8 | INGATAN DI RUMAH SAKIT

Siang terik menyengat kulit. Di bawah pohon rindang itu, Reva mencoba mengingat kejadian di rumah sakit. Ia berpikir keras, matanya menutup. Sambil mengingat, mulutnya bergerak-gerak. Ia mulai bercerita.

***

Flashback

Tetesan cairan infus itu terdengar jelas. Di sudut kamar sederhana itu, dinding kusam berwarna putih. Juga lantai keramik yang satu dua buahnya retak. Di atas kasur, terbaring seorang gadis kecil dengan balutan perban di kepalanya. Ia membuka mata. Bau obat-obatan serta infus di tangan membuat gadis kecil itu bertanya-tanya di dalam hati, "Di mana aku?"

Tak lama kemudian datang seorang wanita yang membawa sebuah gelang emas. Wanita tersebut tersenyum ke arahnya. Namun gadis kecil itu terdiam, tidak mengenali sosok wanita di hadapannya.

"Bibi ini siapa?" kalimat yang pertama kali ia lontarkan. Ia mulai merasakan sakit di kepalanya. Rasanya seperti terhantuk keras.

"Nak, apa kau tidak mengingat apapun?" tanya wanita itu sembari mendekatkan wajahnya. Gadis kecil itu menggelengkan pelan, menahan rasa sakit.

"Siapa aku? Ini di mana? Aku tidak ingat apapun," katanya disertai isak tangis. Wanita itu terkejut mendapati gadis kecil di hadapannya menangis. Ia menyeka air matanya, berusaha untuk menenangkannya.

"Tenanglah. Aku akan memberitahumu. Namamu adalah Reva," kata wanita itu. Ia terlihat sedang memegang sebuah gelang. Ukurannya kecil, terbuat dari emas asli. Pada gelang emas kecil itu, tertulis namanya, "REVA".

"Lalu, Bibi siapa?" tanya gadis kecil itu lagi. Wanita tersebut tersenyum seraya berkata, "Aku adalah ibumu."

"Tapi bagaimana aku bisa ada di sini?" Reva memandang ke segala arah di ruangan itu.

"Kau mengalami kecelakaan. Tapi tenang saja. Kau akan pulih dalam beberapa hari."

Revania Amanda, nama yang diberikan oleh wanita yang diyakininya sebagai Ibunya. Ia tidak mengingat kejadian apapun sebelum ia terbaring lemah di kamar rumah sakit.

Beberapa hari harus ia habiskan di tempat itu. Sebelum luka di kepalanya sembuh, ia tidak diizinkan untuk pulang. Bosan, ia merasa hampa. Tapi di tengah rasa bosannya itu, ia dikejutkan dengan datangnya seorang anak seumuran dengannya. Rambutnya pendek terurai dengan jepit rambut berbentuk bunga. Di tangannya terdapat boneka mungil. Tanpa ragu ia langsung menyapa Reva.

"Selamat pagi, Reva." Reva yang tidak mengenalinya memasang wajah bingung. Ia heran mengapa anak itu bisa mengenalinya.

"Ah, aku lupa. Namaku Brigita Bella, temanmu sejak kecil," kata bersemangat.

"Teman? Apa sebelumnya kita ini teman?" Reva sambil memegangi kepalanya. Bella tertunduk, berjalan mendekatinya. "Iya," jawabnya singkat. Bella menatap Reva yang nampak kebingungan.

"Sejak kecil kita berteman. Tapi kemudian kau tinggal di kampung dengan nenekmu. Bibi bilang kau datang lagi ke sini beberapa hari lalu. Tapi di perjalanan kau kecelakaan. Bibi sangat mencemaskanmu."

"Maaf, aku tidak bisa ingat apapun. Tapi walaupun begitu aku akan coba untuk ingat, karena sepertinya kau adalah orang yang penting bagiku." Namun Bella kembali menunduk. Seperti ada hal yang ia pikirkan.

"Tidak apa-apa. Kau baru saja kecelakaan. Pasti rasanya sakit. Tapi kalau kau sudah sembuh, aku akan bermain denganmu. Ini, boneka hadiah untukmu." Bella memberikan boneka beruang mungil pada Reva. Senyum mengembang di wajahnya.

"Terimakasih."

Flashback selesai

***

Kembali pada Reva dan Vian.

"Ibuku bernama Anggita Nanda. Ia adalah orang pertama yang aku lihat ketika sadar di rumah sakit. Sedangkan ayahku bernama Andika, seorang polisi penjaga di perbatasan Shomba dan Semala. Ayahku bersahabat dengan ayahnya Bella, yang juga merupakan polisi penjaga." Reva memandangi langit biru. Tak lama ia menghela napas.

"Berapa usiamu saat itu?" tanya Vian lagi. Cerita yang didengarnya dari Reva tampak masih kurang baginya.

"Delapan tahun. Usiaku sama dengan Bella. Saat itu, setelah keluar dari rumah sakit, ibu membawaku pulang ke rumah. Ia memasukkanku ke sekolah yang sama dengan Bella. Sampai sekarang kami selalu bersama."

"Ternyata begitu. Reva, untuk sementara jangan bahas masalah ini dengan ibumu. Aku takut kejadian kemarin terulang lagi," pinta Vian. Wajahnya terlihat serius.

"Apa aku harus menyerah menguak kebenaran?" Reva merengut, memalingkan wajah. Tak lama ia merasakan usapan lembut di kepalanya.

"Bukan begitu, Reva. Kau boleh mencari tahu sesuatu, tapi jangan pernah bahas ini pada ibumu. Aku berjanji akan membantumu menyelesaikan masalah ini," kata Vian sambil tersenyum. Untuk ke sekian kalinya, wajah Reva memerah setiap kali Vian mengucapkan kata-kata seperti itu. Meskipun ia sedang merajuk, tapi ada saja cara Vian membuatnya luluh.

"Baiklah. Aku mengerti," sahutnya. "Oh iya, Vian. Kau bilang ingin mengatakan sesuatu. Apa itu?" tanya Reva penasaran. Ia teringat pada isi pesan Vian tadi malam.

"Ah, iya. Aku ingin mengatakannya hari ini. Tapi sepertinya tidak memungkinkan. Reva masih menghadapi permasalahan berat. Bisa-bisa aku hanya membuatnya semakin terbebani," kata Vian dalam hati.

"Sepertinya belum saatnya kukatakan. Nanti saja," jawab Vian. Reva menghela napas.

"Vian, kau baik sekali mau mendengarkan permasalahanku dan memberikan solusi. Untuk sekian kalinya aku ucapkan terima kasih," ucap Reva sambil tersenyum ke arah Vian.

"Tentu saja aku akan membantumu. Jika ada masalah, katakan padaku. Jangan dipendam sendiri. Kau mengerti 'kan, Reva?" Reva mengangguk. Baru kali ini ia menemui lelaki yang perhatian seperti Vian. Ketertarikannya pada Vian semakin bertambah.

"Bagaimana kau bisa menemukan tempat begini? Ini hebat!" Reva masih takjub dengan pemandangan tempat itu.

"Ini tempat yang selalu kukunjungi sejak kecil. Kalau aku sedang sendiri, aku suka ke sini. Tidak banyak yang tahu tempat ini. Sekarang aku memberitahunya padamu."

"Wah, artinya aku orang yang beruntung bisa melihat tempat ini."

"Tentu saja."

Setelah cukup lama, mentari mulai condong ke arah barat. Mereka memutuskan untuk kembali ke rumah.

"Terima kasih atas hari ini, Vian," ucap Reva begitu tiba di depan rumahnya.

"Terima kasih kembali. Kalau begitu aku pulang dulu. Sampai jumpa besok," sahut Vian.

"Sampai jumpa." Ia memandangi lelaki itu yang berjalan semakin jauh. Lama-kelamaan tubuhnya terlihat mengecil, hingga akhirnya benar-benar hilang dari pandangan.

Terpopuler

Comments

Sept September

Sept September

semangat

2020-08-29

0

Niisha Vanasha Khasunny

Niisha Vanasha Khasunny

Semangat, Mas Shoto 😊

2020-08-15

0

Kadek

Kadek

gambate todoroki Chan

2020-07-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!