Fool Again
Agustus, 2009
"Kemana kamu habis SMA nanti?"
Tifanny mengusikku yang sedang mengulum permen tangkai kesukaanku. Aku mengangkat bahuku sambil mengayunkan kakiku yang tergantung dibawah kursi kayu yang tinggi sambil menatap lurus ke depan, tepatnya pada pertandingan bola basket yang sedang diadakan di sekolah kami. Pertandingan berbagai macam olahraga dan kompetisi intelektual sudah menjadi tradisi di sekolah kamisetahun sekali, tepatnya setiap bulan Agustus, untuk memperingati Hari Kemerdekaan Negara Indonesia. Tatapanku fokus pada William yang sedang mencoba merebut bola basket dari lawannya. Tak sadar aku mengigit permenku geram karena William terlihat lengah. Ah!
"Ngga tahu deh. Paling ikut Liam aja." balasku
Kedua mata Tifanny membulat sementara itu bibirnya setengah terbuka. Aku tidak peduli dengan reaksi teman sekelasku yang kupikir cukup berlebihan. Maksudku, apakah salah aku mengikuti kemana William pergi selepas masa putih abu-abu kami? We are bestfriend forever. Well, Aku tahu apa yang mereka pikirkan. Aku menyukai Liam? Huh. What he hell they are talking about? Tidak ada yang namanya percintaan di dalam hubungan ini. Aku tidak akan mungkin pernah memendam perasaan pada Liam. Selain itu, hal terpenting yang dapat digarisbawahi adalah … aku telah memiliki gebetan di sekolah Ajaya yang merupakan sekolah top lainnya selain sekolah kami, Hiru Hara School
"Kalau William ngga mau lanjut kuliah? Kamu juga? Maksudku, kamu tahu kan kalau bokapnya kaya? He doesn't need to be busy and stress about study anymore. Uang mengalir kaya air sungai bagi dia,"
Aku tidak dapat menahan diriku agar tidak tersenyum membenarkan. Benar. Liam memang keturunan darah biru alias bangsawan yang kaya raya. Apakah aku berlebihan? Mm, maksudku, keluarga Liam adalah keluarga yang
sangat sangat terpandang. Bahkan konon katanya sekolah Ajaya juga merupakan milik keluarga Liam tetapi putranya malah memilih bersekolah di Hiru Hara School
"But our Liam doesn't like that,"
Yuriska?
Aku tidak bisa menahan senyumku untuk menyambut sahabatku yang lain, yaitu Yuriska, yang baru bergabung
"Liam akan sukses tanpa bantuan papanya sama sekali," sambung Yuriska sambil melirik tajam Tifanny yang tidak lama kemudian langsung mundur
"Kemana saja kamu?" tanyaku binggung
"Taraaa!!"
Yuriska memamerkan tiga buah ice-cream batang kepadaku sambil tersenyum lebar. Aku menyergit karena hanya menemukan satu buah ice cream magnum favoriteku. Aku mengerucutkan bibirku kesal
"Kok cuma satu?"
"Tepatnya, tinggal satu."
"Tapi kan Liam juga suka magnum. Gimana dong?"
"Aku memang beli kasih dia. Kamu makan yang lain aja!"
"WHAT?!"
Kedua mataku membulat. Aku mencoba merampas magnum tersebut namun pada detik selanjutnya sebuah tangan telah merebutnya dariku dengan mudah. Aku hendak merampasnya kembali namun sang pemilik tangan telah membuka bungkusan tersebut kemudian tanpa ragu memakannya dihadapanku. Pupil mataku melebar
"Kamu!!!!"
"Yuriska membelinya untukku bukan? Then you have to give up!"
William menjulurkan lidahnya padaku. Aku bersumpah jika aku ingin menarik lidah itu. Kutarik pakaiannya yang penuh keringat dengan niatan untuk memukulnya tetapi basahnya pakaian William membuatku langsung menarik
tanganku dan mengelapnya di rok abu-abu ku dengan geli
"Liam! I'll make you pay for this!" teriakku kesal
William mengangkat bahunya seolah ancamanku tidak berarti. Well, sebenarnya memang ancamanku tidak pernah membuatnya takut. Ia merangkul bahu Yuriska sambil kemudian melambaikan tangannya padaku. Aku yang tidak menerimanya pun berlari mengejar mereka kemudian memberikan satu pijakan kaki yang keras di sepatu baru Wiliam
Kedua mata William membulat. Ia kelihatan super kesal. Itu membuatku tertawa bahagia. Kujulurkan lidahku sambil menepis rambut hitamku
"RASAIN!"
***
Motor besar Harley Davidson hitam telah terparkir indah di halaman rumahku saat aku pulang dari berbelanja di Giant. Aku menghembuskan napas pelan. Aku tahu sang pemilik motor tersebut adalah William bahkan tanpa perlu masuk ke dalam rumah untuk memastikan. Siapa sih yang bisa mengendarai Harley Davidson? Kupikir hanya segelintir orang saja yang mampu
Suara tawa William menyambut kepulanganku. Sebenarnya aku telah melupakan kejadian siang tadi namun melihatnya yang tengah bercanda gurau dengan kedua orang tuaku pun tidak mampu membuatku menampik rasa kesal
"Kenapa kamu datang?" tanyaku ketus
"Loh,Kat? Kok gitu sapa si Liam?" tegur mama
Detik berikutnya mama mulai mengomeliku dan memberiku saran bagaimana aku sebaiknya bersikap sebagai wanita yang penuh moral, respect dan berpendidikan. Aku memutar kedua mataku karena mama telah mengulanginya yang ketiga puluh kali
"Sorry. Kamu masih marah?" tanya William setelah papa dan mama meninggalkan kami berdua di ruang tamu. Huh! Aku melipat tangaku di dada
"Nggak!"
Aku tidak tahu apa yang lucu dariku, ekspresi atau nada suaraku? Entahlah. William terkekeh karena itu. Ia kemudian mengeluarkan empat batang magnum padaku. Fiuh, ice cream tersebut kelihatan begitu menggiurkan. Rencanaku untuk ngambek pun terpaksa harus kutunda kali ini. GREAT. Aku dapat ‘dibeli’ dengan empat magnum. Mungkin aku bisa dijuluki Manusia Magnum setelah ini
William mengajakku berkeliling mall setelah itu. Kupikir William ingin mengajakku menonton karena ada film terbaru yang menjadi wishlist untuk kutonton bersama dengannya. Namun rupanya Ia membawaku ke toko Tiffany & Co, toko perhiasan yang membuatku tertegun
"Tunggu. Kenapa kita di sini?" tanyaku sambil menarik William keluar dari Tifanny & Co. Aku hanya ingin
memastikan apakah dia salah tempat. Huh, jangan jangan nanti dia bikin aku malu saja
William mengangkat bahunya. Ia menarikku masuk sambil memintaku melihat perhiasaan di etalase. Well, harganya membuatku melonggo
"Kamu suka yang mana?" tanya William
Tunggu…., apakah William berniat membelikanku perhiasan Tifanny & Co? Am I dreaming? Maksudku, perhiasaan *Tifanny & Co *bukanlah perhiasaan sembarangan. Itu adalah perhiasan yang masih membuatku melonggo setiap kali melewati tokonya. Aku bahkan tidak berani berimajinasi masuk ke dalam tokonya sekalipun
"Kamu…mau membelikanku perhiasan?"
"Menurutmu?"
Oh, raut wajah usil itu membuat harapanku musnah. Meski aku tidak pernah berharap William akan membelikannya untukku namun aku agak kesal karena ia bertanya dengan cara seolah olah dia ingin membelikannya untukku. Huh! Oke, aku tahu aku tidak boleh berpikir seperti itu. Tiffanny & Co bukanlah perhiasaan yang sembarangan. Aku harus sadar diri,oke?!
Aku mencoba mengontrol raut wajah dan suaraku,“Jadi ini untuk tante?”
William tidak menjawabku. Aku menunjuk salah satu kalung yang menurutku bagus. William meminta pramuniaga mengeluarkannya dari etalase kemudian pada detik bberikutnya ia telah memasangkan kalung itu di leherku. OMG. Jantungku berdebar-debar melihat kalung mewah yang sedang melingkari leherku! Selain itu, eum… aku menahan napas ketika merasakan hembusan napas William. ****! Dia terasa begitu dekat
denganku dan itu membuatku gugup. Ia menahan senyum usil ketika kedua pasang mata kami beradu
"Hei. Kamu gugup?" tanyanya sambil mengusap lembut bahuku
"Ada kalung seharga tujuh ratus juta sedang berada di leherku! Tentu saja aku gugup, stupid boy!"
William tidak membalasku. Dia langsung mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan kartu kreditnya kepada pramuniaga tersebut tanpa banyak berkata. Kedua mataku terbelalak. Aku menyikut lengan William sambil menggelengkan kepalaku.
"Are you crazy? Kupikir kamu berlebihan membeli kalung untuk ulang tahun tante Li. You know, tante Li
udah ada banyak perhiasan." Bisikku sambil menarik ujung pakaian William. Bukan sok tahu tetapi aku memang sering berkunjung ke rumah William. Aku sering menemani Tante Li dan mama belanja. Jadi, aku tahu persis mereka sudah memiliki begitu banyak perhiasan
"Aku tidak membelinya untuk mama."
"Maksudmu?"
"Apakah aku ada mengiyakan pertanyaan bodohmu dari tadi?"
WHAT?!
Aku menyergit tidak mengerti. Jika William tidak membelikannya untuk Tante Li, artinya…
“Yap. You’re right. I bought this for Yuriska. She'll be birthday soon,"
Tunggu. Apakah aku tidak salah mendengar? William membelikan kalung seharga tujuh ratus juta kepada Yuriska? Oh ****! Aku tidak ingin mempercayainya. Aku ingin menganggap ini hanya lelucon namun
melihat ekspresinya yang super serius membuatku melonggo tidak percaya
"Are you serious?!"
"Am I look like joking right now?"
"Tapi Yuriska ulang tahunnya lima bulan lagi."
"I know,"
"So? Tidakkah ini kecepatan? Dan… apakah ini tidak berlebihan?"
"Faster is better than late. Papa bisa menghabisiku kalau aku menghabiskan banyak uang dalam sehari,"
Aku menggelengkan kepalaku tidak percaya. ‘Banyak uang’ yang William maksud adalah jika itu menyentuh sembilan digit. OMG. Aku bahkan tidak tahu harus bahagia karena menyadari ketulusan cinta William pada Yuriska. Di satu sisi, aku merasa bahagia dan lega karena rupanya William benar benar serius kepada Yuriska. Bagaimanapun mereka adalah sahabatku. Namun sisi lainku berteriak bahwa William cukup bodoh. Eum, bodoh atau bucin? Huh, sepertinya hanya ada garis tipis antara bodoh dan bucin
Aku melepaskan kalung tersebut dengan hati hati sambil membalas,"Well, what a luck girl. Jadi, apa yang akan kamu berikan sebagai birthday gift aku bulan depan nanti?"
William mengangkat bahu acuh,"Just tell Didi,"
Aku menendang kaki William dengan kesal sambil berjalan keluar dari* Tifanny & Co store*. Sementara itu William mengikuti dari belakang. Aku tidak berencana menyahut perkataan William sejak kami keluar dari toko mewah itu. Lelucon William tidak lucu! Maksudku, Didi adalah gebetanku. Dia bahkan tidak mengenalku lebih dari teman sepergaulan Karen alias sahabatku yang bersekolah di sekolah Ajaya. How pity! Aku tahu namun William malah bersikap seolah ulang tahunku adalah hal yang paling tidak lebih penting dibandingkan ulang tahun Yuriska lima bulan mendatang. Catat, lima bulan mendatang.
*Oh! Hell! I'm not envy. Okay?! *
Aku hanya merasa William memperlakukan kami dengan berbeda sejak dia berpacaran dengan Yuriska. Well, setidaknya aku masih merupakan sahabatnya bukan?
"Hey! Kamu marah?" tanya William
Ia menarik tanganku dan menghentikan langkahku. Aku tidak menjawab. William tertawa kecil melihat sikapku. Ia
mengacak rambutku sambil setengah menunduk agar kedua pasang mata kami beradu
“Sorry. Hm..?”
Aku memalingkan wajahku sambil melipat tanganku di dada. Sebenarnya aku berencana untuk mengabaikannya
namun pada detik William menawarkan akan membelikanku ice cream terbaru yang baru dibuka dengan sepuasnya membuatku luluh
“Wanna try?” tanyanya
Tidak membutuhkan waktu lima detik bagiku untuk mengangguk. Oke, rupanya egoku dapat disuap dengan ice
cream. William merangkul bahuku pada detik berikutnya. Kami kemudian bersama sama menikmati Ice Cream sambil bercerita tentang hal remeh yang membuatku tidak berhenti tertawa. Suasana mall masih ramai bahkan
setelah kami memutuskan untuk pulang. Aku bersandar dibalik punggung William yang tengah mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Mataku terpejam, menikmati belaian angin malam yang terasa menghangatkan hatiku. Kupikir aku dapat hidup seperti ini selama ratusan tahun lamanya, huh?
***
Awal bulan September menjadi bulan terburuk yang pernah kualami. Padahal bulan ini adalah bulan terbahagiaku. Biasanya aku akan mendapatkan banyak kejutan dan hadiah atas bulan kelahiranku namun hal yang paling kuinginkan saat ini adalah mengambil tali untuk menakut-nakuti kedua orang tuaku. Well, aku tahu aku sedikit berlebihan namun aku super serius. Bagaimana mungkin mama dan papa tidak mengijinkanku
bergabung sekolah ke luar negeri bersama sahabat sahabatku? Setidaknya aku ingin bergabung dengan William dan Yuriska ke Harvard University atau Karen ke German. Melanjutkan pendidikan ke luar negeri adalah impianku sejak dulu. Huh
"Kat. Papa dan mama tidak menginjinkanmu kuliah di luar dari Jakarta. Titik."
Mama kembali memperingatiku sementara aku langsung menyumbat telingaku dengan headset. Huh, aku
kesal dan marah. Mengapa papa dan mama menjadi over protective denganku sih sejak abangku meninggal dua tahun lalu? Aku tahu bahwa kini aku merupakan putri satu satunya di keluarga ini namun aku punya hak untuk hidup bebas tanpa kendali orang tua bukan?
Aku tahu mereka khawatir jika sesuatu terjadi padaku di negeri orang lain. Mereka akan sedih dan sangat merindukanku jika aku pindah namun hal ini tetap tidak adil! Tangisku pecah sesaat setelah mama keluar dari kamarku. Huh, keinginanku melanjutkan pendidikan ke luar negeri hanya akan berakhir sebagai angan-anganku. Aku mencoba aksi mogok dengan tidak makan dan sekolah selama dua hari. Aku mencoba semua yang kubisa namun hal itu tetap tidak mengubah pendirian orang tuaku. Dan itu membuatku semakin kesal dan frustasi
"Kat. Liam dan Yuris datang. Mama mau minta mereka pulang saja atau kamu mau bertemu mereka?" tanya mama sambil menyentuh ringan bahuku
Aku tidak menjawab namun aku bergegas menyembunyikan tubuhku dibalik selimut. Aku masih mogok berbicara
dengan kedua orang tuaku. Aku tidak akan berbicara dengan mereka sampai mereka mengjinkanku melanjutkan pendidikan di luar negeri. TITIK
Aku mendengar derap langkah yang cukup familiar. Aku menarik turun selimutku dengan hati hati dan kemudian menemukan Yuriska dan William tengah berdiri disampingku dengan tatapan khawatir
“Are you okay,Kat?” tanya Yuriska sambil memelukku
"Kamu 'kan bukannya nggak diijinkan kuliah. Tante dan Om pasti ada alasan. Jangan sampai berlebihan
deh sedihnya." Lanjut William membuatku langsung meliriknya dengan sinis sementara itu Yuriska menepuk ringan tangan William
“Coba deh kamu diposisiku. Apakah kamu bisa ngomong seperti ini?”
“Tidak kuliah di luar negeri bukan artinya hidup kamu stop disana. Masih ada banyak Universitas bagus di Indonesia, apalagi Jakarta,”
“Kamu disini itu untuk support aku atau mau mojokin aku sih?”
Yuriska berdeham pelan. Ia mencoba menegahi William dan aku
“Mm, sebenarnya maksud William bukan begitu. Dia hanya tidak ingin kamu sedih kelamaan. Om dan Tante pasti sudah memikirkan ini dengan baik baik. Selain itu, kita juga bisa video call dan lainnya setiap hari kok. Kamu tidak akan kesepian dan…,”
"Memangnya ini semata-mata hanya karena kalian? Semua sahabatku meninggalkanku dan…"
"Karena Didi?"
Ugh. Hatiku sakit mengakuinya. Didi memang tidak mengenalku namun aku masih tidak dapat berhenti
merasa sedih karena kabarnya Didi juga mendapatkan progam beasiswa di Harvard. Jika aku mendapatkan kesempatan kesana, kami akan berakhir sebagai couple bukan? William mendengus sambil membalas,"Ngga
masuk akal banget galau hanya karena si culun itu."
"Hei! Dia itu ngga culun ya! Omonganmu ini! Dia jelas jelas jauh lebih baikdarimu!"
William dan aku terlibat perdebatan yang membuatku menahan air mata. Yuriska kemudian memutuskan meninggalkan kami berdua dengan alasan mengambil air. Huh, aku tahu motif Yuriska. William dan aku memang tidak dapat dilerai oleh pihak ketiga. Kami hanya dapat berhenti ketika kami hanya berdua saja. Entahlah. Mungkin ini sudah merupakan kebiasaan kami sejak kecil
“Jadi, kamu merasa worth it sedih hanya karena Didi? Dia bahkan tidak mengenalimu,” lanjut William sambil menyergit
“Liam, ini bukan hanya karena Didi. Kamu dan Yuriska akan ke Harvard. Sahabatku Karen akan ke German dan em… gebetanku juga. Apa yang dapat kulakukan disini sendirian? Aku pasti akan sangat merindukan kalian. Bisakah kamu bantu ngomong ke mama dan papa? Katakan saja kamu akan menjagaku disana,huh? Please?” balasku sambil menarik ujung seragam William
William menurunkan tas sekolahnya ke lantai. Ia kemudian membawaku ke dalam pelukannya. Sial. Ini membuatku semakin sedih. Aku tidak menyangka aku telah menangis segugukan dalam pelukannya. William berusaha menenangkanku berkali-kali. Ia menepuk bahuku ringan sambil mengusap kepalaku
William berbisik,“Jika dia memang jodohmu, kalian akan bertemu lagi, bagaimanapun caranya dengan jalan yang tidak terduga,”
“Dan bagaimana jika tidak?”
“Kamu masih punya aku. Kamu lupa aku ini sahabat kamu yang terganteng sejagat raya?”
Aku tidak dapat menahan tawaku atas sikapnya yang overconfident. Pada detik berikutnya aku memukul dadanya kesal. Bagaimana mungkin dia membuatku tertawa di waktu seperti ini? Aku seharusnya menangis sedih. William menyadari perubahan raut wajahku. Ia mengusap air mataku sambil menatapku dengan sorot yang serius
“Aku tahu ini sulit tapi aku harap kamu jangan sedih lagi. Kamu adalah putri kesayangan om dan tante. Coba untuk mengerti mereka, hm? Mungkin mereka takut anak gadis cantik mereka akan digodain laki laki genit diluar sana. Kamu masih punya kesempatan untuk lanjut studi master. Hidup ini masih panjang.” Ucapnya tanpa memutuskan kontak mata diantara kami
Kali ini entah mengapa aku seolah terbius akan tatapannya. Aku tidak mengerti mengapa jantungku mulai berdetak kencang. Kami benar benar dalam posisi sedekat itu. Hembusan napasnya terasa menyapu ringan wajahku. Oh, ini diluar imajinasiku sama sekali. Aku hampir lemas ketika William mencium puncak kepalaku. Pipiku merona. Oh tidak. Kuharap ia tidak menyadarinya
“Aku tidak akan melupakanmu,Kat. Kamu selalu yang nomor satu,” lanjutnya membuat jantungku semakin berdebar kencang dengan tidak tahu malu
Aku ingin mengambil satu langkah mundur namun entah mengapa aku tak dapat melakukannya. Aku merasa
nyaman dalam pelukannya dan ini benar benar terasa membunuhku dengan lambat. William melepaskanku tidak lama kemudian. Ia mengeluarkan dua plastik besar berisi ice cream padaku
“Kamu tidak akan naik sepuluh kilo kan dengan makan ini semua?” canda William sambil mengacak rambutku
Fiuh, jika pada waktu biasanya aku mungkin dapat membalas candaannya namun entah mengapa kali ini terasa agak sulit. Aku bersyukur karena pada detik berikutnya Yuriska telah masuk ke dalam kamarku. Namun pada detik berikutnya aku tidak dapat menyangkal rasa sedih dan marah atas diriku ketika aku melihat Yuriska. Ia melihatku dengan tatapan yang mengisyaratkan bahwa ‘aku akan berpura-pura tidak melihatnya tadi’
Tuhan, perasaan apa yang kurasakan saat ini? Mengapa aku tidak dapat berhenti merasa kecewa dan takut?
William memperlakukan dengan biasa setelah itu. Aku tidak tahu mengapa kesedihanku dan ketidakterimaanku untuk tidak diijinkan sekolah ke luar negeri mulai memudar setelah William menasihatiku. Kini, aku hanya dapat menikmati moment moment terakhir William dan Yuriska denganku. Aku hanya dapat mendengar celotehan
mereka atas persiapakan studi ke Harvard
Jujur, perasaan sedikit cemburu karena aku tidak dapat bergabung ke Harvard masih ada namun aku mulai
menerima situasi ini. Aku berusaha bersikap normal ketika William tersenyum padaku beberapa kali. Ia bahkan menepuk ringan bahuku dan tanganku setiap membicarakan hal hal yang lucu. Sentuhan kecil itu tiba tiba terasa membakarku. Aku tidak mengerti mengapa aku tiba tiba merasakan ini
Aku tidak mungkin menyukai William kan? For Godshake! Aku tidak pernah percaya bahwa dengan statement bahwa tidak ada yang tulus antara persahabatan laki laki dan wanita. Aku mencoba memegang teguh pendirianku. Oke, aku mungkin hanya sedikit dilemma karena ia mencium keningku tadi. Atau mungkin hanya karena ia berhasil menenangkanku? Oke, pasti hanya itu. Hanya dengan berusaha menyakinkanku seperti itu yang dapat membuatku melanjutkan interaksiku dengan William dan Yuriska
Aku tidak boleh terlibat perasaan bodoh ini, apalagi mereka akan segera meninggalkanku. Perasaan ini hanya mimpi. Benar. Bagaimanapun my bestfriends are my comfort zone ever!
Right?
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
qiara safika
awal yg bagus
2022-03-22
0
Taehyung
nyimak
2022-03-21
0
Syah
mampir
2022-03-16
0