Hari minggu dan tanggal merah lainnya adalah kebahagian bagi semua siswa juga pekerja kantoran. Dan tanggal merah ini menambah kebahagiaan Lyra, karena hari ini merupakan hari bersejarah dalam hidupnya.
Sejak sore kemarin, Lyra beserta keluarga sudah berangkat ke puncak, di susul oleh keluarga Pandu. Pernikahan mereka akan diadakan di kediaman sang nenek dari ayah Pandu. Hanya pernikahan sederhana juga privat yang tidak banyak dihadiri tamu undangan.
Ijab qobul baru saja selesai beberapa menit yang lalu. Senyum di bibir tipis dan mungil Lyra tidak juga surut sejak Pandu mengucapkan janji di depan penghulu dan para saksi dengan hanya sekali tarikan napas.
Kini mereka berdua tengah berdiri di pelaminan, berdampingan menyalami tamu undangan yang hanya di hadiri keluarga besar dari kedua belah pihak.
“Lo senyum mulu dari tadi, gak pegal apa itu bibir?” cibir Pandu berbisik tepat di telinga Lyra.
“Gue senang karena akhirnya mimpi gue untuk menikah di usia muda terwujud. Hari ini gue resmi menjadi seorang istri.” Jawab Lyra berbisik pula masih dengan senyum yang terukir sempurna. Manis dan cantik, tapi tetap saja senyum gadis pujaannya lebih indah dari siapa pun. Itu menurut Pandu.
“Pengantin baru manis banget sih,” ledek Ratih tersenyum menggoda. Lyra terkekeh malu, sedangkan Pandu tetap menampilkan wajah datarnya.
“Kalian ke kamar aja gih, istirahat. Tamunya juga udah pada pulang, sisanya biar Mama dan lainnya yang urus. Ingat istirahat jangan aneh-aneh dulu! Nanti sore kalian berdua harus kembali ke rumah, besok sekolah.”
“Loh, gak cuti emang?” Ratih menggelengkan kepala sebagai jawaban.
“Yah, kirain masih harus disini. Lyra 'kan belum sempat keliling lihat pemandangan indah,” keluhnya kecewa.
“Nanti lagi ya, sayang. Kalau kalian libur sekolah, kamu bisa ke sini sama Pandu.”
🍒🍒🍒
Lyra langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk berukuran king size tanpa mengganti gaun pernikahannya yang berwarna putih tulang tanpa lengan, hingga menampilkan pundak hingga lengan Lyra yang putih mulus.
Gemiricik air terdengar dari dalam kamar mandi, membuat Lyra yang tengah memejamkan mata amat yakin bahwa di dalam sana ada Pandu yang mungkin saja sedang mandi. Satu per satu asesoris yang dikenakannya Lyra lepas, juga hiasan yang ada dikepalanya ia masukan ke dalam kotak persegi ukuran sedang.
Tidak lama, Pandu keluar sudah mengenakan pakaian santainya, celana jeans selutut dan kaos merah maroon bertuliskan London. Lyra memang pernah melihat laki-laki yang sekarang menjadi suaminya itu mengenakan pakaian santai, tapi ini ditambah dengan rambut basah selesai mandi membuat Lyra semakin terpesona, karena Pandu terlihat amat seksi di matanya.
“Jangan lihat gue dengan tatapan mesum gitu, Ra, gue risi!”
Mendengar perkataan itu membuat Lyra tersadar dan mengerjapkan matanya beberapa kali, mendengus pelan lalu menatap laki-laki di depannya dengan kesal untuk menutupi rasa malunya, karena sudah ke pergok.
Dengan langkah yang di hentak, Lyra berjalan melewati Pandu menuju koper yang berada di sudut dekat lemari, membukanya dan mengambil baju juga handuk, kemudian masuk ke dalam kamar mandi tanpa bicara sepatah kata pun pada laki-laki datar itu.
Pandu hanya mengedikan bahunya acuh, lalu melangkah menuju balkon kamar sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Angin sejuk masih dapat ia rasakan meski di tengah hari seperti ini. Menyegarkan dan seolah membawa terbang beban yang bersemayam di otak dan pundaknya.
Sudah satu jam berlalu, namun Lyra belum juga keluar dari kamar mandi. Pandu sedikit khawatir, takut gadis ceriwis itu pingsan di dalam sana.
Pandu memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar mandi sambil mendekatkan telinganya pada pintu bercat cokelat tua itu, dan berkali-kali mengetuk pintu.
“Ra?”
“Lyra?”
“Lo masih hidup kan, Ra?” saat tidak juga mendapat respons dari dalam sana, ketukan di pintu semakin kencang, dan Pandu terus memanggil-manggil gadis yang beberapa jam lalu telah resmi menjadi istrinya.
“Lyra!” seru Pandu cukup kencang, kesal sekaligus khawatir.
“Apa sih, Pandu? Lo berisik banget, ganggu tidur gue tahu gak?!” Pandu menghela napas lega saat gadis bulat itu berteriak dari dalam sana.
“Gue kira lo mati tenggelam, Ra.”
“Emang lo mau jadi duda di hari pertama jadi suami?” tanya Lyra saat baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk.
“Duda kan cuma statusnya doang, aslinya gue masih perjaka.” Balasnya cuek. Lyra mendengus kecil lalu duduk di depan meja rias, menyisir rambut hitam sepunggungnya yang masih basah.
🍒🍒🍒
Tepat pukul empat sore, Lyra dan juga Pandu sudah siap untuk pulang. Orang tua mereka tidak ikut dengan alasan ingin memberi waktu keduanya untuk saling mengenal dan lebih dekat. Pandu padahal tahu bahwa orang tuanya masih ingin liburan. Ia jadi bingung, sebenarnya yang pengantin baru itu siapa, kenapa malah para orang tua yang liburan?
Perjalanan cukup macet, membuat Pandu dan Lyra tiba tepat pukul Sembilan malam. Di perjalanan tadi Lyra juga Pandu sempat berdebat tentang ke rumah siapa mereka akan pulang. Pandu menyarankan untuk pulang ke rumah orang tuanya, sedangkan Lyra juga mengusulkan untuk pulang ke rumah orang tuanya.
Keduanya yang sama-sama keras kepala jelas tidak ada yang mau mengalah sampai akhirnya saat di pom bensin tadi mereka melakukan kertas gunting batu. Senyum di bibir mungil Lyra tersungging, karena dirinya menang, sementara Pandu hanya mendengus, menerima kekalahannya.
“Pandu ih, bantuin kek. Lo jadi suami gak pengertian banget sih! Gak tahu apa nih istri cantik lo keberatan bawa koper?” kesal Lyra saat melihat Pandu yang nyelonong begitu saja ke arah pintu.
“Di dorong aja, apa susahnya sih, Ra!” dengus Pandu seraya melayangkan jitakkan di kepala Lyra yang sudah berdiri di sampingnya dengan bibir maju beberapa centi.
“Jadi suami kok gak ada manis-manisnya!” cibir Lyra sebal.
“Lo kira gue air mineral?!”
🍒🍒🍒
Lyra merasa ini adalah pagi terbaiknya, dimana saat ia bangun melihat wajah tampan Pandu yang tertidur di sebelahnya. Setelah mengelus lembut rambut hitam lebat milik Pandu, Lyra bangkit dari tidurnya dan langsung masuk ke dalam kamar mandi bersiap untuk sekolah. Setelah dirinya sudah lengkap dengan seragam sekolah, barulah Lyra membangunkan Pandu yang masih terlelap.
“Pandu bangun!” Lyra mengguncang pelan tubuh laki-laki yang menjabat sebagai suaminya.
“Lima menit lagi,” gumamnya parau khas orang mengantuk. Lyra menggelengkan kepalanya, merasa geli melihat cowok datar dan tegas saat di sekolah nyatanya susah di bangunkan.
“Udah jam tujuh, Pan!”
Pandu langsung membuka matanya dan bangkit dari tidurnya saat mendengar kata 'jam tujuh'. Bergegas lari ke kamar mandi dengan wajah panik. Lyra tertawa puas, karena berhasil mengerjai laki-laki tampan itu.
Setelah selesai merapikan tempat tidur, Lyra berlalu menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk dirinya dan juga Pandu. Sejujurnya ia tidak pandai memasak, namun hanya untuk membuat nasi goreng saja ia bisa, meskipun tidak seenak buatan sang mama.
Jam masih menunjukan pukul enam, wajah Pandu cemberut, menatap Lyra yang kini duduk di meja makan dengan tatapan tajamnya. Lyra tidak memperdulikan tatapan itu dan memilih menyunggingkan senyum manisnya.
“Gak usah cemberut, Pan. Mending makan.”
Tanpa berkata apa pun, Pandu duduk di kursi yang berhadapan dengan Lyra, menatap nasi goreng sosis juga telor ceplok yang barada di hadapannya, di tambah susu coklat yang merupakan kesukaan Pandu.
“Udah deh gak usah cemberut gitu, bukannya lo harus pulang ke rumah dulu buat ngambil buku sama ganti pakaian?”
Pandu diam sejenak, berusaha mengingat, sebelum kemudian mempercepat kunyahannya. Setelah nasi goreng itu habis ia lahap dan susu coklat yang tandas di minum, Pandu langsung berlari menuju lantai atas mengambil ponsel juga kunci mobil.
“Ra, lo berangkat bareng bus jemputan, ya, atau naik ojek biar cepat. Gue lupa kalau hari ini OSIS harus adain razia di depan gerbang. Lo gantiin gue dulu, selama gue belum datang.” Tanpa menunggu persetujuan Lyra, Pandu bergegas lari keluar.
Hanya helaan napas pasrah dan juga gelengan kepala yang Lyra lakukan melihat kepergian Pandu yang begitu cepat. Membereskan lebih dulu piring kotor bekas dirinua dan Pandu, lalu menyimpannya di wastafel. Setelah itu barulah, Lyra meraih tasnya yang ada di atas meja, memakai sepatunya lalu melangkah meninggalkan rumah, menaiki ojeg yang beberapa menit lalu ia pesan.
Sekolah masih sepi, dan Lyra benci berangkat terlalu pagi. Setelah meletakan tasnya di ruang OSIS, Lyra, Luna, Rara dan teman-teman OSIS lainnya yang sudah datang berjalan menuju gerbang sekolah yang di tutup setengahnya agar gerbang lebih sempit dan memudahkan mereka mencegat siswa-siswi yang akan masuk, memeriksa kelengkapan, juga merazia yang melanggar aturan.
Satu per satu siswa-siswi Kebaperan berdatangan, banyak yang lolos dari razia dan tidak sedikit juga yang tertangkap karena melanggar, mulai dari laki-laki yang rambutnya sudah kepanjangan, atribut yang tidak lengkap, seragam yang tidak rapi, sepatu yang warna-warni dan masih banyak lagi.
Lyra bertugas di depan gerbang bersama dua teman OSIS lainnya. Pandu yang beberapa menit lalu datang berada tidak jauh di belakangnya, bagian mencukur rambut siswa yang panjang, Rara sebagai sekertaris berdiri di samping Lyra untuk mencatat siswa-siswi yang melanggar.
“Selamat pagi Kak Rangga. Duh makin ganteng aja sih lo,” Lyra saat salah satu senior laki-lakinya berjalan mendekat dengan tampannya.
“Dek Lyra juga makin cantik aja, jadi pacar Kakak mau?” balas laki-laki bernama Rangga tersebut mengedipkan sebelah matanya genit.
“Duh terharu gue di tembak cogan Kebaperan di depan gerbang begini, bikin perempuan lain iri ...!" Lyra menampilkan wajah malu-malu, sebelum kembali memperhatikan kakak kelasnya itu. “Kak Rangga tersayang kok rambutnya udah panjang aja, sih? Gantengnya jadi kurang tuh, di potong dulu ya, biar tambah cakep dan Lyra jadi naksir,” lanjut Lyra seraya berjinjit untuk menyentuh rambut kecoklatan milik Rangga.
“Lo manis banget sih, Ra ngomongnya kalau mau razia gue.”
“Mau Lyra yang potongin, apa ketos nih yang potong?” tanya Lyra memberi penawaran, tanpa menjawab ucapan Rangga sebelumnya.
“Lo aja deh, gue males liat wajah datar dia,” ucap Rangga sambil menunjuk belakang dimana Pandu berdiri, tengah memotong rambut adik kelasnya. Yang dimaksud hanya mendelik acuh tanpa menimpali.
“Nunduk dong, gue kan gak nyampe.” Kata Lyra. Rangga menurut, dan Lyra sudah mulai memotong rambut Rangga sedikit demi sedikit, sampai kini rambut yang awalnya sedikit tebal menjadi tipis dan juga pendek. Jambul kebanggaannya pun tak lagi ada.
“Nyesal gue minta lo yang potong, Ra!” dengusnya kesal, sedangkan Lyra dan beberapa orang lain yang berada di sana tertawa, termasuk Bu Rini yang tak lain adalah guru BK.
Rangga pergi dengan cemberut, karena rambut indah yang menjadi kebanggaannya telah lenyap di tangan Lyra. Tak lama, Lyra menangkap kembali mangsanya, senyum kembali ia ukir dengan indah dan mencegat mangsa yang menggiurkan, sampai-sampai dirinya ingin sekali melempar orang itu ke tong sampah.
“Duh ini nih sohib gue udah cantik, atribut lengkap, seragam rapi, tapi kok sepatunya malah pekek warna ungu sih?”
“Yang hitam basah, Ra.” Lyra mengangguk paham.
“Mau lepas sendiri terus serahin ke Kak Boby, apa mau gue yang lepas tapi masuk tong sampah?”
Lyra memang seperti itu jika mau merazia. Jika orang lain mungkin akan bentak-bentak dan maksa, tapi berbeda dengan Lyra, gadis itu selalu menampilkan senyumnya, bukan wajah galak. Ucapannya manis dan selalu memberikan pilihan. Tipe-tipe polos, tapi menghanyutkan.
Devi berdecak kesal, namun segera melepaskan sepatunya dan menyerahkan pada Boby, kakak kelas sekaligus bagian perlengkapan di OSIS. Lyra tersenyum senang, lalu mempersilahkan sahabatnya itu untuk masuk. Tanpa memperdulikan wajah Devi yang memberenggut kesal.
“Ly-- Ly satu lagi noh target lo.” Rara yang memang berdiri di samping Lyra berbisik sambil menunjuk ke arah depan dengan dagunya.
Setelah melihat siapa yang di maksud Rara, Lyra sengaja bergeser dan berdiri di tengah-tengah gerbang yang terbuka, meminta kedua teman lainnya yang juga membantu merazia untuk mundur terlebih dulu. Kali ini bukan hanya satu tapi dua orang sekaligus dan ini mangsa terakhirnya, karena jam sudah menunjukan pukul 07:55, itu artinya gerbang akan di tutup lima menit lagi dan tugas razia pun selesai.
“Selamat pagi Lily cantik,” sapa Leo yang baru saja datang dengan tampannya, disebelahnya ada Dimas yang juga ikut menyapa, bukan hanya pada Lyra tapi juga pada Rara, Luna, Pandu, Boby juga Bu Rini yang masih berada di area gerbang.
“Pagi juga Lele, Dimas.” Jawab Lyra lembut.
“Lele rambutnya mau di potong sama Lily apa Pandu?” tanya Lyra masih dengan nada lembut. Leo cemberut, sedangkan Dimas tertawa puas.
“Dimas mau pakai celana yang sobek apa sarung?” kini giliran Dimas yang cemberut dan Leo menertawakan.
“Gue pilih pake celana ini aja ya, Ra,” Dimas memohon.
Lyra mengangguk, “Boleh, tapi di guntingnya sampai bagian paha ya?”
“Ra, rambut gue jangan di gunting ya? Nanti aja gue langsung ke salon, janji besok udah rapi.” Menawar. Itu yang selalu Leo dan Dimas lakukan saat keduanya kena razia.
“Salon mahal, Le. Mending sini sama gue aja, gratis.” Cepat, Leo menggeleng saat Lyra mengacungkan gunting yang ada di tangannya.
“Gue lebih baik di cukur sama Pandu aja, dari pada lo. Kapok gue!”
“Gue juga mending di potong sama Kak Boby aja dari pada lo, yang ada celana gue malah jadi rok nantinya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
aneh ya pandu gak suka lyra pdhl lyra kan asyik orangnya
2022-01-04
0
Ratna Kriwile
🤣🤣🤣
2021-08-11
0
Fitri Kitty
hahaaaa lucu lyra
2021-06-28
0