19 | ALASAN

Esok hari, setelah menghadapi Mira yang termakan emosi. Reva masih belum puas dengan jawaban yang didapatkannya dari Vian dan Lizha mengenai alasan Mira begitu membencinya.

"Apa yang ingin kau tanyakan?" Lizha menatap Reva.

"Mengenai kejadian kemarin. Apakah kau tahu mengapa Mira sangat membenciku?" tanya Reva. Wajahnya terlihat penuh harap mendapatkan jawaban yang memuaskan dari Lizha.

"Aku-"

"Aku akan menjawabnya," kata Mira. Tiba-tiba ia muncul, bergabung dengan Lizha dan Reva.

"Apa yang ingin kau katakan? Jangan membuat situasi semakin rumit!" Lizha menggeram pada Mira.

"Mira, katakan padaku. Mengapa kau membenciku?" tanya Reva sambil memandangi Mira.

"Kau memintaku untuk mengatakannya? Baiklah," sahut Mira. Ia memberi sedikit jeda. "Aku sangat membencimu karena Vian lebih memilihmu dari pada aku."

Reva terkejut mendengar ucapan Mira. Matanya membulat. "Apa maksudmu?"

Mira tersenyum licik. "Jangan berpura-pura bodoh, Reva. Kau pasti tahu apa maksudku. Aku menyukai Vian sejak lama, sejak pertama kali masuk sekolah. Tapi kehadiranmu justru membentangkan jarak antara aku dan dia. Seharusnya aku bisa mendapatkannya."

***

Suasana kelas yang sepi. Semua siswa telah pergi meninggalkan kelas, kembali ke rumah masing-masing. Saat itu Vian pulang sedikit terlambat.

"Kebetulan kau ada di sini. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu," ucap seorang gadis berambut panjang model bergelombang. Ia tersenyum sambil melihat Vian.

Vian membalikkan badannya, melihat gadis itu. "Oh, ternyata kau, Mira. Apa yang ingin kau katakan?" tanya Vian. Ia kembali sibuk membereskan peralatan sekolahnya.

Mira berjalan mendekatinya, memerhatikannya cukup lama. "Sesuatu yang penting," jawab Mira.

Vian balas menatapnya. "Langsung saja bicara pada intinya."

Mira menarik napas panjang. Ia nampak begitu gugup, terlihat dari raut wajahnya. Beberapa kali ia coba mengumpulkan keberanian. "Vian aku...." Ia menunduk, membuat Vian bingung.

"Ada apa?" tanya Vian.

Mira kembali mengangkat kepalanya, menatap Vian. "Aku sudah lama ingin mengatakan ini, tapi aku tidak punya keberanian. Sudah lama aku memendam rasa ini padamu. Vian, aku menyukaimu." Mira kembali menunduk, menyembunyikan wajahnya.

Terdengar helaan napas dari Vian. "Setelah mengumpulkan keberanian untuk mengatakan ini, apa yang kau inginkan?" tanya Vian lagi.

Wajah Mira tampak merona. "Apa kau merasakan perasaan yang sama denganku? Pertimbangkanlah untuk berpacaran denganku," jawab Mira.

Vian tersenyum. Sekejap Mira merasa Vian menerimanya. Tapi tidak setelah Vian membuka mulutnya. "Maaf, Mira. Aku menghargai perasaanmu, tapi aku sudah memiliki orang yang aku sukai."

Hati Mira hancur lebur. Ia terkejut, tidak menduga Vian akan mengatakan hal itu. "Bagaimana mungkin? Kau pasti bercanda, kan?"

"Aku tidak bercanda," jawab Vian dengan wajah serius.

Mira semakin tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. "Apa kau benar-benar tidak memiliki perasaan yang spesial padaku?" tanya Mira lagi. Matanya mulai berkaca-kaca.

Vian menggeleng pelan, lantas berkata, "Maaf, Mira. Aku hanya menganggapmu sebagai teman biasa. Tidak ada perasaan spesial."

Jawaban itu seolah membakar tubuhnya. "Tidak mungkin. Dari perlakuanmu padaku, tidak mungkin kau tidak menyukaiku!" ucapnya dengan nada keras.

"Kau salah, Mira. Perlakuanku padamu itu bagiku adalah hal yang wajar yang biasa dilakukan oleh seorang teman. Maaf jika perlakuan itu membuatmu berharap padaku." Vian menyangkutkan tasnya ke atas punggung, bersiap untuk pulang. "Lagi pula aku memiliki perlakuan yang unik pada orang yang aku sukai.

Mira menarik tangannya, menghentikan langkah Vian. "Kita belum selesai. Kau belum boleh pergi."

Vian kembali menatapnya. "Apa lagi yang ingin kau pertanyakan, Mira?"

Mira menyeka air matanya. "Siapa gadis yang kau sukai itu?"

Vian diam sejenak. "Untuk apa kau mengetahuinya? Bukankah itu tidak ada hubungannya denganmu?"

"Aku hanya ingin mengetahuinya, Vian," sahut Mira.

"Dia gadis yang ceria, mandiri, baik hati, tapi terkadang dia juga bodoh. Dia selalu meragukan kepintaranku, menganggapku sebagai orang yang paling menyebalkan, dan suka marah. Tapi wajahnya ketika marah sangat menggemaskan, makanya aku suka mengganggunya. Dilihat dari fisiknya, dia adalah gadis yang lemah. Tapi sebenarnya dia cukup kuat. Dia sangat cantik dan manis. Selain itu, dia adalah orang yang lembut," jelas Vian sambil membayangkan gadis yang disukainya. Ia bahkan tak sadar telah senyum dengan sendirinya.

"Apa gadis yang kau maksud adalah Reva?" tanya Mira untuk memastikan.

Vian langsung menjawabnya dengan anggukan kepala. "Tepat. Aku menyukai Reva. Revania Amanda "

Mira terkejut bukan main. Ia tidak menyangka Vian ternyata menyukai Reva. "Apa kau bercanda? Dia tidak ada apa-apanya."

Sorot mata Vian tajam, memburu Mira. "Apa maksud perkataanmu?"

Mira menghela napas. "Aku pikir kau menyukai gadis lain yang lebih cantik, lebih pintar, lebih sebanding denganmu. Tapi rupanya kau menyukai gadis kecil sepertinya. Padahal aku jelas lebih baik darinya. Aku punya segalanya, berbanding terbalik dengannya. Tapi kau memilihnya? Apa kau sudah dibutakan?" kata Mira. Perkataan Mira terdengar seperti ejekan untuk Reva.

"Cukup, Mira. Kau tidak perlu menghina gadis yang kusukai hanya karena kau kutolak. Jangan membuatku semakin tidak menyukaimu," ucap Vian. "Aku menyukai Reva bukan karena memandang fisik atau hartanya. Aku menyukainya. Dia gadis yang paling berbeda di antara banyaknya gadis yang pernah kutemui. Dia berbeda, sangat berbeda. Meskipun kau bilang ada gadis lain yang lebih sempurna darinya, itu tidak akan menghapus perasaanku padanya sedikit pun." Kemudian ia melangkahkan kakinya pergi, meninggalkan Mira sendirian.

***

"Tapi itu bukanlah kesalahanku. Mengapa kau menyalahkanku?" tanya Reva. Mira muak menatapnya. Ia melayangkan tamparan cukup keras ke wajah Reva.

"Mira, apa yang kau lakukan?" Lizha berdiri, memegangi Reva.

Di saat yang bersamaan, Vian membawa dua gelas minuman cokelat dingin. "Reva, cuacanya sedang panas. Ayo minum ini!" Vian terkejut melihat kejadian di dalam kelas. Mendadak tatapannya menjadi dingin ke arah Mira. "Apa lagi yang kau lakukan?"

"Apa yang kulakukan? Aku hanya memberikan sedikit penjelasan padanya. Dia yang memintanya," jawab Mira. Ia menyilangkan tangannya di depan dada, tersenyum dengan angkuhnya.

Vian mendekatinya. Ia meletakkan dua gelas minuman itu di atas meja. "Reva, apa yang dia lakukan padamu?" tanya Vian masih dengan tatapan dinginnya. Reva enggan membuka mulut, ia takut.

"Mira menampar Reva," sahut Lizha.

Vian melihat Reva memegangi pipinya. "Apa tidak ada hal lain yang dapat kau lakukan selain menampar? Mengapa kau segitu bencinya pada Reva?"

"Kau menolakku karena dia. Memangnya apa istimewanya dia bagimu?" tanya Mira masih dengan wajah sombongnya.

Vian mengambil salah satu gelas minuman di atas meja. "Tidak mau berhenti menyalahkan Reva? Sepertinya aku harus menyiramimu dengan cokelat dingin ini ke kepalamu."

"Memangnya kau berani melakukannya?" ucap Mira dengan nada menantang.

Vian tersenyum kecil. Tanpa ragu ia menumpahkan isi gelas itu pada Mira. "Kau bertanya apakah aku berani? Jelas. Tidak ada alasan bagiku untuk takut padamu."

Rambut dan seragam Mira terkena tumpahan cokelat dingin. Ia mulai berteriak, menggerutu tak ada hentinya, lalu pergi ke luar kelas.

"Vian, apa yang kau lakukan? Kau bisa terkena masalah jika dia melaporkan itu pada guru," kata Reva.

Vian mengangkat salah satu alisnya. Dengan segera ia mengambil sebuah gelas berisi cokelat dingin yang masih utuh. Lalu ia tempelkan gelas itu di pipi Reva.

"Ini dingin sekali," ujar Reva. "Apa yang kau lakukan?"

"Aku hanya ingin membantu meredakan bekas tamparan perempuan gila itu. Apa kau sudah merasa lebih baik?" Vian balik bertanya.

Reva mengangguk pelan. Perhatian yang diberikan Vian selalu saja dapat membuat wajahnya merona. Jantungnya kembali berdebar. Apa lagi ketika mendengar cerita dari Mira, di mana Vian lebih memilihnya. Rasanya seperti berada di negeri mimpi. "Apa yang dikatakan Mira itu benar?" pikirnya.

"Kurasa sudah cukup. Minumlah ini. Aku sudah jauh-jauh membawakannya untukmu," kata Vian sambil menyodorkan gelas itu ke hadapan Reva.

Reva mencium aroma cokelat yang sangat digemarinya. "Kalau aku tidak meminumnya bagaimana?"

Vian tersenyum. Ia menarik dagu Reva, memiringkan posisi gelas itu. "Kalau kau tidak minum, aku akan memaksamu meminumnya dengan cara ini. Bukankah itu sangat romantis?" goda Vian.

Wajah Reva penuh dengan rona merah, ia lekas membuang muka. "Ka-Kalau kau yang melakukannya sepertinya jadi tidak romantis," ketus Reva.

Vian mendekatkan wajahnya. "Jadi kau mau yang lebih romantis dari ini?" godanya lagi.

"Tidak, bukan begitu maksudku!" teriak Reva. Ia merampas minuman yang dipegang Vian. "Aku akan meminumnya dengan tanganku sendiri. Aku tidak butuh perlakuanmu yang kau bilang romantis itu, padahal tidak romantis sama sekali. Dasar Vian." Reva tanpa pikir panjang langsung meneguknya.

Sementara Lizha yang dari tadi menyaksikan kelakuan mereka tertawa. "Kalian memang cocok sekali. Reva dan Vian benar-benar serasi."

Reva menyemburkan cokelat yang diminumnya. "Kami tidak pacaran!" tegasnya.

Sementara Vian tersenyum lebar. "Eh, kau tidak mengakuinya, Va?"

"Apanya yang diakui? Kau banyak melantur!" teriak Reva lagi.

"Tapi kau sudah membuat pakaianku kotor karena semburanmu itu," kata Vian. Ia menunjukkan pakaiannya yang terkena percikan cokelat.

"Aduh, ya ampun. Aku akan membantumu membersihkannya. Cepat ikut denganku!"

Terpopuler

Comments

Miss Logophile

Miss Logophile

Rate dan bom like untukmu.

Jangan lupa mampir di lapakku juga. Ditunggu feedbacknya. (Vote, like, komen, dan rate.)


"BANGKU POJOK"

Ditunggu, ya. 😉😉😉

2020-08-06

1

Zanuba Mashud (ririn)

Zanuba Mashud (ririn)

lanjut

2020-07-12

1

Adine indriani

Adine indriani

semangat kakak

2020-07-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!