"El, kamu beneran mau nikah sama Bima ?". Tanya Nyonya Hanin dengan raut wajah serius.
"Kok ibu bisa tau ?". Ellena malah balik bertanya.
"Di kasih tahu sama mba Puspa. Semalam dia telepon, suruh saya urus dekorasi wedding kalian."
"Iya bu. El dan Pak Bima memang mau menikah."
"Jadi , apa kamu mau berhenti kerja setelah menikah El ?"
"Nggak ,bu. El masih mau kerja, itu pun kalau Ibu Hanin tidak keberatan."
Nyonya Hanin tersenyum teduh menatap wajah Ellena. Beliau kemudian beranjak dari kursinya, menghampiri Ellena di kursi lain lalu memberi pelukan hangat dari belakang.
"Saya gak akan pernah merasa keberatan. Kamu bebas mau kerja disini lagi. Apalagi, kan kita akan jadi keluarga. Kamu juga akan jadi anak saya, El."
Ellena memegang kedua lengan Nyonya Hanin yang melingkari tubuhnya dari belakang. Ia merasa terharu dengan ketulusan dan kebaikan yang Nyonya Hanin tunjukkan selama ini.
"Terima kasih, bu."
Jam menunjukkan pukul 7 malam ketika Ellena baru tiba di rumah. Malam ini ia ada janji ngumpul bareng bersama tiga sahabat baiknya yang selalu bisa menghibur Ellena. Diva dan Nadia sudah berada didalam kamar Putri ketika El datang.
Setelah berpamitan sebentar untuk mandi, kini Ellena sudah kembali bergabung dengan Diva, Nadia dan Putri. Hanya dengan memakai celana pendek berwarna pink dan tank top berwarna putih, Ellena sudah merebahkan tubuhnya di ranjang kamar Putri bergabung bersama ketiga sahabatnya yang lain.
"El, apa keputusan kamu udah bener ?". Suara Nadia memecah keheningan. Saat ini keempatnya tengah kompak menatap langit-langit kamar dengan kaki digantungkan keatas menempel pada dinding kamar.
Ellena menghela napasnya panjang. "Aku juga nggak tahu, Nad ! Aku harap iya".
"El, coba pikirkan lagi. Kalau kamu cuma mau menikah dengan Pak Bima agar ada yang menjamin biaya perawatan Ellio, kamu gak perlu ngelakuin itu. Kami bakalan cari cara buat bantuin kamu." Diva juga ikut bergabung dalam pembicaraan ini.
"Iya, El. Diva bener. Kita bisa bantu kamu kok. Putri kan udah pernah bilang, akan jual tanah warisan Putri buat bantu El. Jadi El gak perlu nikah terpaksa sama om pedofil itu." Kali ini celetukan polos Putri juga terdengar.
Ellena hanya tertawa kecil."Aku gak mau bikin kalian repot. Lagian, aku nikah sama Pak Bima bukan karena terpaksa kok !."
"Terus yang bikin kamu mau nikah sama dia apa, El ? Kita semua tahu, sejarah hubungan kalian kayak gimana. Tom and Jerry aja kalah. Jadi gak mungkin kan kalian tiba tiba jatuh cinta secepat ini ?." Diva menoleh menatap El dengan ekspresi wajah khawatir.
"Kita cuma gak mau kamu nantinya sakit, El. Apalagi Pak Bima orangnya terkenal playboy." Lanjut Diva.
"Aku ngerti kok perasaan kalian. Cuma sekarang semua udah terjadi, dan aku gak bisa mundur lagi. Dan yang bisa aku janjiin ke kalian cuma aku pasti bahagia kok. Meski terdengar nggak masuk akal, tapi aku dan Pak Bima sudah saling jatuh cinta. Dan gak ada yang bisa ngubah keputusan kami untuk menikah saat ini"
Ketiga sahabatnya pun langsung memeluk Ellena dengan haru.
"El, kalau kamu bahagia, kita juga akan bahagia untuk kamu. Dan jangan khawatir, kapanpun kamu butuh kita, kita akan selalu ada buat kamu." Suara parau Nadia kini bahkan sudah tak terlalu jelas karena menangis.
Ellena sekali lagi hanya tersenyum kecil didalam pelukan ketiga sahabatnya. Entahlah, Ellena tidak yakin. Apakah momen seperti ini masih bisa ia rasakan setelah menikah ? Ellena mulai meragukan semua itu. Dibawah sinar temaram lampu tidur dikamar Putri, keempat sahabat itu akhirnya terlelap dalam mimpinya masing masing.
Ketika pagi menjelang, kehidupan lain juga ikut terbangun. Pukul 6 pagi, Bima sudah terjaga dan berjalan menuju balkon kamarnya. Dengan segelas kopi ditangan kanannya, ia menikmati udara pagi dengan tenang. Masih dengan celana pendek dan kaos v neck berwarna abu abu serta rambut yang masih acak-acakan khas bangun tidur, pria itu masih saja terlihat sempurna.
"Bim, udah bangun Nak ?". Suara Nyonya Puspa menelisik masuk ke indra pendengaran Bima yang menatap pemandangan dari balkon lantai 3 kamarnya.
Bima berbalik dan melihat Nyonya Puspa sudah duduk di ranjangnya. Segera Bima menghampiri sang ibu dan duduk disamping wanita paruh baya itu yang masih terlihat cantik meski sudah berusia 55 tahun.
"Kenapa Ma ?"
"Mama cuma mau nanya, kapan kamu sama Ellena akan fitting baju pengantin ?".
Bima mengerutkan keningnya seraya berpikir. Oh iya, Bima melupakan hal ini. Ia bahkan tidak pernah berpikir untuk melakukan fitting baju pengantin sebelumnya.
"Bima belum ada rencan ma. Bima lupa soal itu."
"Ya ampun, Bim ! Kamu gimana sih ? Masa' hal sepenting itu bisa kelupaan ? Emangnya kalo pas hari H kamu mau pake baju apa ha ? Pake baju Tarzan ?". Gerutu Nyonya Puspa kesal. Ia bahkan menarik telinga Bima saking gemasnya.
" Ya maaf, Ma. Kan Bima sibuk kerja, jadi wajar kalau lupa."
"Makanya kamu harus cuti kerja dulu sampai acara pernikahan kamu selesai. Fokus ke situ dulu, Bim. Kerjaan bisa kamu oper ke Andra dulu kan ?".
"Tapi, Ma..."
Nyonya Puspa mengangkat telunjuknya ke depan wajah Andra. "Stop, mama gak mau dengar alasan. Kamu harus nurutin mama kali ini. Dan masalah baju pengantin kalian biar mama yang urus."
Nyonya Puspa kemudian beranjak keluar dari kamar Bima sebelum putra tunggalnya itu kembali melayangkan protes terhadap keputusannya. Sebagai seorang ibu, Nyonya Puspa sudah khatam dengan sifat dari anak semata wayangnya itu. Ia tahu benar bahwa Bima anak yang pekerja keras dan sangat totalitas dalam pekerjaan.
Mungkin sebagian besar bagi orang lain, hal itu adalah sesuatu yang bagus bahkan sangat luar biasa. Bahkan sebagian orang tua akan bangga jika anaknya terbukti sukses apalagi dengan jerih payah nya sendiri seperti Bima. Tetapi, bagi Nyonya Puspa justru hal itu adalah momok paling mengkhawatirkan baginya. Sudah sering ia mendengar putra nya adalah seseorang yang dekat dengan banyak wanita. Tetapi, tak satu pun yang Bima seriusi hingga sekarang. Nyonya Puspa bahkan sempat berpikir anaknya adalah seorang penyuka sesama jenis mengingat ketidakmauan Bima menikah bahkan setelah usianya sudah hampir menginjak angka 30 tahun.
Namun pada akhirnya, sang putra kesayangan, harapan penerus keluarga satu-satunya mengatakan akan menikah beberapa hari yang lalu. Tentu itu adalah kabar paling membahagiakan sepanjang hidup Nyonya Puspa. Terlebih lagi, ia tahu calon menantunya sosok yang sangat baik, sopan dan pandai mengurus rumah. Benar-benar tipikal menantu yang sudah ia idam-idamkan sejak dulu. Berbeda dengan wanita pertama yang pernah dikenalkan Bima 2 tahun yang lalu padanya.
Sejam kemudian, Bima sudah rapi dengan setelan jasnya. Dengan gagah ia menghampiri sang ibu yang sudah duduk di meja makan bersama ayahnya. Bima hanya menyambar sepotong sandwich dan meminum cepat susunya lalu mencium pipi Nyonya Puspa sebelum berpamitan pergi dengan buru-buru.
"Loh, kamu kok buru-buru banget Nak ?". Tanya Nyonya Puspa.
"Ada hal penting yang harus Bima tangani pagi-pagi Ma."
"Inget yang mama bilangin ke kamu tadi pagi ya ! Jangan lupa, atur cuti kamu." Teriak Nyonya Puspa saat langkah Bima sudah semakin menjauh. Sementara yang di teriaki tidak berbalik atau menanggapi sama sekali. Nyonya Puspa hanya menggeleng kecil lalu menyikut Tuan Satya yang seolah tak peduli dan hanya fokus pada sarapannya.
"Tuh liat kelakuan anak kamu ! Di kasih tahu malah pura-pura nggak denger." Celetuk Nyonya Puspa.
"Apa sih ma ? Itu kan anak kamu juga. Lagian juga, siapa suruh kamu manjain terus " Balas Tuan Satya.
"Namanya juga anak satu-satunya, Pa !".
Tuan Satya hanya mengendikkan bahunya. Lalu meraih jasnya dan segera memakainya. Kemudian, ia mencium kening sang istri dan berpamitan berangkat ke kantor juga.
"Ndra, mulai minggu depan gue bakal cuti dulu dari kantor. Jadi, semua kerjaan gue bakal gue serahin ke lo." Ucap Bima yang masih setia memeriksa berkas-berkas dihadapannya.
"Jadi, lo beneran mau nikah ? Serius ?". Suara Andra terdengar sangat terkejut.
Bima berhenti sejenak dari aktivitasnya dan memandang Andra dengan tatapan heran.
"Bukannya nyokap lo udah bilang ?".
"Udah. Cuma gue gak percaya. Kirain cuma prank doang. Gue pikir lo gak bakalan nikah selamanya , Bim."
PLETAK !! Pulpen yang semula berada ditangan Bima kini sudah mendarat mulus di kening Andra.
"Sakit, Nyet !!!". Keluh Andra sambil memijit pelipisnya yang terkena lemparan Bima.
"Lo pikir emang gue apaan ? ya kali gue gak bakal nikah selamanya. Terus yang warisan harta gue kalo gue mati siapa coba ? Gue juga butuh keturunan, Ndra !". Sungut Bima kesal. Kini ia kembali mengecek berkas-berkas yang masih berhamburan di depannya.
"Gue pikir janji lo ke dia masih berlaku. Ternyata udah nggak."
Bima sedikit tersentak mendengar kata "dia" dari mulut Andra. Sejenak ia memandang Andra lalu kembali fokus pada pekerjaannya.
"Kalo nggak ada yang penting lagi, lo bisa keluar sekarang." Ucap Bima dingin.
"Gue belum selesai, Nyet. Gue penasaran sama cewek yang bisa bikin lo berubah pikiran."
"Ntar aja kita omongin lagi. Gue sibuk ! Sekarang mending lo balik ke ruangan lo sekarang." Usir Bima tegas.
"Iya, iya ! Galak banget, sih !". Gerutu Andra kesal. Ia kemudian menuruti perintah Bima dan segera menuju pintu keluar. Saat Andra sudah menghilang dari balik pintu, Bima memukul mejanya dengan keras. Kedua tangannya menyugar rambutnya dengan frustasi. Ia kemudian menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata. Memori tentang "dia" yang sudah ingin ia lupakan kembali berputar didalam kepalanya seperti kaset film seolah hal itu baru terjadi kemarin. Ia memukul dahinya dengan kepalan tangan kirinya sambil menggumam pelan. Nada bicaranya mendadak terdengar sedih dan putus asa.
"Kenapa Andra harus ingetin gue ke dia lagi, sih ? Padahal gue udah hampir ngelupain segalanya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 244 Episodes
Comments
fitriani
mantan terindah pasti si "dia"
2025-02-21
0
Ririn Satkwantono
ujian hidup ellena blm lah selesai.. apalagi.. klo dia itu dtg lagi
2024-04-24
0
Shin Gao
nanti Andra patah hati kalau tau wanita itu siapa
2022-08-19
0