“Gimana, dok?” tanya Naura tak sabaran. “Saya benaran hamil, ‘kan?” lanjutnya.
Debaran di dadanya tak mampu dikendalikannya dengan baik saat menunggu final hasil tes dari proses inseminasinya.
Dua minggu yang lalu, setelah melakukan tes kehamilan sendiri di rumah, dokter Levi --yang menanganinya-- kembali menyarankan untuk datang dua minggu kemudian, guna melakukan tes darah yang lebih sensitif dalam mendeteksi hormon kehamilan setelah pembuahan. Apakah benar-benar hamil atau tidak.
“Ya. Anda hamil. Usia kandungannya tepat empat minggu.”
“Alhamdulillah. Ya, Allah. Terima kasih banyak.” Naura mengucap syukur. Akhirnya apa yang dikehendakinya terkabul juga. Meski tanpa suami, ia bisa hamil.
🍃Dear, My Baby🍃
“Selamat, Naura. Akhirnya keinginanmu tercapai juga.”
Neil memberikan selamat ketika sosok manis ini datang mengunjungi ruangannya setelah menemui dokter Levi tadi.
“Makasih, Kak Neil.”
Naura tersenyum semringah. Beringsut duduk di depan dokter muda ini, sambil tiada henti mengelus perutnya yang kini telah benar-benar terisi janin.
Ya Allah, gue tak percaya, gue benaran hamil ...
Gue hamil ....
Semuanya, gue hamil ....
“Sebentar lagi kau akan punya Baby, dan menjadi ibu yang sesungguhnya.” Suara bass Neil sedikit mengurangi euforia yang dirasakan sosok manis ini.
“Yup!”
“Gimana perasaanmu?” tanya Neil beranjak dari duduknya, mengambil map besar di dalam almari di belakangnya. Sudut bibirnya tersungging senyuman menawan kala melihat sosok manis tetangganya ini tampak begitu bahagia.
“Lega dan bahagia, Kak.”
“Syukurlah, Kakak senang mendengarnya.”
“Jujur, Kak. Sampai detik ini, Naura masih berasa mimpi.”
“Oya?”
“Iya. Gak nyangka saja Naura bisa hamil, meski tak menikah dan punya suami. He he he.”
Naura memandang lekat punggung belakang Neil yang sibuk membuka-buka map di tangannya.
“Sama, Kakak juga begitu.” Neil memutar tubuhnya dan duduk kembali.
“Tapi, Naura ...,” lanjutnya.
“Ya?”
Neil menghela napas pendek. Melepas kacamatanya. Dengan sebelah tangan menopang rahangnya, ditatapnya begitu lekat sosok cantik tetangganya ini.
“Kakak sarankan. Andaikan dalam waktu dekat ada orang yang benar-benar serius padamu, jangan kamu tolak ya.”
Naura terdiam.
“Dengan menikah akan lebih baik lagi,” tambah Neil hati-hati.
Naura tetap diam. Dia tertunduk sambil memilin-milin jarinya. Untuk saat ini dia belum memikirkan untuk menikah dengan siapa pun. Masa lalunya yang pahit, masih kuat membekas dalam pikirannya.
Jadi, tolong biarkan dia membesarkan bayi dalam perutnya ini sendirian, tanpa terikat pernikahan dan suami di sisinya.
Baik-baik ya Sayang kamu di sini. Mommy janji, akan menjagamu dengan segenap jiwa raga, meski tanpa siapa pun yang menemani kita, batin Naura mengelus sayang perutnya.
Rasanya sosok manis ini ingin melompati waktu ke sembilan bulan kemudian. Tak sabar menimang bayi lucu dan mungil dalam dekapannya. Mendengar detak jantung lemahnya. Mendengar tangisan bayi yang menghiasi hari-harinya.
Wow. Naura rasa itu amazing. Ah, sosok manis ini jadi tak sabar ingin segera menyandang status Mommy muda.
Nanti wajahnya seperti apa ya? He he he ....
Mungkinkah mirip Song Joong-ki?
Atau mirip Lee Minho?
Atau mirip ....
“Naura?”
“Eh? Ya? He he he.” Naura menggaruk kepalanya. Sedikit malu ketahuan tenggelam dengan dunianya sendiri. Tak menyadari bahwa dirinya masih berada di ruangan Neil.
“Kenapa, Kak?”
“Jaga kandunganmu baik-baik.”
“Siap, bos.”
“Bila terjadi apa-apa padamu, dan kandunganmu, segera hubungin Kakak, oke!” ujar Neil penuh harap.
Mengingat sosok manis ini hidup sebatang kara di kota metropolitan ini, selain dia, siapa lagi yang akan peduli dan memperhatikan sosok manis ini.
“Oke.”
“Sekali pun itu tengah malam, jangan sungkan untuk menelepon Kakak, oke.”
“Oke. Akan Naura ingat itu.”
“Setelah hamil, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?” tanya Neil ingin tahu.
“Maksudnya?”
“Kamu masih bekerja, ‘kan?”
“Iya.”
“Sekarang kamu hamil. Yaaa, maksud Kakak, tubuhmu tidak akan seperti itu-itu terus. Kamu mengerti, ‘kan, maksud Kakak.”
🍃Dear, My Baby🍃
“Lo benaran mau menikah?” tanya Irene memastikan.
“Iya,” jawab Naura sedikit berbohong sembari menggigit bibirnya. Menekan perasaan bersalah.
Pagi ini, berita dia mengundurkan diri dari perusahaan telah menyebar luas ke seluruh perusahaan.
Setelah sampai di rumah, sepulangnya dari rumah sakit kemarin. Naura terus memikirkan ucapan Neil. Benar yang dikatakan pria bermata sipit tetangganya ini. Tak mungkin dia terus-terusan bekerja dengan kondisi berbadan dua begini.
Lambat laun perutnya akan membesar. Semua orang akan curiga padanya. Nyatanya dia memang hamil di luar nikah. Namun, bukan karena seks bebas. Untuk menghindari hal tersebut, menjadi gunjingan bahan gosip di kantor, lebih baik dia resign dari perusahaan yang telah menaunginya selama lima tahun ini.
“Gue pikir waktu itu lo hanya main-main saja,” seru Irene tak percaya.
Saat tahu gosip Naura akan mengakhiri masa lajangnya beredar luas, segera saja gadis ini menodong Naura dan membawanya ke kantin untuk ditanyai macam-macam. Kalau di ruangan mereka, terlalu banyak orang, jadi tak nyaman untuk nanya ini itu pada sosok manis ini.
“He he he. Enggak, gue serius.”
“Siapa calon lo itu? Apa gue juga mengenalnya?” tanya Irene ingin tahu.
Naura menggelengkan kepala. “Gak, lo gak kenal sama dia.”
“Kalau yang lain?”
“Sama. Tak ada satu pun teman kantor yang kenal sama dia.”
Iyalah, gak bakalan tahu sampai kapan pun. Sebab itu hanya fiktif, gak nyata, batin Naura sambil meminum air di botol minuman yang sengaja dibawanya dari rumah. Biar higienis, dan Baby-nya tetap sehat selalu.
“Kasih tahu dong, siapa calon lo itu ke gue.”
“Buat apa?” Naura meletakkan kembali botol minumannya ke atas meja. “Atau lo itu mau jadi pelakor gue ya,” goda Naura sambil terkikik.
“Ih, gak-lah.” Irene menyenggol lengan sosok manis ini.
“Amit-amit jabang perusahaan, gue nggak akan ngelakuin hal begituan.”
“Cabang, bukan jabang, Cici Irene.”
“Iya itu maksud gue. He he he.”
“He he he.”
“Serius. Gue penasaran sama calon lo itu,” lanjut Irene.
“Hm.”
“Selama ini lo gak pernah dekat sama siapa pun. Tahu-tahunya sudah main pengumuman nikah saja. Nyalip gue lagi. Haduh. Gue gak terima dibeginiin.”
Irene mengembuskan napas. Berpura-pura tampak frustasi.
“Maaf,” ujar Naura setulus hati. Maaf karena telah membohongi semuanya.
“Gak apa-apa. Gak usah ditanggapin serius. Becanda gue.”
“He he he.”
“Beneran, lo gak mau kasih tahu siapa doi?”
"Maaf."
"Minimal sama gue saja, ya, ya, ya."
“Gue benar-benar minta maaf. Gue sudah janji sama dia buat merahasia-in identitas dia ke siapa pun."
"Oya?"
"Iya. Calon gue itu orangnya tertutup banget. Banget. Bangeeet malah.”
"Segitunya?"
"Iy-yaaa, jadi maaf banget ya." Naura menangkup ke dua tangannya dengan wajah memelas.
Please, jangan desak gue terus, batin Naura menjerit.
Sosok manis ini menggigit bibirnya, tak enak hati. Naura Berharap semoga Irene tidak mendesaknya untuk terus bercerita, agar tak banyak kebohongan yang terus keluar dari belah bibirnya. Dia sangat takut, andai terbongkar kebohongannya. Dia bisa malu tujuh turunan.
“Jadi beneran gak mau kasih bocoran dikiiit saja tentang si doi?”
“Ya," jawa Naura tegas. "Gue gak mau dia jadi gak nyaman kalau gue kenalin sama kalian semua. Maaf, ya.”
“Oke. Terus, gak ada niatan mau ngundang gitu?”
“Maaf,” jawab Naura untuk kesekian kalinya.
“Huft." Irene menarik napas dalam, dia menyerah untuk tidak mendesak sosok manis ini lagi. "Ya sudah. Semoga lo bahagia sama si doi.”
Akhirnya, Naura mengembuskan napas lega.
“Amin.”
🍃Dear, My Baby🍃
“Haaah ... bosan juga jadi pengangguran begini,” gumam Naura, duduk santai di teras belakang rumah, menikmati angin sepoi-sepoi di pagi hari.
Sedikit kelelahan sosok manis ini setelah menjemur pakaiannya yang menggunung, empat hari tak dicuci-cucinya.
“Haaah, bosan woy,” teriak sosok manis ini lagi, entah pada siapa. Mungkin pada angin yang berembus tenang saat ini.
Sudah seminggu Naura resign dari perusahaan. Dia mulai belingsatan hanya diam saja di rumah, tanpa melakukan aktifitas seperti pegawai perusahaan pada umumnya. Biasanya pada jam-jam segini, dia telah duduk cantik di depan komputer. Mengetik surat-surat dari perintah atasan. Atau apalah. Yang pasti akan membuatnya sibuk seharian penuh.
“Apa yang mesti gue lakuin sekarang?”
Naura mengetuk dagu. Berpikir.
“Oh, iya juga ya.”
Sosok manis ini beranjak dari kursi. Segera masuk, bergegas meraih smartphone di kamarnya, mengecek ada berapa sisa tabungannya.
“Astagfirullah.”
Naura melotot ketika melihat saldo di rekening tabungannya melalui aplikasi perbankan, tinggal beberapa lagi. Hanya cukup untuk keperluan bulan ini saja.
Naura lupa bila tabungannya banyak terkuras habis untuk biaya proses inseminasinya. Beruntung saja dia dibantu oleh orang tak dikenal. Kalau tidak, mungkin saja dia akan berhutang buat melunasin sisa program inseminasinya.
“Gue harus cari kerja lagi.”
“Gue gak bisa diam saja begini.”
“Mau makan apa gue sama calon bayi gue nantinya,”
Naura bermonolog sendiri sambil mondar-mandir bak setrika listrik. Sosok manis ini meletakkan smartphone kesayangannya ke atas tempat tidur. Kemudian meraih laptop di atas nakas. Kembali dia tidur-tiduran sembari browsing internet.
“Tenang saja, Baby. Mommy akan berusaha. Mommy takkan membiarkan kamu kelaparan,” ucap Naura kembali bermonolog sendiri seraya mengelus perutnya.
Jari-jari lentik Naura mulai menari di atas keyboard, mengetikkan sesuatu di browser pencarian, dengan kata kunci, ‘lowongan pekerjaan’.
Ada puluhan lowongan pekerjaan yang terbuka. Naura mulai membuka satu persatu. Mencari yang benar-benar cocok sesuai keahliannya, juga nyaman untuknya dan calon bayinya kelak.
Setelah menjelajahi beberapa laman, akhirnya Naura menemukan satu loker yang sepertinya cocok untuknya.
“Benaran ini?”
Sosok manis ini membelalak tak percaya. Seakan mimpi menjadi nyata. Dia punya peluang pergi ke Korea. Ke pulau Jeju. Ada perusahaan Indonesia yang bergerak di bidang mie beroperasi di pulau Jeju, sedang membuka lowongan pekerjaan di divisi umum.
“Gotcha! Gue dapat solusinya.”
Binar-binar bahagia menghiasi wajah manis Naura. Pulau Jeju. Solusi yang tepat untuk masalahnya kali ini. Dia bisa menghindari gosip-gosip di sekitarnya, juga dengan aman menjaga kandungannya serta membesarkan bayinya sendirian.
Ya. Naura berniat untuk menetap selamanya di pulau Jeju, demi dia dan bayinya di masa depan.
“Baby,” seru Naura mengelus perutnya. “Kita menemukan tempat yang cocok untuk kita berdua. Kita pergi ke pulau Jeju. Yey! (≧∇≦)b”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Nasri Srhy
kenapa selalu pakai kata sosok manis,,mending pake namanya langsung naura,,maaf ya thor 🙏🙏🙏
2022-02-14
1
Christie van Hollanda
Jadi perempuan kok gak mikir panjang sih apa cuma ada di dunia halu doang yg kyk gini? kerja cuma sbg karyawan biasa, gaji tak seberapa, hidup pas2an sendirian di Jkt, eh pingin hamil tanpa suami. udh gitu resign pula dr tempat kerjanya. emangnya punya anak itu spt main boneka yg gak perlu dikasih makan, beli susu aja brp duit itu woy, blm lg biaya utk sekolahnya, halaaahhhh.... trus cari kerjaan lg, emangnya gampang cari kerja skrg ini, emang ada perusahaan yg mau nerima perempuan hamil (tanpa suami pula) yg berpendidikan gak tinggi2 amat dan berpengalaman kerja cuma bbrp thn? nanti baru bbrp bln kerja berhenti lg atau minta cuti hamil dan melahirkan, trus kalo dia udh kerja lg siapa yg ngurus babynya, baby sitter stau ART mahal skrg ini..... hadehhhh haluuuuu nya kelewatan!
2021-05-27
0
Nhanie Anindita 💗
Thor nya suka nntn korea,kita sama kakak
2021-05-11
1