah penuh tanya. Anggukan kecil di kepalanya membuat Derri tersenyum hangat.
"Baiklah. Mulai besok Rara pergi sekolah ya?"
"Ayah...?" Rara tidak menyangka akan mendapat tawaran ini dari Derri.
"Besok Ayah akan mendaftarkan Rara di sekolah terbaik. Sekolah yang dimana orang-orang tidak akan mengenalimu. Dan Ayah jamin, kau tidak akan dibuli oleh teman-temanmu nanti."
Ya, Derri sudah mengantisipasi semuanya. Derri tidak ingin, Rara merasakan seperti beberapa tahun lalu. Sudah cukup gadis ini merasakan penderitaan.
"Ayah?" Rara terharu. Nyatanya Derri sudah mulai menunjukkan kasih sayangnya sekarang sebagaimana seorang Ayah.
"Ayah tidak akan membiarkanmu menderita lagi Nak." membuka lebar tangannya agar Rara masuk dalam pelukannya
"Terima kasih Ayah...." kata-kata itu terus terucap dari bibir mungilnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Rahma AR
salam kenal dari "love you like fire"😍
2022-08-03
1