Five

Little Dead Flower

Five

“Mesin pembunuh, huh?” gumamku seraya menatap air mancur di taman. Aku tak menyangka tuan putriku akan berkata demikian. Kurasa gadis seumurannya tidak akan berpikir sampai sejuah itu.

Tiba-tiba saja seseorang menepuk pundakku. “Memikirkan apa, Zel?” suara cempreng penyihir itu masuk ke telingaku.

Tanpa menoleh, aku membalas. “Entahlah, Lynn. Aku tidak habis pikir, kenapa Hellga seperti itu.”

“Apapaun yang dia inginkan, kita hanya bergerak atas perintahnya, kan? Apapun peran kita, kita tetap punya peran dan tugas, kan?” tanya Lynn.

Aku mengangguk. “Yeah, kau benar. Aku hanya tidak ingin gadisku itu menjadi ... jahat.”

Lynn bergerak maju ke depanku lalu berbalik. “ Siapa yang peduli dia jahat atau baik, dia tetap majikan kita, kan?” ucapnya kemudian meneguk ramuan berwarna kuning di tangan kanannya. Aku mendesis jijik begitu dia selesai meminumnya. Aku pernah mencoba salah satu ramuan di ruangannya, percayalah rasanya tak bisa kujelaskan buruknya.

“Kau benar lagi, Lynn. Ah, kenapa aku selalu kalah debat denganmu.”

Hening sesaat.

“Hei,” panggilku.

“Yaz?”

“Bagaimana kalau suatu hari Hellga memerintahkanmu membunuhku atau Amanda, apa yang akan kau lakukan?

Lynn tersenyum lebar. “Aku bunuh dengan cara yang baik dan benar,” jawabnya girang.

Aku menggelengkan kepala. “Sial.”

Setelah mengobrol cukup lama dengan penyihir itu, aku bergegas pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam.

“Hei, wait, Zel,” panggil Lynn sebelum aku jauh dari posisinya berdiri.

“Apa?”

“Biar aku yang mencari intisari malam ini, yaz Kau di rumah saja bersama Amanda,” ucap gadis itu.

“Fine, lakukan apapun yang kau mau.”

“Yaaayy!” sahutnya kegirangan.

***

Keesokan paginya, hanya aku dan Amanda yang sudah siap di ruang makan. Mungkin sebentar lagi Hellga akan tiba. Aku hanya bingung kenapa si penyihir itu belum menunjukkan batang hidungnya.

“Mana Lynn, kok dia belum muncul?” tanya Amanda.

Aku mengangkat kedua bahu. “Mana aku tahu, dia bilang padaku dia mencari intisari semalam.”

Amanda memutar bola matanya. “Paling dia mengejar kelinci yang lepas sampai lupa tugas,” ucapnya seraya melipat tangan di dada.

“Oh ayolah, Mand.”

“Apa?” balasnya ketus.

Aku mengurungkan niatku untuk menjawab karena kudapati Hellga yang berjalan mendekat ke ruang makan. Kali ini dia mengenakan pakaian lengan panjang berkerah berwarna pink kotak-kotak dan celana berwarna putih. Dia duduk di samping Amanda.

“Di mana Lynn? Aku belum melihatnya,” tanya Hellga.

Aku dan Amanda saling berpandangan lalu dengan kompak menjawab, “tidak tahu, Putri.”

Hellga hanya mengangkat bahu lalu menghabiskan sarapannya.

***

Pukul dua siang, tak kunjung kutemukan sosok Magelynn. Padahal aku sudah berkeliling di rumah besar ini, dia juga tidak ada di ruangannya. Mungkin Amanda ada benarnya, Lynn mengejar kelinci yang lepas sampai lupa tugas.

“Mencari siapa sih, Zel?” tanya Amanda yang baru saja keluar dari ruangannya. Dia menatapku heran.

“Si gadis penyihir itu, Mand. Di mana dia?”

Amanda mengangkat bahu lalu meninggalkanku di ruang tengah.

“Ampun deh,” gumamku.

Kuputuskan untuk keluar sejenak karena bosan. Begitu aku berada di taman bagian depan, mataku menangkap sosok gadis berpakaian hitam sedang berdiri di depan pagar. Kudekati gadis yang sedang menatap bangunan mewah ini lalu menanyakan apa maksud kedatangannya.

“Maaf?” ucapku, “ada yang bisa kubantu?”

Gadis itu mengalihkan pandangannya padaku. Ah, aku ingat gadis ini. Rupanya dia lebih gemuk sedikit dibandingkan Lynn. Rambut hitam sepunggung, wajah datar, lengkap dengan tatapan tajamnya. Tidak salah lagi, itu Marley.

“Oh, jadi kau tinggal di sini,” ucap gadis itu.

Aku melipat tangan di dada. “Mau apa kau ke sini?”

Dia menatapku lebih tajam dari sebelumnya. “Aku tidak punya urusan denganmu, tuan iblis.”

Wah, berani sekali dia. Tidak sopan, batinku.

“Lantas kau sendiri apa? Kalau saudara Lynn, artinya kau tahu dirimu itu apa, kan?” balasku dengan nada datar.

Dia berdecak kesal. “Hazu uh sahma?”

Aku menggaruk kepalaku kebingungan. “Kau bicara apa?”

“Di mana adikku? Kau sembunyikan di mana dia? Kau jadikan dia pembantu di rumah ini, begitu?”

“Wooo ... hold. Aku tidak tahu ke mana Lynn, dia belum kembali sejak semalam,” jawabku jujur.

“Oh yeah?”

“Zel, kau bicara dengan siapa?” terdengar suara Hellga dari kejauhan. Begitu aku menoleh ke belakang, kudapati gadis itu berlari kecil ke arahku.

“Ah, Putri.”

Hellga tiba di sampingku, tatapannya tertuju pada Marley.

“Siapa gadis itu?” tanya Marley tanpa merubah tatapan tajamnya.

“Dia tuan putriku,” sahutku.

Untuk sesaat, Hellga memperhatikan Marley dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Waw Lynn, jarang sekali kau memakai pakaian santai begitu? Kau habis dari mana?”

Aku melongo mendengar ucapan Hellga. “Tunggu, apa?”

Marley melipat tangan di dada. “Aku bukan Lynn, dasar gadis payah.”

Aku menggenggam tangan kananku. “Hei, beran sekali menghina putriku!”

Hellga tidak meperdulikan tatapan tajam Marley. “Jangan mencoba menipuku, aku tahu kau penyihir. Trik murahanmu tidak berlaku untukku.”

Aku makin kebingungan. “Tunggu Putri, dia tidak ....”

“Kau berhasil ditipunya, Zel. Hanya dengan menggemukkan badan sedikit, mengecat rambutnya, kau pikir dia bisa berubah? Sudahlah, bawa gadis itu masuk. Ada beberapa ramuan yang ingin kupelajari darinya,” ucap Hellga yang kemudian meninggalkanku dan Marley.

Akhirnya kubuka pagar itu lalu mencengram tangan Marley, Kuseret dia masuk ke dalam lalu kupaksa untuk menurut.

“Apa-apaa kau ini?” bentak gadis itu.

“Karena kau di sini sekarang, setidaknya kau bisa menggantikan adikmu untuk sementara waktu. Sebaiknya kau turuti kata-kata gadis itu atau kau akan keluar dari sini tanpa kepala, paham?”

Marley melirikku tajam, bibirnya bergerak namun tidak bersuara. Tiba-tiba saja kakiku ditusuk oleh akar berduri hingga aku meringis. Walau begitu, tangan kananku masih mencengkram tangan gadis itu dengan kuat.

“Jangan mencoba bermain denganku, Luther!” balasku kesal.

“Aku kemari hanya untuk menjemput Lynn adikku, bukan menjadi budak gadis arogan itu!”

“Jaga cara bicaramu!”

***

Makan malam tiba, Hellga, aku, Amanda, dan Marley yang menyamar menjadi Lynn sudah duduk rapi di meja makan. Marley tampak kesal, dia terus menerus memajukan bibirnya.

“Kau kenapa, Lynn? Gagal menjalankan tugas, eh?” tebak Amanda.

“Shut up, dasar pendek.”

“Aku memang pendek, tapi aku lebih berbakat darimu, tahu!” balas Amanda.

Aku dan Hellga hanya menggelengkan kepala melihat tingkah mereka. Tak lama kemudian, Hellga beranjak dari bangkunya.

“Lynn, siapkan ramuan yang kuminta malam ini. Serahkan padaku besok pagi,” ucap Hellga sesaat kemudian berjalan meninggalkan ruang makan.

Lynn palsu itu melirik Hellga tajam.

“Mand, jaga gadis ini agar bokongnya tetap di tempatnya. Ada sesuatu yang harus kuurus,” pintaku pada Amanda. Gadis pebisnis sekaligus programer itu mengangguk.

Sesampainya di depan pagar, aku bersiap-siap untuk membaca sebuah mantra.

“O’ Locna wiza, haza locna o’ Wizna locna haz o locna.”

Tak lama kemudian, pagar itu mendadak berubah warna menjadi merah api untuk sesaat lalu kembali seperti semula.

“Dengan begini, Marley tidak akan kabur.”

***

“Kau tidak berguna!”

“Kenapa aku harus patuh dan tunduk padamu? Siapa kau ini?” balas Marley atau sebut saja Lynn palsu.

“Apa? Kau berani membalasku, Lynn?”

“Memangnya kenapa aku harus takut padamu? Kau hanya gadis cebol yang kerjanya memerintah seenak jidat, apa yang special darimu?”

Aku bergegas ke ruang tengah. Kudapati di sana Lynn palsu dan Hellga sedang berdebat pagi-pagi begini.

“Berani sekali kau, kau hanya alat, apa kau lupa batasanmu, hah? Dasar penyihir!” bentak Hellga yang tampaknya sangat kesal. Bisa kulihat aura hitam ditubuhnya meluap-luap. Celaka.

Langsung saja aku menghampiri mereka berdua. “Tunggu .. tunggu, ada apa ini?” tanyaku kebingungan.

“Zel, beri tahu gadis ini agar sadar akan posisinya!” seru Hellga marah kemudian meninggalkan ruang tengah.

Kutatap Marley. “Apa yang kau perbuat?”

“Ramuan yang dia minta kemarin malam, belum kukerjakan. Untuk apa juga kuturuti perintahnya?” balasnya cuek.

“Apa susahnya menuruti kata-katanya? Kau hampir membuat kekuatannya keluar, tahu,” ucapku.

“Aku tidak suka diatur!”

Aku menghela napas. “Fine, biar aku yang membuatnya.”

Tiba-tiba saja Amanda menghampiri kami berdua.

“Kau penyihir tidak tahu malu, ya?” ucap Amanda tiba-tiba.

“Apalagi masalahmu, pendek?” balas Marley.

“Kau kemasukan apa sampai berubah tiga ratus enam puluh derajat begini, hah? Tidak biasanya kau begini?” tanya Amanda.

Tentu saja Mand, dia bukan Lynn, ini kakaknya, batinku.

“Sudah kukatakan padamu, aku bukan Lynn! Berapa kali harus kubilang, hah?” Marley menghentakkan kakinya karena kesal.

“Aku tidak bodoh, Lynn,” sahut Amanda.

“Cukup, kalian cukup. Sudah, jangan ribut,” leraiku. Kalau mereka terus beradu argumen, bisa merepotkanku nantinya.

***

Malamnya, pukul sebelas malam. Aku masih terjaga, duduk di ruang tengah menikmati udara dingin yang berhembus. Aku penasaran, ke mana Lynn sebenarnya? Masa iya dia melupakan tugasnya? Tidak, tidak mungkin. Aku memilih dia karena dia termasuk demon—pelayan yang setia pada majikannya. Tapi, di mana dia sekarang? Malah gadis Luther ini yang datang ke rumah ini.

Tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang melesat cepat melintasi ruang tengah. Sosok itu berhenti di depan pintu utama lalu membukanya. Aku bangkit dari sofa lalu mengikuti sosok misterius yang tampaknya mencoba kabur itu.

Benar dugaanku, Marley mencoba kabur dari sini. Dia berlari mendekati pagar. Begitu dia berjarak satu meter dari pagar, warna pagar berubah menjadi merah api.

“Kau tidak bisa kabur, Marley,” ucapku yang perlahan mendekatinya.

Marley berdecak kesal. “Ck, sial.”

“Sudah tidak tahu diri, mau kabur lagi,” Amanda tiba-tiba muncul di belakangku. “Dasar penyihir, dari awal aku memang tidak menyukaimu.”

“Kau benar-benar bermasalah denganku, hah? Apa kau bermasalah dengan adikku juga?”

Amanda mengangkat bahu.

“Sudahlah kalian berdua, apa tidak bisa kalian damai sehari saja, kumohon,” pintaku.

“Tidak,” jawab Amanda dan Marley kompak.

“Aku menantangmu untuk Agni, Lynn!” ucap Amanda lantang.

Marley melirik Amanda tajam, seperti biasanya. “Kau yakin?”

Amanda mengangguk mantap.

“Wait ... hold. Kalian tidak mungkin Agni di sini, bisa rusak taman ini karena ulah kalian.”

Marley melipat tangan di dada. “Lalu di mana?”

Aku menghela napas. Kuangkat tangan kananku lalu menjentikkan jari. Seketika kami berempat berada di tengah hutan. “Di sini.”

“Waw, iblis tingkat tinggi memang beda, ya,” komentar Marley.

***

Aku bersandar di pohon, menonton dua gadis itu bertarung. Mereka sudah mulai sejak lima menit yang lalu.

Amanda terus menyerang Marley menggunakan kuku-kuku tajamnya. Marley tampaknya tak mau mengambil resiko dengan menangkis serangan brutal Amanda, dia lebih memilih untuk mundur. Sesekali Marley mencoba mengikat Amanda dengan sulur-sulurnya, namun dapat dipatahkan Amanda secepat kilat.

“Kapan kau akan menyerang balik?” tanya Amanda sambil terus menyerang Marley.

Marley tak menjawab. Dia melompat tinggi, mendarat di salah satu dahan pohon. Dia menunduk, menunggu Amanda menyusulnya. Tiga detik kemudian, Amanda ikut melompat untuk menyusul Marley. Marley segera melompat mundur lalu mendarat di tanah. Amanda yang berdiri di dahan pohon hendak melompat juga. Namun Marley menepuk tangannya, sulur-sulur itu mengikat kaki Amanda hingga pinggulnya.

“Sial!” umpat Amanda.

Marley membaca mantra elemen api untuk membakar pohon yang terdapat Amanda yang terikat di sana. Api menjalar dengan cepat. Amanda tidak tinggal diam, dia berhasil mematahkan sulur Marley. Dia segera menyerang Marley dengan serangan udara dengan menendang dadanya dari atas.

“Ugh!” Marley tersungkur.

Amanda tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia menjambak rambut Marley lalu menariknya ke atas. Di tendangnya Marley hingga terpental cukup jauh.

Aku menggeleng-geleng melihat kebrutalan Amanda. Dia tidak hanya brutal dalam menarik intisari, tapi juga dalam bertarung.

Marley yang berusaha berdiri langsung dihajar Amanda tanpa ampun. Jeritan serta rintihan sempat tertangkap telingaku. Kurasa Amanda sudah kelewatan. Langsung saja kuhampiri mereka.

“Stooop ... Mand. Cukup!”

Amanda menatapku. “Apa? Aku belum selesai.”

“Kau bisa membunuhnya, kau tahu itu kan?”

“Iya memang itu niatku,” sahutnya enteng.

“Bagaimana reaksi Hellga kalau kau membunuh Lynn? Kau bertimdak di luar perintahnya, kau sadar ini?”

Amanda melepas cengkramannya dari Marley. “Sorry.”

Kuangkat tanganku lalu menjentikkan jari. Tiga detik kemudian, kami sudah berada di taman depan kediaman Augeria.

***

Keesokan harinya, seperti biasa aku, Amanda, Marley, dan tuan putriku berada di meja makan. Hellga menatap Marley dengan heran.

“Ada apa denganmu? Kenapa kelihatan seperti habis dihajar begitu?”

Memang dia habis dihajar, batinku.

“Bukan apa-apa,” jawab Marley dingin.

“By the way, bisa kau membantuku dalam pelajaran kimia nanti siang? Aku menunggumu di ruang belajarku,” ucap Hellga yang sudah menyelesaikan sarapannya. Dia beranjak dari kursi lalu meninggalkan ruang makan.

Marley hanya diam, tidak merespon.

“Sudah menyerah, huh?” ucap Amanda.

Dia tetap diam.

“Lynn, kau bisa mencari intisari malam ini, kan?” pintaku.

“Kenapa aku?” tanya gadis itu.

“Aku harus mencari seseorang,” sahutku.

Tiba-tiba saja pintu utama terbuka dari luar. Spontan aku bergegas mengeceknya, disusul Amanda dan Marley.

“Haaaiii ... maaf menunggu lama! Aku bawa banyak intisari!” seru gadis berambut abu-abu panjang sepunggung itu.

“Lynn?” Amanda melongo.

“Akhirnya kau pulang juga,” gumamku.

Tak disangka Hellga ikut menghampiri kami. Dia menatap Lynn yang berdiri di depan pintu utama, lalu menatap Marley.

“Kenapa kau ada dua, Lynn?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!