Malam hari di kamar sederhana. Jam dinding terus berdetak, jarum pendeknya merujuk ke angka sembilan. Keadaan kamar sepi, tak ada suara bising. Di heningnya malam, dua hari setelah ia bertengkar dengan ibunya, Reva berdiam diri. Tidak tahu apa yang ingin ia lakukan. Ia terbaring, menatap kosong langit-langit kamar. Tak lama terdengar bunyi dari ponsel yang tergeletak tak jauh darinya. Ia meraihnya. Matanya tertuju pada sebuah pesan.
"Vian?" gumamnya. Ia membuka pesan yang dikirimkan oleh Vian.
Vian : Kau sedang apa?
Reva senang mendapat pesan dari orang yang disukainya. Senyum terukir di wajahnya. Tapi di lain sisi, ia masih terpikir oleh bayang-bayang mimpinya. Mimpi yang tidak jelas artinya.
Reva : Aku hanya duduk
Vian : Apa besok kau ada rencana?
Reva : Oh besok akhir pekan. Aku tidak
ada rencana apapun
Vian : Apa kita bisa bertemu? Ada yang
ingin kusampaikan
Reva : Kebetulan. Aku juga ingin
menyampaikan sesuatu
Vian : Apa itu?
Reva : Masih rahasia. Kalau begitu
bertemu di mana?
Vian : Besok aku beritahu
Reva : Baiklah
"Apa yang ingin disampaikan Vian? Dia tiba-tiba mengajakku pergi untuk pertama kalinya," gumam Reva. Ia kembali mengingat kata-kata Vian saat berbincang di kelas.
"Setidaknya kau masih memiliki aku yang
menyukaimu"
Tiba-tiba wajahnya memerah. Reva dibuat salah tingkah hanya dengan kata-kata itu.
"Dasar Vian. Bercandanya berlebihan ah," ucapnya sambil senyum-senyum tak karuan. Meskipun ia berharap perkataannya itu bukan candaan.
***
Pagi itu matahari memancarkan sinar hangatnya. Burung-burung berkicauan menyambut pagi yang indah itu. Namun di sebuah kamar, nampak Reva masih terlelap dalam buaian mimpi.
"Reva, bangunlah!" teriak ibunya dari luar kamar. Reva mengerutkan dahinya. Tetap tak mengindahkan teriakan wanita itu.
"Masih mengantuk, Bu," jawabnya masih dengan mata tertutup. Suaranya terdengar pemah. Pintu terbuka, Ibunya segera berjalan mendekatinya.
"Reva, ayo bangun! Sudah pagi," kata ibunya lagi sambil mengoyang-goyangkan tubuh gadis itu.
"Bukannya ini hari Minggu?" Reva kembali memeluk guling. Masih ingin menikmati tidur di pagi hari.
"Benar. Tapi kau kedatangan tamu. Kalau tidak salah namanya Vian, orang yang sering kau ceritakan itu. Dia sedang menunggu di ruang tamu." Ibunya membuka jendela. Menyilaukan mata Reva dengan sinar matahari.
"Vian? Oh," sahutnya masih dengan matanya yang tertutup. Tiba-tiba ia mengingat sesuatu. Matanya langsung terbuka.
"Apa? Vian?" Reva langsung beranjak dari tempat tidur. "Ya ampun!" teriaknya. Dengan cepat ia mengambil handuk, memasuki kamar mandi. Dilanjutkan dengan bersiap-siap.
"Mengapa dia tidak bilang akan datang menjemput? Lalu mengapa ia tidak bilang akan datang jam segini?" pikirnya. Ia benar-benar kesal. Gerakannya dipercepat, khawatir Vian terlalu lama menunggu.
Setelah bersiap-siap, ia menemui Vian di ruang tamu. Matanya mengisyaratkan sesuatu, seperti hendak bertanya mengapa tidak bilang akan datang ke sini.
"Baiklah. Kami pergi dulu, Bibi," ujar Vian. Ia keluar lebih dulu, meninggalkan Reva yang masih kesal di ruang tamu. Ia kemudian menyusul.
"Iya, hati-hati!" teriak Ibunya dari dalam rumah.
"Kau ke sini berjalan kaki?" tanya Reva ketika mereka ke luar rumah. Vian tersenyum sambil mengangguk.
"Mengapa kau tidak bilang akan datang ke rumahku?" tanya Reva lagi. Kali ini dengan nada kesal.
"Karena aku tidak mau memberitahumu," jawabnya santai, tanpa beban sedikit pun.
"Lalu mengapa datang jam segini?"
"Bukannya ini sudah siang? Kau tidurnya kelamaan," sahut Vian. Reva terkejut mendengarnya. Dengan segera ia memeriksa jam di ponselnya. Matanya terbelalak melihat layar ponsel, sudah pukul 11.03. "Ya ampun! Ini pasti salah."
Vian memandanginya. Kemudian tertawa dan bilang, "kau yang salah."
"Kita akan pergi ke mana?" Reva mengalihkan topik pembicaraan. Membuang jauh-jauh rasa malu karena bangun kesiangan.
"Ke tempat yang pasti kau suka," jawab Vian.
Vian membawa Reva berjalan cukup jauh. Mereka melewati jalan sempit yang dipenuhi rerumputan. Reva mulai heran.
"Kau tidak menipu aku dengan membawaku ke sini, kan? tanya Reva untuk memastikan. Matanya memburu ke kiri dan kanan, memasang ekspresi waspada.
"Tentu saja tidak. Untuk apa aku menipumu? Ikuti saja, sebentar lagi akan sampai."
Lima menit berlalu. Vian yang berjalan di depan tiba-tiba menghentikan langkahnya.
"Apa tidak ada jalan lain menuju tempat yang kau maksud? Kita sudah berjalan cukup jauh. Sekarang jalannya cukup sempit dan banyak rumput tinggi di sini," keluh Reva. Vian menutup mulut Reva.
"Sttt... Jangan banyak mengeluh. Kita sudah sampai," sambung Vian. Ia langsung menutup mata Reva.
"Vian, mengapa kau menutup mataku? Jangan-jangan kau merencanakan hal buruk padaku!" tuduh Reva.
"Sudah ikuti saja aku. Jalan ke depan. Pasti kau suka," jawab Vian. Reva hanya menuruti ucapan Vian. Ia melangkahkan kakinya ke depan dengan mata yang ditutup oleh Vian. Serasa akan diberi kejutan ulang tahun.
"Baiklah. Stop di sini!" perintah Vian. Ia kemudian membiarkan Reva melihat pemandangan di depannya.
Ia takjub dengan pemandangan yang ia saksikan. Padang rumput yang cukup luas. Warna hijaunya memanjakan mata. Di tengahnya terdapat pohon rindang.
"Bagaimana? Kau suka?" tanya Vian. Reva tersenyum sambil mengangguk. Mereka berjalan mendekati pohon itu, berteduh di bawahnya.
"Apa yang ingin kau sampaikan?" tanya Vian memulai topik. Ia bersandar pada pohon itu.
"Ini tentang mimpi itu," jawab Reva pelan sambil memandangi langit biru di atas.
"Kemarin saat aku menanyakan tentang saudaraku pada Bella, ia tidak tahu apa-apa. Lalu saat aku bertanya pada ibu, dia jadi marah bahkan menamparku," terangnya dengan suara lirih. Vian menatap wajahnya.
"Maaf, Reva. Pasti karena penjelasanku mengenai arti mimpi, kau mengalami masalah ini," Vian ikut merendahkan suaranya. Ia merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Reva.
"Tidak, Vian. Kau tidak salah apa-apa. Hanya saja kemarin aku terlalu emosi sehingga ibuku menamparku. Tapi aku merasa ada yang disembunyikan oleh ibu," sahut Reva. Ia mengingat bagaimana ekspresi ibunya kemarin.
"Benarkah? Tapi apa kau yakin?" Vian bertanya dan dibalas dengan anggukan oleh Reva. Terlihat sangat yakin.
"Aku yakin ada hal yang disembunyikan oleh ibu mengenai masalah itu. Tapi aku tidak tahu apa yang disembunyikannya. Otakku tidak bisa berpikir ke sana," sambungnya. Ia terdiam. Membisu.
"Apa ada Reva?"
"Apa mungkin aku bukanlah anak kandungnya?" Reva menduga-duga. Ia mengejutkan Vian dengan dugaannya itu.
"Dari mana kau menyimpulkan begitu?"
"Entahlah. Aku merasa begitu," jawab Reva. Ia nampak kebingungan.
"Sepertinya ada beberapa hal yang bisa membuktikan apakah kau anak kandungnya atau bukan," sahut Vian. Reva mengerutkan dahinya.
"Bagaimana?"
"Tes DNA tentunya. Tapi kurasa ibumu tidak akan setuju. Pasti dia akan curiga. Tapi ada cara lain, misalnya dengan melihat foto saat kau masih bayi," Vian menjelaskan. Namun kalimat terakhirnya membingungkan Reva.
"Foto saat aku masih bayi? Tapi untuk apa?" Reva kembali bertanya. Ia belum memahami maksud Vian.
"Bodoh. Tentu saja itu sebagai bukti. Jika benar ia adalah ibu kandungmu, setidaknya ia memiliki foto saat kau masih bayi," terang Vian.
"Kau yang bodoh. Aku mulai meragukan kepintaranmu," sambar Reva. Ia berpikir. "Aku pernah menanyakannya, sudah lama, tapi Ibu tidak punya fotoku. Katanya ia tidak suka mengambil foto. Lagi pula idemu ini tidak masuk akal. Bisa saja aku diadopsi sejak baru lahir."
"Itu sedikit aneh. Orangtua mana yang tidak ingin mengabadikan momen ketika buah hatinya masih kecil dan lucu? Ayahku saja masih menyimpan fotoku saat masih kecil." Reva mulai memahami maksudnya.
"Ya, kau benar. Tapi ada lagi sesuatu yang aneh. Aku tidak bisa mengingat kejadian sebelum aku masuk rumah sakit," jelas Reva. Ia berusaha mengingat kembali saat di rumah sakit, saat ia terbaring dengan lemah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Sept September
lanjutttttt
2020-08-25
0
Triana R
halo kak... aku mampir
2020-07-26
1
Kadek
ohayougozaimasu todoroki san, ogenki desu la,
ane bawa like untuk ente
2020-07-20
1