“Daniel, kamu mau apa?” pekik Kathryn, panik, ketika mendapati Daniel mendekatinya saat ia tertidur di sofa ruang tengah.
Gurat wajah Daniel gelap, seperti tertutup bayang-bayang dendam masa lalu yang tak pernah selesai. “Gue cuma minta hak gue sebagai suami lo, Nona Kathryn. Ini malam pertama kita, bukan? Harusnya kita lakukan apa yang dilakukan pasangan suami istri.”
Dengan langkah berat namun mantap, Daniel mendekat, kini sudah menindih tubuh Kathryn yang masih dalam balutan piyama tipis. Napas Kathryn tercekat. Suaranya bergetar saat ia berkata, “Hentikan, Daniel… Kita sudah membuat janji sebelumnya. Kamu tidak bisa melanggar itu begitu saja…”
Daniel mendesah kasar. “Janji? Lo yang buat, bukan gue. Gue bahkan udah lupa isinya.”
Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Kathryn, hidung mereka hanya berjarak beberapa senti—lalu bersentuhan. Degup jantung Kathryn yang begitu keras membuat Daniel terdiam sejenak. Ia bisa merasakannya. Kathryn menutup matanya, pasrah. Tapi detik berikutnya, Daniel hanya mengecup bibir Kathryn perlahan, kemudian bangkit.
“Udah, bangun. Lo tidur di kasur, gue di sini,” katanya sambil mengibaskan selimut dan merebahkan diri di sofa.
Kathryn masih tertegun, berdiri mematung. Pikirannya kusut. Jantungnya belum juga tenang. Dan di tengah kekacauan batin itu, satu nama kembali datang menghantui pikirannya: James.
Bola matanya kembali berkaca-kaca. Kenangan lama yang menyakitkan seolah dipanggil paksa kembali ke permukaan. “Ngapain lo masih di situ? Atau lo mau tidur bareng gue?” tanya Daniel tiba-tiba, dengan nada mengejek.
“Ah, tidak! Saya… saya akan tidur,” jawab Kathryn buru-buru, lalu berjalan menuju kamar dengan napas berat dan langkah tak tentu arah.
Pukul sembilan pagi. Alarm dari atas meja berdering keras, membangunkan Kathryn yang masih terlelap. Ia mengerjap pelan, tubuhnya masih malas bergerak. Namun saat ia sadar bahwa ada tangan yang melingkar di pinggangnya, jantungnya kembali berdegup kencang. Ia menoleh—dan terkejut setengah mati melihat Daniel tertidur di sampingnya, memeluknya dari belakang.
Sebelum sempat ia berteriak, Daniel membekap mulutnya. “Ssst, diem. Di luar ada Nyokap sama Bokap gue. Lo nggak mau mereka tahu soal sandiwara kita, kan?”
Kathryn menepis tangannya. “Apa? Sepagi ini? Tapi… kamu nggak perlu melakukan ini. Mereka nggak bakal masuk ke kamar, Daniel!”
“Nyokap gue bisa masuk kapan aja. Lo mau dia lihat kita tidur pisah ranjang?”
Kathryn melotot. “Atau ini cuma alasan kamu aja? Kamu emang niat dari awal mau—”
Daniel tertawa kecil. “Kalau gue niat, dari semalam lo udah gue habisin. Tapi lo nggak tahu… Detak jantung lo semalam kayak mau copot. Bikin gue takut. Gue juga sukanya malam, bukan pagi. Lagi pula, gue bukan tipe pemaksa.”
Ia mengedipkan matanya dengan gaya usil, membuat Kathryn ingin melempar bantal ke wajahnya.
“Terserah kamu sajalah. Kamu memang bukan tipe yang gampang mengalah. Aku akan menemui Ayah dan Ibu di luar.”
“Woy!” panggil Daniel. “Lo mau mereka curiga karena kita keluar kamar nggak bareng?”
Ia memeluk Kathryn dari belakang dan menggiringnya menuju ruang tamu. Kathryn menggeliat, mencoba melepaskan diri.
“Singkirkan tanganmu!”
“Nggak,” jawab Daniel, lalu membuka pintu. “Ma, Pa, morning!”
“Selamat pagi juga,” sahut Ibu Matelda ramah. “Maaf ya, Mama sama Papa ganggu tidur kalian.”
“Oh, tidak apa-apa, Ibu. Malah kami senang Ibu datang. Yah, kan sayang?” jawab Kathryn cepat, menatap Daniel dengan senyum terpaksa. Kepura-puraan ini melelahkan, namun ia tahu ia tak punya pilihan lain.
“Ibu senang mendengarnya. Kau beruntung, Daniel. Kathryn wanita baik,” puji Ibu Matelda.
“Iya, benar,” sambung ayahnya, sambil tersenyum hangat. “Dan, Mama sama Papa ingin... eh, mungkin ini terdengar mendadak, tapi kami ingin segera menggendong cucu dari kalian.”
“Apa?!” Kathryn dan Daniel berseru bersamaan, terkejut bukan main.
“Jadi, Ayah dan Ibu ke sini cuma buat itu?” tanya Daniel tak percaya.
“Bukan hanya itu, tentu saja,” ujar Ibu Matelda ceria. “Kami bawa hadiah. Tiket bulan madu ke Manila!”
Ia meletakkan dua tiket pesawat di meja. Kathryn menatapnya, bibirnya mulai bergetar.
“Kalian nggak boleh nolak. Ini kesepakatan Mama sama Papa dengan Mama Jacintha dan Papa Theodore.”
“Bulan madunya di sini aja, yah. Nggak perlu jauh-jauh,” sahut Daniel, menolak dengan cepat.
“Saya setuju, Ayah. Ibu,” potong Kathryn cepat sebelum Daniel sempat protes lagi.
“Tapi—”
“Shh…” Kathryn menempelkan telunjuk ke bibir Daniel. “Sayang, kita harus menghargai kebaikan mereka. Lagipula, melihat suasana baru juga penting, bukan?”
Daniel mendengus. “Terserah…”
“Terima kasih ya, kalian sudah menghargai pemberian Mama sama Papa. Kalau begitu, kami pamit pulang dulu. Selamat menikmati perjalanan besok!” ujar Ibu Matelda sambil mengecup pipi mereka bergantian.
Setelah pintu tertutup, Kathryn langsung mengembuskan napas panjang. “Huhhhh… akhirnya, lega juga.”
Namun Daniel berdiri menatapnya penuh kemarahan. “Apa-apaan lo setuju gitu aja? Lo tahu nggak, gue benci banget sama Manila!”
Kathryn mengangkat alis. “Lalu, apa hubungannya sama saya? Itu urusan kamu, Tuan Daniel.”
Ia mengambil tiket dan melangkah ke kamarnya. Daniel mendengus.
“Cewek itu nyebelin banget! Dia bikin keputusan sepihak. Lo liat aja nanti, di Manila gue bakal bikin lo nyesel udah sok-sokan ambil alih semuanya,” gumam Daniel, meradang.
Sore itu, Kathryn tengah sibuk memasukkan barang ke koper. “Koper, tas make-up… semoga nggak ada yang tertinggal,” gumamnya pelan.
“Wah, semangat banget kayaknya. Hatinya udah di Manila, cuma raganya aja yang masih di sini. Dan gue yakin, James adalah alasan lo,” suara Daniel menyentak Kathryn dari lamunan.
Kathryn terlonjak. “Kamu! Sejak kapan kamu di situ? Dan kenapa kamu terus bawa-bawa nama James? Kamu kenal dia?”
“Perlu banget gue jawab? Tadi aja lo mutusin tanpa persetujuan gue. Sekarang nanya balik?” sahut Daniel sinis.
Ia berjalan menuju dapur, mengambil gelas dan meneguk air. Tapi belum sempat menelan, Kathryn datang dan memukul bahunya.
“Uhuk! Lo mau bunuh gue, hah?” Daniel batuk.
“Maaf…” kata Kathryn, hampir berbisik.
“Lo mau nanya tentang James lagi?”
“Tidak,” jawab Kathryn cepat. “Aku cuma… ingin tahu. Mengapa kamu begitu membenci Manila?”
Daniel terdiam beberapa detik. “Kenapa lo tiba-tiba nanyain itu? Kita nggak seakrab itu, kan?”
“Aku cuma ingin tahu. Kadang, berbagi cerita bisa meringankan beban,” ujar Kathryn pelan.
“Tapi bukannya lo sendiri yang bilang kita nggak perlu saling mengenal? Itu syarat lo waktu itu, kan?”
“Iya, tapi…”
“Udah, tidur aja. Besok lo bakalan tahu semuanya di Manila. Siapin tenaga lo buat ketemu mantan lo itu, yang masih jadi harapan hati lo.”
Daniel berbalik, meninggalkan Kathryn dalam diam.
Malam menjelang. Kathryn sudah terbaring di atas ranjang, tapi matanya tak kunjung terpejam. Kata-kata Daniel siang tadi berputar-putar dalam benaknya. Ia benci mengakuinya, tapi pria menyebalkan itu selalu punya cara untuk membuat jantungnya berdebar—bukan karena cinta, tapi karena kekesalan yang memuncak.
Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda. Kathryn menyadari, meski ia telah meninggalkan Manila bertahun-tahun lalu, hatinya rupanya masih tertinggal di sana. Dan kini, ia harus kembali. Bersama pria yang bukan ia pilih, tapi telah ditakdirkan menjadi suaminya.
BERSAMBUNG....
Tunggu keseruan lanjutan dari part 5
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
🌷 ‘only_@g’🌷
aku mampir baru sampai disini 😁🤭 nanti dilanjut lagi say 😍
2021-05-28
0