Menikah Muda
Berkali-kali Lyra menghela napas, menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan di atas meja, kemudian kembali mendongak dan menatap sekeliling yang masih terlihat sepi.
Bosan dengan posisi itu, gadis cantik berwajah bulat, bibir mungil dan hidung kecil mancung, serta mata belo di tumbuhi bulu mata lentik itu bangkit dari duduknya. Melangkahkan kaki keluar dari ruangan yang hanya berisikan kursi dan meja, juga papan tulis putih dan kembali duduk di kursi panjang depan kelas menatap ke bawah, dimana lapangan basket berada.
“Oy, ngapain lo duduk sendirian gitu? Jomlo ya?” tepukan pada bahu yang cukup keras membuat Lyra meringis dan juga terkejut. Ia menatap orang yang melakukan tindakan tersebut dengan tajam dan menusuk.
“Lo kalau nepuk bisa santai dikit gak sih?! Sakit ini pundak gue. Kalau jantung gue copot gimana coba, lo mau ganti?”
“Najis lebay." Devi, yang tak lain sahabat dekat Lyra memutar bola matanya. "Tumben lo pagi-pagi udah nongkrong disini aja, biasanya datang pas dekat-dekat bel masuk?" tanyanya dengan kening berkerut.
Lyra mendengus kesal lalu melipat kedua tangannya di dada. “Gara-gara Si Levin sialan tuh, jam di ponsel sama di kamar dia cepetin. Gue gak sadar kalau hari masih gelap, keburu panik waktu lihat jam udah nunjukin pukul setengah delapan."
“Haha, ma**us!” bulir di mata Devi jatuh saking puasnya dia tertawa, sedangkan Lyra semakin mendengus kesal, dan pergi sambil menghentak-hentakan kakinya kesal. Meninggalkan Devi yang masih juga belum menghentikan tawa. Berjalan melewati koridor yang belum terlalu ramai menuju kantin.
Setelah selesai memesan nasi goreng dan juga jus wortel kesukaannya, Lyra duduk seorang diri di bangku yang berada di tengah-tengah. Ia melirik kanan kiri, ada beberapa orang yang juga tengah menikmati sarapannya. Selama hampir dua tahun sekolah di SMA 2 KEBAPERAN baru pertama kalinya Lyra datang sepagi ini dan sarapan di kantin.
Devi yang menyusul langsung duduk di bangku yang berhadapan dengan Lyra. Menampilkan cengirannya, gadis cantik dengan pipi sedikit berisi, serta mata bulat dan hidung bangir itu langsung meneguk jus wortel yang belum sedikitpun Lyra cicipi.
“Jus gue!”
“Haus gue Ra, pelit amat lo!" balasnya lalu kembali meneguk minuman tersebut hingga tersisa setengahnya.
Lyra membulatkan matanya, kemudian berkata, “Udah, lo abisin aja deh sekalian, Dev.”
“Yakin, Ra?” Lyra mengangguk sebelum kembali menyuapkan nasi gorengnya hingga sarapannya itu habis, lalu kembali menatap Devi yang tengah menghabiskan minumannya.
“Sekalian lo yang bayar ya," lanjut Lyra dengan santai, lalu bangkit dari duduknya, meninggalkan Devi yang tersedak minumannya sendiri. Kaget saat mendengar kata ‘bayar’ yang di ucapkan sahabatnya itu.
“Sial deh gue!” desahnya, kemudian bangkit dan melangkahkan kaki menuju Bibi penjual, sebelum akhirnya berlari mengejar Lyra.
“Lo gak ikut rapat OSIS?” tanya Devi saat langkahnya sudah sejajar.
“Malas!” jawabnya singkat.
“Lo 'kan wakil ketua, masa gak ikut sih?”
“Wakil cuma buat gantikan kalau ketua gak ada. Di rapat ini kan ketuanya hadir, jadi buat apa gue ikutan kalau akhirnya cuma jadi pendengar?” Devi mengangguk mengerti.
Ketika masuk ke kelas, Lyra menghela napas lega saat di lihatnya kini sudah banyak orang yang mengisi bangku-bangku yang semula kosong. Ia bahagia karena itu artinya sebentar lagi bel akan segera berbunyi.
“Selamat pagi rakyat-rakyatku,” sapa Lyra dengan manis di depan papan tulis.
“Ogah banget gue jadi rakyat lo!” delik laki-laki jangkung bertubuh kurus dan rambut acak-acakan yang kini tengah duduk bergerombol bersama teman-temannya yang lain.
“Ya udah, silahkan lo keluar dari kelas ini.” Titah Lyra masih dengan menampilkan senyum manisnya.
“Iya, nanti gue keluar waktu jam istirahat.”
“Jangan balik ke sini lagi ya,”
“Kenawhy Baby?”
“Bukannya lo bilang sendiri gak mau jadi rakyat gue? Ya udah, pindah kelas sana!"
“Gue kan cuma becanda, Ra. Jahat amat lo jadi ketua kelas.”
“Bodo amat, Revan!” laki-laki bernama Revan itu terkekeh saat Lyra bergidik jijik dengan kedipan yang dilayangkannya.
Bel masuk sudah berbunyi, menandakan bahwa pelajaran pertama akan segera di mulai. Lyra duduk di bangkunya, bersampingan dengan Devi. Mengeluarkan buku ekonomi yang memang menjadi pelajaran jam pertama di hari selasa ini.
Pak Brian, selaku guru di pelajaran ini masuk dengan tampannya, membuat beberapa siswi yang mengidolakan senyum-senyum bahkan ada juga yang menjerit terpesona.
“Selamat pagi sayang-sayangnya Bapak,” sapanya sambil mengerlingkan sebelah mata menggoda.
“Selamat pagi juga Bapak ganteng.”
Itu jawaban dari siswa perempuan, kecuali, Lyra dan Devi karena setiap guru ekonomi itu masuk, murid laki-laki jarang menyapa balik beliau. Mereka merasa geli hanya mendengar sapaan guru genit tersebut.
Pelajar di mulai dengan semana mestinya, meskipun kebanyakan di isi dengan gombalan-gombalan dari guru kecakepan itu. Devi dan Lyra merasa bosan, dan ingin segera mengakhiri pelajaran hitung-hitungan laba, kredit, debit dan kawan-kawannya. Oke, ekonomi ini belajar menghitung nominal uang, tapi akan lebih menyenangkan jika uangnya itu ada 'kan? Bukan seperti ini, menghitung yang jelas-jelas uangnya entah punya siapa dan berada dimana. Lyra pusing dibuatnya. Mungkin bukan hanya Lyra, tapi juga hampir kebanyakan orang.
Lyra mengeluarkan ponsel dari dalam saku rok seragamnya, terdapat beberapa chat masuk dari beberapa grup, termasuk grup OSIS juga teman-temannya yang lain. Semuanya hampir menanyakan ke mana dirinya dan kenapa tidak mengikuti rapat. Bertambah sudah kebosanan Lyra pagi ini.
“Pak Bri, Lyra bosan. Boleh keluar aja gak?” Lyra menganggat sebelah tangannya sebelum bicara, memotong gurunya yang sedang menjelaskan di depan.
“Kok bosan sih? Harusnya kamu itu semangat, Ra, apa lagi di pelajaran saya.”
“Lyra pusing. Bapak ngajarin ngitung uang yang gak ada. Coba kalau uangnya nyata ada di depan mata, Lyra rela deh ngitung sampai malam suntuk.”
“Kalau gitu kamu jadi istri saya aja gimana?” kedipan genit kembali melayang dari guru muda itu, membuat Lyra bergidik ngeri juga jijik.
“Gak deh Pak. Lyra masih sayang keturunan.”
❄❄❄
Devi duduk di pinggir lapangan, meneguk air mineral dingin yang baru di belinya, sambil melihat Lyra yang tengah bermain volley bersama beberapa teman sekelasnya. Di jam ketiga dan keempat ini memang jadwalnya olahraga. Berhubung guru sedang mendampingi yang lomba, jadilah kelas XI IPS A ini bebas, asal berada di lapangan.
Bukan hanya Devi yang duduk di pinggiran lapangan, tapi juga banyak siswa-siswi lainnya menyaksikan permaian volley ini, dan akan bersorak jika yang didukung mencetak angka. Lyra menghampiri Devi seraya mengusap peluh yang keluar dari dahinya, merebut botol dari pegangan sahabatnya itu dan langsung meneguk hingga habis.
“Cape gila!” ucapnya dengan napas yang terengah.
“Ganti baju aja yuk, Ra, mumpung yang lain masih pada asik disini. Lima belas menit lagi juga bel istirahat kok.” Ajak Devi yang dengan cepat di angguki oleh Lyra.
Keduanya berjalan bersamaan, ditemani obrolan-obrolan ringan yang sesekali mengundang tawa. Di pertengahan jalan, Lyra melihat laki-laki tinggi yang tampan berjalan seorang diri dengan tumpukan buku di kedua tangannya. Lyra berlari meninggalkan Devi yang tengah bercerita. Tanpa mau memperdulikan teriakan kesal sahabatnya itu, Lyta terus berlari kecil menghampiri laki-laki yang baru saja masuk ke ruang guru, menunggu sosoknya kembali keluar sambil bersandar di sisi pintu.
“Hallo Bebebku, ke mana aja sih gak ada nyamperin dari pagi?” tanya Lyra dengan senyum manis di bibir mungilnya. Laki-laki yang baru keluar itu terlonjak kaget. Namun segera memperbaiki ekspresinya kembali menjadi datar.
“Lo yang ke mana aja, di tunggu rapat gak datang-datang!” satu dengusan kecil terdengar. Lyra terkekeh geli lalu berjalan mengikuti laki-laki tampan bertubuh atletis dengan kulit putih bersihnya yang mirip oppa-oppa korea itu.
“Kan lo ada, jadi wakil gak perlu lah hadir juga.”
“Iya, lo benar. Buat apa juga lo hadir kalau cuma buat ngerusuhin rapat gue." Cuek laki-laki itu sambil mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali.
“Gue bukan ngerusuh, tapi meramaikan suasana biar gak pada ngantuk dengar kicauan lo yang membosankan itu.” Lyra berbicara dengan santai, tidak perduli sang lawan bicara sudah kembali mengeluarkan dengusannya.
Lyra masuk ke dalam kelas, menghampiri Devi setelah selesai mengobrol sebentar bersama laki-laki bernama Pandu yang menjabat sebagai ketua OSIS. Tadi laki-laki tampan idola semua perempuan itu sempat mengatakan bahwa nanti sepulang sekolah akan ada lagi rapat, melanjutkan yang tadi pagi karena terganggu dengan bel masuknya pelajaran. Lyra tentu saja menanggapi dengan tidak perduli dan lebih memilih meninggalkan laki-laki itu.
Setelah selesai mengganti pakaian dan memperbaiki penampilan, Lyra juga Devi bergegas menuju kantin karena beberapa menit lalu bel istirahat sudah berbunyi, dan perut pun sudah berdisko minta di isi. Satu per satu sahabat Lyra dan Devi yang berbeda kelas datang menghampiri dan duduk di meja yang sama. Luna berada di kelas IPS C dan Amel satu-satunya yang berada di IPA. Bukan hanya karena kepintarannya, tapi karena tuntutan orang tua yang menginginkan anaknya itu menjadi seorang dokter nantinya.
“Ra, tadi pagi Si Pandu ngomel-ngomel waktu rapat, gara-gara lo gak datang,” adu Luna seraya menyuapkan bakso kemulutnya.
“Emang deh itu cowok, saking kangennya sama gue sampai kayak gitu. Heran gue, apa segitu cintanyakah dia sampai-sampai mesti gue ada di samping dia?” ketiga orang lainnya yang berada duduk semeja dengan Lyra berlaku seolah ingin muntah mendengar ucapan percaya diri sahabatnya itu.
“Emang tadi rapat ngomongin apaan, Lun?”
“Buat acara ulang tahun sekolah.” Lyra mengangguk kemudian menyuapkan sosis bakar yang di belinya dengan suapan besar hingga terlihat mulutnya begitu penuh.
“OSIS boleh tampil gak di acaranya nanti?” tanya Lyra lagi.
“Gak tahu, rapatnya kan belum selesai. Makanya nanti pulang sekolah lo ikut deh biar jelas.” Kembali Lyra mengangguk dan sekarang lebih semangat.
Dalam otak cerdasnya, Lyra sudah merencanakan ide-ide untuk menyusun acara ulang tahun sekolah nanti, sudah berencana juga untuk nanti ia menyumbang penampilan. Lyra bertekad dia harus tampil di atas panggung. Bibir mungil yang hanya di oles lipbalm itu tersenyum-senyum sendiri, membuat ketiga temannya bergidik ngeri.
“Kok minuman gue abis sih, siapa yang ngabisin?” teriak Lyra kesal saat baru sadar bahwa gelas yang semula berisi es teh manis itu, kini sudah kosong dan hanya menyisakan beberapa butir es batu.
“Makanya, lo jangan banyak ngelamun apalagi sambil senyum-senyum sendiri, gila kan akhirnya!” cibir Amel pedas.
Lyra memberenggut kesal, tangannya menopang dagu melihat ke tiga sahabatnya yang menikmati bakso yang masih tersisa dengan kuah yang merah dan kental. Lyra bergidik membayangkan perutnya yang akan sakit jika memakan makanan pedas tersebut. Meskipun ia merasa sedikit ngiler, karena ketiga temannya begitu menikmati makanan mereka masing-masing. Memang, di antara keempatnya hanya Lyra sendiri yang tidak menyukai pedas, bukan hanya tidak menyukai tapi juga sangat menghindari.
“Pandu!” teriak Lyra saat sosok tampan ketua OSIS-nya itu memasuki kantin bersama kedua teman lainnya, Leo dan Dimas.
“Hallo, Lily cantik,” sapa Leo sambil mengedipkan sebelah matanya genit.
“Juga Lele jelek,” balasnyanya dengan datar dan menggeser duduknya agar ketiga laki-laki itu duduk di bangku panjang yang dirinya duduki.
“Lo gitu ya sekarang, dulu aja waktu SMP, masih dekil-dekilnya lo ngejar-ngejar cinta gue!” dengus Leo.
“Itu kan dulu, Le. Salah siapa coba dulu lo nolak gue, nyesel kan sekarang akhirnya.”
“Di ulang lagi aja atuh, janji deh kali ini gue gak akan nolak lo kayak dulu,” ucap Leo duduk menyamping memandang langsung wajah Lyra dan kembali mengedipkan sebelah matanya.
Lyra membalas tatapan Leo dengan lembut, menggenggam tangan laki-laki tampan itu. Senyum manis, Lyra berikan membuat Leo tertular akan senyuman gadis cantik di depannya. Kelima orang di meja itu menatap dengan tak sabar, menunggu Lyra mengeluakan suaranya. Adapun beberapa murid lain yang kebetulan meja meraka berdekatan ikut fokus pada dua orang itu.
“Le, lo tahu kan dulu gue suka sama lo? Ngejar-ngejar cinta lo sampai gak tahu artinya lelah. Bahkan tanpa tahu malu, gue ngungkapin perasaan gue di depan orang banyak. Gue, yang dulu lo sebut si buruk rupa itu sekarang udah berubah. Lo bisa lihat 'kan betapa cantiknya gue sekarang?”
Leo mengangguk dan senyumnya semakin mengembang, tangannya masih di genggam Lyra, dan kini dadanya sudah berdebar dengan kencang. Semua orang yang menyaksikan menunggu dengan tak sabar, begitupun lima orang yang berada di meja yang sama, menunggu dengan harap-harap cemas juga penasaran.
“Dan disini, di depan banyak orang …,”
Leo menatap sekeliling yang sudah di penuhi siswa-siswi kebaperan mengelilingi mejanya. Leo semakin deg-degan, namun senyumnya tak juga luntur. Lyra masih menatap lembut mata laki-laki di depannya.
“Gue mau bilang ... kalau lo bukan lagi tipe gue."
Gelak tawa terdengar memenuhi kantin. Bahkan, Dimas yang duduk di sebelah Leo sampai memukul-mukul bahu sahabatnya itu, puas menertawakan wajah cengo Leo. Lyra meminum jus wortel yang beberapa menit lalu di pesannya dengan santai.
“Yang sabar ya, Bro.” Pandu menepuk pundak sahabatnya itu dua kali.
Luna, Devi dan Amel tertawa hingga mengeluarkan air mata, sedangkan Leo merasa harga dirinya jatuh, sejatuh-jatuhnya, juga malu karena hampir semua isi kantin menyaksikan. Ia menyesal terlalu mendalami peran yang niatnya tadi hanya untuk menjahili sahabat sejak oroknya itu, tapi malah berakhir dengan dia baper sendiri gara-gara tatapan lembut yang di berikan perempuan cantik berwajah bulat itu.
“Lily jahat banget sama gue, harga diri cowok tampan sejagat raya ini jatuh gara-gara lo,” ucap Leo mendramatisir dengan menampilkan wajah terlukanya yang sengaja ia buat semenyedihkan mungkin.
“Jijik Lele!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
diyull
ahhh bacaa untuk yg kedua kalinyaa di lapak bapak panduu.. baca ulang novel2 yg pernah aku baca pas awal download NT
2023-01-06
2
Imas Tuti
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2022-12-26
0
Suzieqaisara Nazarudin
Mampir thor🙋🙋🙋seru deh kayaknya...
2022-06-09
0