"May .. tumben nelpon?" Laras membuka pembicaraan ketika telepon sudah tersambung ke seberang.
"Ras .. kangen nih, udah lama gak ngumpul-
ngumpul." Suara Maya di seberang.
"Iyaa ya, kamu sibuk manggung kayaknya nih." Tebak Laras. Maya adalah seorang penari tradisional yang tergabung dalam sanggar milik KJRI(Konsulat Jenderal Rebuplik Indonesia) di New York.
"Iya lumayan juga KJRI banyak acara sampai keluar New York. Ohya, aku mau minta bantuan dong."
"Apa tuh?"
"Acara puncak ultah kampus kita kan aku ditawarin panitia buat ngisi, ya tarian mix tradisional dan modern gitu, nah aku kurang personel nih, ada dua orang yang lagi mudik ke Indo .. trus aku keinget kamu Ras, kamu udah pernah ngikut sanggar tari di Jogja kan dulu, ya kepikiran buat ngrekrut kamu, gimana?"
"Serius nih?"
"Iya seriuslah .. kalau kamu oke, hari minggu jam 5 sore mulai latihan ya di Konjen, soalnya waktunya dah mepet banget ini tinggal semingguan lagi,"
"Okay May .. siap!" Laras menutup telponnya.
Senyumnya tersungging pelan. Sudah lama sejak tinggal di New York gadis itu tidak mengasah hobi menarinya. Dulu di kampung halamannya Jogja, Laras mengikuti kelas tari tradisional di sebuah sanggar yang tak jauh dari rumahnya di Kota Gede.
Pandangan Laras menerawang keluar jendela apartemennya. Lampu-lampu dari gedung-
gedung pencakar langit di sekitar tampak berkelap-kelip. Ditariknya nafas dalam-dalam.
Sebatang kara di New York, bertahan hidup dengan dua pekerjaan sampingan, dan mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan kuliahnya, terkadang membuat Laras merasa kelelahan, namun rasa itu cepat-cepat dibuangnya. Menjadi kuat adalah pilihan satu-satunya untuk bertahan di kota ini.
***
Laras melangkah keluar tempat kerjanya di McFadden's Saloon. Jam menunjukkan pukul satu dini hari. Gadis itu merapatkan syal di lehernya agar tetap hangat. Udara begitu dingin malam itu. Jalanan menuju apartemennya mulai lengang.
Suara klakson mobil membuatnya terkejut,
membuat gadis itu secara otomatis menoleh ke sampingnya. Sebuah mobil hitam berhenti dan kaca jendela terbuka. Laras membulatkan matanya ketika melihat siapa yang duduk di belakang kemudi sembari tersenyum lebar ke arahnya. Lelaki berambut keperakan dan bermata biru. Dada Laras berdesir.
"Laras, ayo kuantar kau pulang!" seru Ben.
"Emhh .. apartemenku sudah dekat, Ben,
terimakasih untuk tawaranmu," tolak Laras gugup seraya menunjuk ke arah gedung yang masih ratusan meter jaraknya dari tempatnya berdiri.
"Kenapa kau selalu menolak tawaranku?"
Ben turun dari mobilnya kemudian mendekati Laras. Membuat gadis itu semakin gugup.
"Itu .. emh .. karena .. emh .. memang tidak perlu," jawab Laras terbata.
"Ayolah .. aku temani kau berjalan kaki ke apartemenmu, seperti waktu itu." Dengan tiba-
tiba Ben menggandeng tangan Laras tanpa memberi kesempatan gadis itu menolak.
Dada Laras berdebar kencang. Memandangi punggung Ben yang terbalut jaket sweater hitamnya. Rambut panjang peraknya menari-
nari tertiup angin.
"Tunggu, Ben!" seru Laras seraya melepaskan gandengan tangan Ben.
"What's wrong?" tanya Ben sembari membalikkan badannya menghadap Laras.
"Kenapa kau bisa ada di sini?"
Ben tertawa kecil. Mengelus pipinya dengan jari telunjuknya. "Aku warga New York, apakah
kau tidak tahu?" jawabnya asal. Membuat Laras terbengong. Beberapa detik kemudian Ben kembali tertawa melihat ekspresi gadis itu. Cukup cantik, batinnya. "Okay..aku baru pulang dari studio, sewaktu melintas di depan McFadden kulihat kau sedang berjalan sendirian,so here I am," sambungnya.
"Ah, I see," gumam Laras.
"Bisa kita lanjutkan perjalanan?" tanya Ben seraya memandang Laras yang masih berdiri mematung. Gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada wartawan yang mengintai.
"Relax .. no paparazzi's around." Ben tergelak.
"Alright," gumamnya malu.
Ben memasukkan telapak tangannya ke saku jaketnya. Lalu melangkah menelusuri jalanan yang lengang. Laras mensejajarkan langkahnya dengan lelaki itu.
"Ah Laras, kau besok masuk kerja di rumah Rose, bukan?" tanya Ben.
"I guess so," jawab Laras. "Why?"
"Lupita mengambil libur besok dan Penelope tidak bekerja di akhir pekan, aku akan sangat senang kalau kau bisa menginap untuk membantuku mengurus Rose, akan kutambah gajimu," ujar Ben. "If you don't mind," sambungnya.
"Yeah, sure," jawab Laras.Ben tersenyum sumringah mendengar jawaban Laras.
"Thanks, Laras, you're the best!" ujar Ben seraya menepuk pundak Laras lembut. Dada gadis itu kembali berdesir.
Suasana hening, keduanya terus melangkah dalam diam. Diliriknya Ben yang dengan tiba-tiba menoleh ke arahnya dan pandangan mereka pun bertemu. Ben hanya tersenyum lebar. Membuat Laras terkesiap. Senyuman lelaki ini begitu manis dan juga menggemaskan, pantas saja banyak yang tergila-gila dengannya. Ah bodoh sekali, bukan hanya karena senyumannya saja para wanita itu tergila-gila, tetapi lelaki di sampingnya ini adalah personel The Rebellion yang terkenal seantero USA ini. Kaya raya, dan mempesona.
"Hey .. Laras, can I ask you something?" tanya Ben memecah keheningan dan membuat Laras tersadar dari lamunannya.
"Emh .. yeah, sure," jawab Laras.
"Mungkin aku pernah menanyakan ini padamu tapi aku akan menanyakannya lagi."
"Go on."
"Kau adalah wanita pertama yang tidak histeris ketika berinteraksi denganku, kau justru banyak menghindar, bisa kau jelaskan kenapa bisa seperti itu?" Ben kemudian tergelak. "I know, I know, that's a stupid question but I'm really curious about you."
Desiran aneh kembali menyeruak di dada Laras. Penasaran? Seorang Benjamin Chevalier penasaran terhadap wanita biasa sepertinya, tunggu, mungkin saja dia mengatakan hal semacam itu kepada semua wanita, Laras membatin.
"Emm, mungkin itu karena, karena aku terlalu sibuk dengan hidupku, sehingga aku kurang memperhatikan sekelilingku," jawab Laras sekenanya. Padahal dalam hatinya berseru, siapa yang tidak terpesona dengan senyuman manis itu. Si flamboyan yang menggemaskan itu.
"Hmmm .. okay," jawab Ben singkat.
"Ah, kita sudah sampai," seru Laras ketika pintu lobby gedung apartemennya mulai terlihat di depannya. "Bagaimana caranya kau kembali ke mobilmu, Ben?" tanya Laras.
Ben terkekeh. "Dengan kakiku," jawabnya.
Laras mendecak. "I know .. tapi apakah kau akan berjalan kaki lagi kesana?"
"Why not .. aku suka berjalan-jalan sendiri di malam hari, banyak hal dalam kesunyian yang menginspirasiku, dan sebenarnya aku sedang ingin menghirup udara segar sekarang ini, you know .. proses pengerjaan album baru membuat isi kepala dan energiku sedikit terkuras."
Laras mengangguk-angguk. Diperhatikannya mata Ben yang terlihat sayu. Entahlah karena kelelahan atau dalam pengaruh sesuatu.
"Thanks Ben, take care," ucap Laras kemudian melangkah memasuki gedung apartemennya.
Ben memandang punggung gadis itu hingga sosoknya menghilang dari pandangan matanya. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil sekilas. Ditutupnya kepalanya dengan hoodienya lalu melangkah menjauhi tempat itu.
Dari balik jendela kamarnya Laras memperhatikan sosok Ben di bawah sana.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
྅≞⃗ Yudho☘️"ķïťå"
ayo semangat benji
2022-04-16
0
Chanik Lestari
laras bangun pembatas yg tinggi utk pertahanan diriinya agar tak jatuh hati karena laras sadar diri
2022-04-04
0
🐊⃝⃟ Queen K 🐨 코알라
Uluuuuh sweet banget siih kalian 🤭🐨🐨
2021-07-28
0