Agustus, 2017
Suara dentingan tali pinggang Calvin Klein terdengar mengenai lantai marmer. Tubuhku yang masih dibalut pakaian pun harus berpuas diri melihat keterlanjangan William yang membuatku tiada henti berdecak kagum padahal kami telah melakukan itu puluhan kali. Laki-laki itu tersenyum nakal padaku sambil menarik telapak kakiku hingga aku jatuh tepat dihadapannya. Ia menanggalkan pakaianku dengan terburu-buru
Aku tidak tinggal diam dengan membantu William menanggalkan pakaianku. Kedua mata William menyala penuh gairah. Dia membaringkanku di kasur berukuran king size kami kemudian menciumku dengan dalam. Tangan-tangannya meremas payudaraku. Aku memejamkan kedua mataku saat William menyingkirkan rambut
hitamku kemudian menanamkan ciuman di lekukan leherku. Suaranya membuatku semakin bergairah. Oh! Aku benar-benar harus menahan diriku agar tidak memohon kepada William, seperti yang selalu kulakukan selama ini. Aku ingin William yang memohon padaku kali ini, tetapi rasanya sangat sulit sekali. Gelombang gairah membuatku hampir terkulai lemas. I need him now!
"Liam....please?"
"No...not yet,Kat. Not now,"
William bermain-main di kakiku sekarang kemudian semakin menanjak naik ke pahaku lalu kedua matanya semakin menyala melihat daerah kewanitaanku. Tangannya mengelus daerah kewanitaanku dengan gerakan menggoda, membuat pipiku memerah. Aku harus mengigit bibirku sambil memejamkan mataku untuk menahan diriku namun siksaan ini membuatku seperti ingin mati saja. Aku benar-benar ingin William memasukiku tetapi dia terlihat senang bermain-main dengan tubuhku. Oh tidak! Tak sadar aku meneteskan air mataku.
"No.. Don't cry. I'll in. Okay?"
William mengelus pipiku. Tangan besarnya terasa hampir menenggelamkan pipiku. Aku harus mengontrol raut wajahku saat kedua pasang mata kami beradu. William menatapku dengan sorot gairah yang kupikir akan membeludak. Dia memberiku satu ciuman dalam sebelum memasukiku. Kami terlibat dalam percintaan yang panas setelah itu. Aku harus menahan tanganku untuk tidak memeluk William setelah sesi percintaan
kami sementara itu ia berbaring telentang menatap langit-langit kamar
"Kemajuan pesat. You are better than you were two years ago," puji William sambil mengedipkan mata padaku. Aku merona
"Jangan berlebihan. Aku tidak semakin maju, but you are,"
William terkekeh mendengar perkataanku. Dia berguling mendekatiku kemudian mencium bibirku ringan. Aku harus menjauhkan kepalaku karena keterkejutan dengan ciuman dadakkan William sementara itu William mengacak rambutku sambil memelukku
"Menurutmu apakah Camilla sudah pantas menjadi seorang kakak?" tanya William dengan kedua mata yang tidak lepas dari tubuhku yang masih naked. Adik?! Huh! Aku langsung menarik selimut untuk menutupi badanku tetapi William menahan tanganku. Laki-laki itu menundukkan kepalanya mengecup bahuku dengan gemas. Aku memukul ringan bahunya
"Stop it,Liam!"
"Bisakah kita melanjutnya? Please?"
"Tidak! Camilla akan segera bangun. Aku harus membuatkannya susu."
William mengangguk mengerti kemudian memberi jarak di antara kami. Sudut mataku menangkap tatapan William yang masih bergairah padaku saat aku bangkit mengutip pakaian kami yang berserakkan serta memakai pakaianku kembali namun aku berusaha untuk mengabaikannya
"Kamu benar-benar ngga mau melanjutkan ini? Camilla belum bangun. Kupikir ini juga merupakan waktu yang tepat memberikan dia adik kecil,"
William mencoba membujukku namun aku menggelengkan kepalaku dengan tegas
Adik kecil? Apakah William sudah gila? Maksudku, keberadaan Camilla saja sudah membuatku sedih, apalagi jika kami menambah satu anak lagi. Tidak. Aku sama sekali tidak menyesali kelahiran Camilla atau membencinya tetapi
memikirkan akan ada sosok Camilla yang lain dalam hidupku membuatku tidak mampu menyangkali perasaan sedihku. Aku tidak mau memberikan kehidupan yang aneh pada anak anakku. William tidak mencintaiku. Kupikir, dia juga hanya menganggap Camilla dan anak-anak kami selanjutnya sebagai suatu simbol saja. Dia tidak benar-benar menyayangi anak kami ataupun aku
Aku menggelengkan kepalaku sekali lagi
"Tidak."
"Ayolah. Just hurry session. Lima belas menit saja, oke?"
William telah berdiri dihadapanku dengan keterlanjangannya. Kedua mataku mulai memperhatikan penampilan William dengan rambut acak-acakan akibat perbuatanku serta bibirnya yang sedikit membengkak. Tunggu. Apa yang sudah kulakukan kepada sahabat dan… suamiku?
"Kubilang tidak,Liam. Camilla akan menangis jika aku tidak berada di sisinya begitu dia bangun."
"Should I need to pressure you?"
Dasar keras kepala!
Aku harus tetap berdiri pada pendirianku dengan mendorong William tetapi William membaringkanku di kasur dalam sekejab mata. Pada detik berikutnya aku telah berada di bawah kurungan lengan kekar William. Laki-laki
itu mencium bibirku lagi. Ia benar benar tidak memberiku celah untuk kabur
William baru akan menanggalkan pakaianku lagi saat kami mendengar tangisan Camilla. Aku mendorong William kemudian bergegas membenarkan pakaianku sebelum akhirnya menyusul ke kamar Camilla. Aku tahu aku kejam namun Camilla adalah harta paling berhargaku saat ini. Aku tidak dapat mengorbankan tangis Camilla demi kepuasan diriku sendiri, apalagi jika itu berkaitan dengan William.
"Kamu kejam,Kat." Bisik William . Rupanya ia menyusuliku. Tangannya mengelus pipi tembem Camilla yang memerah karena tangis dalam gendonganku Aku melirik sejenak William yang telah memakai celananya sambil mengangkat bahuku acuh
"Aku sudah memperingatimu."
"You'll pay this tomorrow night."
Jantungku berdebar mendengar rencana William untuk bercinta denganku lagi besok malam tetapi aku tetap harus mengontrol raut wajahku sebaik mungkin dihadapan William. Aku berusaha untuk tidak terdengar terkejut. William menyusuliku menuruni anak tangga
"Memangnya mau ke mana kamu malam ini?" tanyaku. Aku berusaha kelihatan tidak peduli. Semoga saja berhasil
William mencium pipi Camilla gemas ketika aku sedang menyeduhkan susu Camilla.
"Tempat Julis," jawab William ringan
Sebelah alisku terangkat. Julis? Julis di Youth Club itu?
"Benar. Kalian pernah bertemu di Youth Club dulu." sambung William menjawab kebingungganku meski aku tidak menyuarakan pertanyaanku. Ini tidak adil. William begitu pandai membacaku sementara aku tidak pandai membaca William sama sekali, apalagi setelah pernikahan kami yang terjadi dua tahun lalu. Aku tidak tahu mengapa aku menerima proposalnya. Mungkin aku juga sama bodoh dan gilanya. Aku tidak tahu apa yang membuatku seberani itu. Mungkin aku merasa kasihan padanya atau takut ia jatuh ke dalam pelukan wanita tidak baik disana? Entahlah. Yang jelas persahabatan diantara kami tidak semurni itu lagi. Kami melakukan hubungan seksual bahkan memiliki anak bersama, tetapi kami, maksudku William, tidak mencintaiku
Aku tidak munafik. Aku akui aku rupanya masih mencintainya pada detik William menciumku di Youth Club dua tahun lalu. Jantungku berdebar-debar setiap kali memikirkan itu. Niatan untuk membantunya recovery malah membuatku jatuh semakin dalam atas dirinya. Pesonanya membuatku tergila-gila.
Well, aku tahu ini berbahaya. Pernikahan kami juga tidak ada tujuannya. Aku juga tidak tahu mengapa William menikahiku hingga detik ini. Kendati demikian aku ingin mengusahakan yang terbaik atas pernikahan ini. Aku
ingin membuatnya merasakan ini adalah ‘rumah’ yang sebenarnya meski aku tahu William tidak merasakan hal yang sama
"Apakah dia salah satu dari partnermu?"
"Right. Kami akan menghabiskan malam bersama,"
Aku tersenyum getir. Beruntung posisiku sedang membelakangi William sehingga aku tidak perlu memaksa diriku agar mengontrol raut wajahku saat ini. Sebagai sahabat, aku akan terus mengerti keinginan William yang telah mendarah daging sejak William putus dari Yuriska, tetapi jika semakin dipikir-pikir, apakah William tidak puas melakukan hubungan itu denganku sehingga masih sibuk mencari pelampiasan di tempat lain? Atau mungkin dia sengaja melakukannya agar aku mengajukan cerai dengannya? Entahlah. Semua ini seperti misteri
"Well, aku tidak menyangka kalian berhubungan cukup lama. So I guess she is better than me?" tanyaku sambil memberi Camilla minum susu. Aku berjalan melewatinya menuju ke lantai dua. Kuharap raut wajahku tidak berlebihan
"Actually, yes,"
Sialan.
"Good. Atur pertemuan kami. Kupikir aku akan belajar banyak dengannya,"
William terkekeh dengan reaksiku. Dia merangkulku sambil mencuri cium di bibirku. Oh! Tak sadar aku memejamkan mataku. Aku harus menahan diriku agar tidak berteriak pada William mengingat ada Camilla dalam gendonganku. Jika William terus menerus menciumku seperti ini maka aku akan mulai terbiasa. Ini berbahaya. Aku tidak boleh terlalu terbiasa atas hal ini
"Dia tahu semua tentangmu."
"Maksudmu?"
"Tentang hubungan kita."
Sebelah alisku terangkat. Aku tertarik dengan arah pembicaraan kami tetapi aku harus membaringkan Camilla di boks bayi terlebih dahulu sebelum kami melanjutkan perbincangan vulgar kami. Bagus. Camilla tidur kembali. Aku menghembuskan napas lega
"Bisakah kamu menjelaskan denganku apa maksud tentang hubungan kita?" tanyaku sambil melipat tanganku di dada setelah menutup pintu kamar Camilla
"Kamu adalah sahabatku dan.. tidak ada perasaan emosional diantara kita. Kita adalah pasangan suami istri tapi bukan sungguhan,"
Aku merasa pukulan telak pada jantungku. Rasanya perih namun aku masih harus berpura-pura memasang raut wajah datar sambil menganggukkan kepalaku. Kedua pasang mata kami beradu. Aku harus menerima kenyataan bahwa memang tidak ada sedikitpun ruang bagiku di hati William selain sebagai sahabat
Aku berdeham pelan
"Kamu mengatakan itu kepada semua patnermu?"
"Kecuali kamu."
"Kenapa begitu?"
"Tidak ada wanita yang mau melakukan hubungan badan dengan laki-laki yang sudah menikah. I mean.. ya mungkin ada. Tapi tidak semua,"
"I see. Then, all of your patner must have already known about us."
William mengangguk tanpa raut wajah bersalah sama sekali sementara aku harus mencoba menerima.
Bukankah ini resiko yang harus kuterima?
"Apakah kamu keberatan?" tanya William sambil merapikan rambutku
Geez… aku baru sadar posisi kami terlalu dekat. Aku melangkah mundur dengan refleks supaya William tidak menyentuh rambutku. Rasanya sangat tidak tepat jika kami berdiri sedekat ini setelah ia
‘menghancurkan’ hatiku, setidaknya untuk hari ini saja
"Tidak. Itu adalah hakmu dan hakku."
"Kamu tidak akan menggunakan hakmu. Aku yakin,"
"Bagaimana kamu bisa menyimpulkan seperti itu?"
"Kamu tidak menggunakan hakmu selama dua tahun pernikahan kita."
"Tetapi bukan berarti aku tidak bisa menggunakannya bukan?"
William mengangkat bahu sambil memasukkan tangannya di saku celananya. Tatapannya penuh menyelidik, persis seperti saat William tahu aku menyukai Didi sewaktu SMA dulu. Aku mengangkat daguku tinggi-tinggi, menolak untuk merasa terintimidasi karena tatapan matanya. Lagian kami telah mendiskusikan ini sejak awal. Kami memberikan satu keistimewaan hak atas hubungan ini, yaitu berhubungan dengan lawan jenis. Aku tidak tahu mengapa aku segila itu menerima persyaratan ini atas pernikahan kami. Well, aku memang bodoh
"Kamu lagi dekat dengan laki-laki lain?" tanya William hati hati. Ia menatapku dengan tatapan menyelidik
"Iya. Em, tidak. Mungkin. Aku ..."
*S**t! *Aku berencana berbohong namun mengapa aku bahkan tidak dapat berbohong tanpa gugup?
"Jangan gugup. Ini tidak disebut dengan perselingkuhan."
William meremas bahuku pelan. Ia mengukir senyum tipis di sudut bibirnya,"I will always support you,Kat. Kita hanya perlu merayakan hari dimana kamu menggenapi hak kamu itu. Okay?"
William menepuk bahuku sekali lagi sebelum kemudian langsung melarikan diri ke kamar. Well, just like another bastard guy,right?
Aku kembali ke kamar Camilla setelah itu. Perasaan sedihku berganti dengan kehangatan saat melihat
Camilla. Sejenak, aku melupakan persoalan hak kami. Tidak lama kemudian, William bergabung dengan kami. Aroma wangi sabunnya membuatku melirik William dengan refleks. Laki-laki tampan itu terlihat begitu dekat namun entah mengapa aku merasakan jarak yang tercipta semakin besar diantara kami
Jantungku bergejolak ketika William mendapati aku tengah menatapnya. Aku bergegas memalingkan wajahku. Huh! Aku berusaha semaksimal itu untuk mengabaikan perasaanku namun rupanya itu merupakan hal tersulit yang dapat kulakukan setidaknya untuk saat ini
Aku memutuskan untuk mandi. Aku butuh menyegarkan pikiranku yang telah berantakan. Aku berusaha mencoba menyakinkan diriku sendiri berkali kali bahwa kami adalah sahabat. Kami bukanlah pasangan suami istri. Ya, benar. 'Bestfriend' forever. It does sounds better than a spouse,right? At least, untukku. Aku harus berhenti berharap pada William. Semoga aku berhasil
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
🍒 rizkia Nurul hikmah 🍒
knp pke Inggris Mulu dan gda translate y hiksss g tau artina
2022-04-04
0
🍒 rizkia Nurul hikmah 🍒
hiperseks
2022-04-04
0
Bagas Diarsana
semangat thorr jangan ngilang magi💪💪💪💪💪
2022-02-21
2