Love Not Scenario
Aku seakan lelah menghadapi pertanyaan yang bertubi-tubi ditujukan padaku. Usiaku kini, akan menuju angka kepala tiga. Orangtuaku bahkan orang terdekat sudah dan mendesak agar aku segera memiliki pendamping hidup.
Ya, karena hidup dinegara yang mayoritas penduduknya rata-rata menikah pada usia dua puluhan atau bahkan diusia belasan tahun membuatku masuk dalam predikat dan jajaran wanita yang sering dijuluki sebagai perawan tua.
Meski pengucapan tersebut tidak langsung dilontar didepanku. Tapi seakan itu menjadi sebuah sindiran halus dengan mengucapkan, itu lho si A anak nya udah dua, tiga bahkan ada yang udah nikah lagi, kamu kapan nyusulnya?
Lah memang menikah itu ajang perlombaan?
Hello? Gak mau ya, aku mempertaruhkan hidup dengan hal yang gak pasti.
Itulah doktrin yang tertancap didalam hatiku. Wajah cantikku bahkan tidak mendukung untuk urusan asmaraku. Bukan karena tak ada lawan jenis yang melirik, hanya saja aku sanksi akan komitmen pernikahan.
Kini aku duduk di sebuah bangku Cafe yang jaraknya tak jauh dari rumahku. Hanya 15 menit perjalanan dengan mengendarai mickey kesayanganku. Mickey si matic kesayangan yang sudah menemaniku dari masa putih abu-abu hingga kini.
Dan sekarang aku sudah berhadapan dengan sahabat kecilku, Reynand Adhitama. Dia adalah sahabatku dari usia 5 tahun hingga saat ini.
Banyak yang mengatakan aku dan Reynand adalah best friend forever, tapi ada juga yang meragukan bentuk hubungan kami.
Mereka mengatakan, 'Apa ada lelaki dan wanita yang menjalin hubungan persahabatan secara murni tanpa adanya rasa yang menyelubungi, dalam ikatan yakni persahabatan?'
Teman-temanku selalu mengatakan 'No' tapi aku menjawab 'Yes we really best friends.' Itulah kata yang selalu terpatri, jika aku berdebat dengan teman-teman yang meragukanku.
"Rey, aku tuh nggak habis pikir, deh. Perlu banget ya, tiap ketemu orang pertanyaannya itu-itu mulu? Kupingku sampai khatam tujuh jus-amma tau, gak?"
Mendengar itu Reynand semakin memusatkan pandangannya padaku. Walau begitu, dia tak kunjung membuka suara sehingga dengan lugas aku kembali berkata, "kapan nyusullah? Kapan bawa calon kamu kerumahlah? Malah-malah diingetin umur. Reynand, masak ya tiap hari tu aku dijelali dengan pertanyaan itu-itu aja. Eh malah kemarin Mama berencana buat cariin calon. Emang aku semenyedihkan itu, sampai dikira anaknya sendiri gak laku?"
"Bagus, dong!" ucap Reynand santai sambil menyeruput bubble milkshake.
"Kok, bagus?"
"Takut nikah?" tanya Reynand singkat.
"Aku gak takut," jelasku cepat dan aku mengucapkannya dengan sekali tarikan nafas.
Belum puas mengemukakan pendapat, aku pun berkata sekali lagi. "Hanya saja menikah itu ribet. Ada komitmen, belum lagi kalau gak cocok, baru nikah dua tiga bulan udah cerai. Belum lagi ya, Ada kasus KDRT yang lelaki tukang maen pukullah dan ada lagi main perempuan, kan payah!" Ucapku penuh penekanan.
"Toh selama ini pihak wanita yang paling banyak dirugikan. Belum lagi nih ya, kalau punya anak yang ribet pasti juga pihak wanita."
Aku menarik napas sejenak, lalu melanjutkan kalimatku. "Si laki-laki masa bodoh, mentang-mentang ngasih gaji lupa sama yang namanya konsekuensi. Kalau istilahnya habis manis sepah dibuang, setelah disesap sarinya dilepehin gitu aja," ucapku diiringi rasa kesal dengan gerakan bibir mencibir.
"Contohnya nih kasus yang marak diperbincangkan, si laki-laki menggugat cerai dengan alasan si istri tidak seperti dulu lagi. Lah usut punya usut alasannya karena perubahan fisik istri. Mereka bilang, istriku makin jelek, mana body macam buntelan karung." Aku mendegus kemudian melanjutkan ucapanku dengan gaya yang seolah sedang menasehati, "Hello Bapak! Situ gak mikir apa, itu ulah siapa? Istri Bapak sudah berjuang buat hamil yang ngehamilin juga Bapak, dan melahirkan juga anak Bapak, bukan anak onta."
"Gak inget apa ya pas pertama PDKT, body si istri bahenol bak gitar spanyol, muka mulus bak putri iklan halus licin macam porselen. Eh, setelah nikah kusam dan dekil itu akibatnya apa, ya karna si istri sibuk nyiapin kebutuhan anak suami. Dan suami sendiri seakan lupa ingatan dengan perjuangan istri. Ada pepatah ni ya, Rey yang mengatakan 'Kualitas diri istri, baik buruknya istri serta kinclong dan kusamnya istri tergantung suami.' Noh udah jelaskan!" Terangku panjang kali lebar kali tinggi.
Aku yang sudah berkomentar panjang lebar menjelaskan sudut pandang pada lelaki dihadapanku, namun Reynand masih tetap acuh dan juga jangan lupakan wajah datarnya. Dan Sekali pun menjawab dia malah hanya berkata, "Lalu." Itu artinya kan dia belum jelas dengan ucapanku tadi. Nyesek, gumamku dalam hati.
Aku menghela napas, menahan kesal kemudian berujar, "Dan tetep aja banyak dampak buruk bagi kaum wanita."
Sejenak terdiam, akupun kini kembali bersuara. "Ngomong-ngomong Aku mau tanya nih, kenapa kamu sendiri sampai sekarang belum juga menikah. Padahalkan umurmu juga sama sepertiku. Bahkan kamu lebih tua dari aku?"
"Belum ada yang pas," jawab Reynand sekenanya.
"Alah, alasan. Bilang saja kalau kamu sama kayak aku, ragu untuk menikah. Ya kan?" kataku mencari pembenaran.
Namum yang ditanya panjang lebar cuma mengangkat kedua bahu saja, acuh. Aku pun kini rasanya semakin geram saja padanya. Pengen banget buat nyekik ini orang, batinku.
"Apa Alasannya Rey?" aku pun bertanya lagi tak sabaran dengan alasan yang dia sembunyikan.
Namun dirinya seolah bersikap acuh, malahan kini dia menyibukan diri dengan ponselnya. Aist, rasanya diriku seperti tak dihargai saja, batinku lagi-lagi jengkel. Akupun kini kembali berujar, "Mama gak main-main loh Rey sama ucapannya," ucapku setengah putus asa.
"Bagus dong," sahutnya terdengar santai.
Sontak aku menatapnya jengkel. Bagus dia bilang? batinku.
"Bagus dari hongkong! Rey, serius aku gak bercanda!" kataku setengah membentak. Tapi ya gitu orangnya tetap acuh meski aku bersuara tinggi sekalipun.
Aku pun mendegus seraya berucap, "Rey, percuma aku ngajak ngomong kamu!"
"Udah ngeluhnya?" ucapnya merespon.
"Belumlah," ujarku cepat-cepat. "Masih banyak lagi, hidupku semenjak mau kepala tiga tuh hanya derita deh! Pusing akunya. Gak Mama, ngak—," belum selesai aku bicara Reynand mulai menyela kalimatku dengan pertanyaan yang dia ajukan.
"Lalu kapan?" ucapnya.
"Ntar malem Mama bawa itu calon kerumah," jawabku dengan nada lesu.
"Oh—" Reynand menanggapi ucapanku dengan hanya berohria disertai dengan anggukan kepala.
"Oh?" Wajahku menatap heran seraya menirukan ucapnya. "Ngeselin banget curhat sama kamu," ucapku kemudian.
Reynand hanya menarik napasnya lalu berseloroh, "Kenapa gak diterima?"
"Are you crazy?" jawabanku spontan, seolah frustasi mendengar pernyataannya tadi.
"BIG NO. Aku gak mau milih kucing dalam karung. Maksud aku, aku gak kenal dan aku gak mau menggadaikan masa depanku dengan orang asing." Ucapku dengan menampikkan alasan agar jelas bahwa aku gak mau.
"Ya, makanya kenal dulu," balas Reynand masih dengan nada santai.
"Yak, gampang banget kamu ngomong gitu Rey?" ucapku kesal lalu menyambar gelas lemon tea didepanku. Kusesap, lalu kuteguk sebagai pelepas dahagaku. Ngomong udah berbuih, gak dapet solusi malah tambah mumet ngomong sama orang satu ini, gumamku dalam hati.
To be Continue
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Kanian June
padahal si wanita kadang juga ikut kerja /Scream/
2024-07-20
0
KIRANIECCA
aishhh, kemana aja diriku bru nemu novel ini 😁
2023-06-03
1
Rosikh Nurhayati
mampir kesini kayanya lucuu
2023-04-11
0