Part 4

Enggak kerasa UN tinggal dua bulan lagi, semua anak kelas 12 mulai serius belajar, mulai dari les tambahan sampe ikutan bimbel online. Gue sendiri cuma ngikutin les di sekolah aja. Emang, gue ini sebenarnya punya otak yang kata orang encer banget, jarang belajar tapi semua nilai mata pelajaran di atas rata-rata. Bersyukur banget Tuhan menganugerahkan otak encer kayak gini. Bahkan waktu SMP enggak pernah bawa buku lengkap, cuma bawa satu buku buat nyatat seluruh pelajaran yang gue selipin di kantong celana belakang. Kenapa seperti itu? Karena ilmu yang udah guru kasih, gue simpen di kepala bukan di buku catatan. Hal ini jangan ditiru ya, gaes ... karena ini khusus untuk manusia yang kepintarannya di atas rata-rata kayak gue gini, hehe. Walaupun gitu gue selalu masuk ranking tiga besar di kelas. Lo boleh percaya atau tidak. Terserah.

Beda sama si Dika, dia udah belajar mati-matian tetep aja nilainya pas-pasan. Pernah satu kali waktu ulangan kimia, dari soal nomor satu sampe terakhir dia nyontek sama gue. Sialan emang tuh anak! Gue pun enggak bikin jawaban soal-soal itu secara gratis, setelah ulangan gue minta si Dika buat beliin gue kuota 32 giga. Hahaha itulah gunanya otak encer gue.

Sedih juga sih, setelah tiga tahun ini gue sama-sama terus dengan si Dika akhirnya berpisah juga. Tapi bukan berpisah dengan tanda kutip, ya, walaupun nanti udah sama-sama kuliah di tempat berbeda kita masih mau buat ketemu dan maen bareng.

"Ko, lu janji ya hubungan kita ini enggak boleh putus, walaupun gue udah di Jogja dan lu di Inggris," ucap Dika satu ketika. Ya, si Dika ini rencananya mau kuliah di Jogja dan gue bilang kalau Bokap nyuruh kuliah di Inggris, tapi Dika belum tahu kalau gue berencana buat ikutan SBMPTN. Nanti aja ngasih taunya.

Teeeeetttt ... teeeetttt ... teeeeettttt

Bel istrirahat bunyi, anak-anak yang kelaparan langsung menyerbu kantin. Ada yang pergi ke kantin sekolah, ada pula yang pergi ke warungnya Bang Toha di belakang sekolah, biar pada bisa ngerokok. Gue termasuk yang pergi ke warungnya Bang Toha buat makan soto setelah itu langsung cabut ke pinggir mushola buat ngintipin Sara sama teman-temannya di sana. Seperti biasa.

Sedih juga rasanya kebiasaan gue ini akan berhenti pas sudah lulus nanti. Tapi, yang paling sedih adalah pisah sama Sara tanpa bilang apa-apa kalau sebenarnya gue suka sama dia. Apa gue bilang aja, ya, sama dia? Bodo amat deh sama Dika.

Gue duduk di bangku reot pinggir mushola. Terlihat dari jendela kaca, Sara sedang mengaji dengan teman-temannya. Setelah beberapa menit selesai juga, lalu makan bekal yang mereka bawa. Sara setiap hari kayak gitu, apa gak bosen, ya? Tapi, itulah istimewanya dia.

Tak lama kemudian bel masuk bunyi, Sara keluar dari mushola bersama teman-temannya, saat itulah gue mendadak kikuk karena bentar lagi doi akan berada di hadapan gue. Mungkin Sara heran kenapa gue tiap hari nongkrong di mushola? Sedangkan semua orang tahu gue adalah non muslim.

"Hai Sara ...," sapa gue.

"Hai, Marko. Kamu gak ke kelas? Kan udah bel," tutur Sara sambil mendongakkan wajah.

"Bentar lagi," ucap gue.

"Sara kita duluan, ya ...," sahut teman-teman Sara. Mereka selesai pakai sepatu duluan. Sekarang tinggal Sara sendiri, dia lebih lambat karena gue gangguin.

"Eh, tungguin aku, dong!" seru Sara pada teman-temannya.

"Sara, bisa bicara sebentar, gak?" Sela gue biar teman-teman Sara pergi duluan.

Teman-teman Sara terlihat bingung antara mau nurutin Sara, tapi gak enak sama gue.

"Kita duluan aja, deh, Sar," ucap Zulfa, salah satu temannya Sara. Lalu mereka pun pergi. Sara sudah selesai pakai sepatu, gue pun duduk di teras mushola di samping Sara.

"Ada apa, Ko? Mau ngebahas soal mimpi kamu tempo hari itu?" tanya Sara. Gue rada kaget juga, kok, Sara masih inget, ya, sama mimpi gue itu?

"Enggak kok, bukan," jawab gue.

"Terus?"

"Kalau boleh tahu, kamu mau lanjut kuliah di mana?" Sara nengok mandang gue agak lama, lalu setelah itu dia kembali nunduk. "Belum tahu," jawabnya singkat. "Kenapa kamu tanya itu, Ko?"

"Gak apa-apa pengan tahu aja."

"Oh ... ngomong-ngomong soal kamu mimpiin aku, jujur aku agak kaget juga. Kamu bilang di mimpi itu aku kayak yang minta tolong gitu, kan, sama kamu?" tanya Sara sambil mandang gue sekilas lalu setelah itu ia lempar ke arah lain.

Sumpah, gue gak nyangka Sara ngebahas soal mimpi itu, padahal saat itu gue beneran pengen tahu dia mau kuliah di mana biar nanti gue ikutin, gitu.

"Iya, Sar," jawab gue.

"Aku gak nyangka kok bisa sih, kamu tiba-tiba mimpiin aku gitu? Kamu juga nanya, apa aku baik-baik aja? Dan sekarang aku mau jawab yang sebenarnya, aku memang enggak lagi baik-baik aja, dan beneran aku lagi butuh pertolongan."

Speechless! Sumpah gue speechless banget saat itu. Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa ikatan batin gue ke Sara sekuat itu?

"Kamu ... lagi ada problem, Sar?" tanya gue hati-hati.

"Iya, Ko," jawab Sara sambil nundukkan kepala sampe ke dada. Gue denger dari nada suaranya doi kayak yang sedih berat, tapi enggak tahu mesti gimana. Wah, apa mungkin problem dia serius banget, ya?

"Kalau boleh aku tahu, problem apaan emang?"

Sara diam agak lama saat gue tanya, tapi tak lama kemudian dia terisak. Whaaaat? Dia nangis? God ... Qaisara nangis di depan gue?

Bidadari gue, kekasih hati gue, ada apa denganmu?

"Maaf, tapi aku enggak bisa bilang. Doain aku, Ko, semoga aku bisa ngadepin masalah ini," tutur Sara sambil mengusap air mata di pipinya.

"Oh, iya, Sar. Aku pasti doain kamu."

Sara bangkit berdiri sambil memegang kotak makannya, "Ya udah aku ke kelas dulu, ya ... takut keburu ada guru," ujar Sara lalu pergi.

"Oh iya," kata gue padahal gak rela Sara pergi. Sebenarnya saat itu gue pengen tahu apa yang terjadi padanya sampai nangis di depan gue gitu. Jujur aja, gue rada takjub juga dia begitu, padahal sebelumnya hubungan gue sama dia datar-datar aja, cuma bisa say hallo doang, udah gak lebih. Tapi, karena mimpi itu tiba-tiba doi nangis di depan gue. Apakah Tuhan sengaja nitipin mimpi itu sama gue sebagai jawaban atas doa-doa gue selama ini? Mungkin aja, sih.

Gue melihat Sara pergi lalu menghilang di belokan. Man, lo tahu gak sih, gimana rasanya melihat cewek yang lo cintai nangis di depan lo tanpa tahu alasan kenapa dia nangis? Rasanya seperti enggak berguna banget karena gak bisa berbuat apa-apa, ya ... minimal menghiburnya, lah. Tapi, gue cuma bengong aja kayak orang **** sambil liatin dia.

Sara kenapa kamu? Gue mohon jangan bikin resah kayak gini? Bicara lah! Gue pasti dengerin.

🍁🍁🍁

Setelah gue kembali ke kelas, tiba-tiba ada yang beda dengan sikap Dika ke gue. Kenapa tuh anak? Kesambet? Atau keracunan makanan di kantin? Lalu mendadak gue curiga Dika tahu tadi gue berduaan dengan Sara di mushola. Ah, tauk deh, gue gak mau ambil pusing, palingan nanti dia biasa lagi kalau minta jawaban soal ulangan sama gue.

Namun, saat gue lagi ngemasukin buku ke tas karena mau pulang, dia nyeletuk, "Tadi istirahat ngapain di mushola sama Sara?" Akhirnya kecurigaan gue terbukti.

"Gak ngapa-ngapain," jawab gue dengan sikap berusaha santai.

"Beneran?"

"Iya, ngapain gue bohong, gue cuma nanya dia mau kuliah di mana, terus dia jawab gak tahu. Udah gitu doang." Rasanya gue gak perlu bilang ke Dika soal mimpi gue yang udah bikin Sara nangis itu.

"Gue tahu dari Zulfa, elo pengen bicara berdua dengan Sara. Gue cuma mau ngingetin, kalau gue suka sama dia. Lo boleh deketin cewek lain selain dia, dengan modal tampang lo itu, gue yakin elo bisa dapetin cewek mana pun dengan mudah." Dika ngomong sinis banget, lalu dia pergi keluar kelas untuk pulang. Gila, itu adalah sikap Dika paling nyebelin selama gue kenal dia. Gue rada gak nyangka aja Dika giniin gue, kalau dia bisa sinis sama gue, gue juga bisa lebih dari itu. Tapi, tiba-tiba gue keingetan ucapan nyokap, "Ya udah, cewek kan banyak kamu cari cewek lain aja, daripada persahabatan kalian rusak cuma gara-gara cewek kan malu-maluin."

Gue ngacak rambut lalu menyeleting tas kemudian beranjak pulang. Tauk ah, gue pusing! Dika dan Sara itu sama berartinya buat gue, tapi kalau sikap si kampret itu terus nyebelin kayak tadi, mungkin suatu saat perasaan gue sama dia perlahan-lahan bisa berubah.

🍁🍁🍁

"Markooooo." Saat gue keluar kelas tiba-tiba ada yang teriak manggil gue. Suara bar-bar itu terdengar enggak asing di telinga. Ya, dia adalah Vita. Cewek yang enggak cape-capenya ngejar gue dari dulu.

"Ko, kamu mau ke mana?" tanya Vita sambil menggamit lengan gue.

"Pulang lah, kemana lagi emang?" jawab gue agak sinis.

"Ko, temenin gue ke toko buku, yuk? Temen-temen gue gak asik, pada gak mau nemenin gue." Elunya yang gak asik kali. Gue diam.

"Please, Ko! Kalau gue pergi sendiri, gue takut diculik, secara gue kan cantik." Sumpah gue mual dengernya. Duh, nih cewek ngerepotin gue mulu sih! Sebel gue.

"Nanti lo boleh deh, beli buku apa aja, gue yang bayarin." Wah, tawaran menggiurkan, gue emang lagi mau buku Sapiens karya Yuval Noah Harari. Lo beneran harus baca buku itu, menurut gue buku itu bagus banget, tentang homo sapiens sang manusia bijaksana.

Selama dua setengah juta tahun, berbagai spesies manusia hidup dan punah di Bumi, sampai akhirnya tersisa satu, Homo Sapiens, manusia bijaksana. Membahas sisi yang tak banyak diungkit dalam buku sejarah atau evolusi manusia lain. Misalnya membahas bagaimana manusia berangkat menjadi makhluk berperadaban. Penjelasan ini dijelaskan melalui tiga fase revolusi; Kognitif, Pertanian, dan Sains.

Buku ini sukses dibaca di berbagai belahan dunia, termasuk oleh mantan Presiden Amerika Barack Obama. Keren banget kan? Dan sekarang Vita nawarin buku gratis ke gue. Sikat Marko ....

"Oke, deh."

"Asiiiiiikkk." Vita girang banget sampe jingkrak-jingkrak gitu.

🍁🍁🍁

Setelah buku yang kita inginkan dapat, tiba-tiba Vita gak mau gue ajak pulang, pengen nonton dulu katanya. Hadeuh nih anak bener-bener memanfaatkan keadaan. Dan lagi-lagi gue gak bisa nolak karena sudah dikasih buku gratis sama dia.

"Marko, mau nonton apa? Barat atau Indo?" tanya Vita.

"Apa aja deh terserah lo."

"Ya udah Indo aja ya, biar gak perlu cape-cape baca terjemahan." Gue ngangguk. Saat itu dia milih film Indo yang romantis. Kayaknya dia sengaja pilih film itu, padahal gue pengennya horor.

"Yuk ...!" Vita menggandeng lengan gue masuk ke bioskop karena sudah ada pengumuman, "Pintu teater sudah dibuka", entah siapa yang ngomong karena di seluruh bioskop se-Indonesia adalah suara dia. Paan sih gaje lu, Ko. Hehehe.

Penonton mulai menyemut ke dalam dan duduk di kursi masing-masing sesuai nomor yang tertera di tiket. Entah kenapa Si Vita milih kursi paling atas pojok pula. Lagi-lagi gue gak bisa berbuat banyak karena ini Vita yang bayarin. Jujur aja walaupun saat itu gue jalan sama Vita, tapi di pikiran cuma ada Sara, gue mikirin kejadian tadi waktu istirahat, di mata gue masih jelas terlihat bagaimana air bening dari mata indah itu jatuh di depan gue. Sara sedang berduka, tapi gue gak bisa berbuat apa-apa.

Lampu bioskop mulai dimatikan karena film akan segera dimulai. Gue pengen film itu cepet selesai, dan gue tahu caranya gimana: tidur. Tapi, saat mata gue baru mau merem, tiba-tiba Vita nyenderin kepalanya ke bahu gue. Makin lama dia makin bertingkah menyebalkan. Tangannya bergerak ke wajah gue lalu ngusap-ngusap dagu dan bibir gue.

"Vit, apaan sih, lo!"

"Ko, gue cinta sama lo. Kenapa sih lo gak nanggepin perasaan gue? Gue kurang apa coba?" Gue kaget denger omongan Vita. Nih, cewek emang berani banget.

"Vit, elo mau nonton atau mau ngerengek kayak gini? Suara lo ganggu orang tauk!" seru gue rada sewot, tapi omongan gue barusan bukannya bikin Vita diam, dia malah makin ekstrim.

"Munafik, lu, Ko!" hardik Vita, sekonyong-konyong Vita nyerang, dia berusaha nyium bibir gue sampe kepala gue nempel ke sandaran kursi dengan kuat! Vita emang berani, tapi gue gak nyangka dia akan senekad itu. Gila!

"Vita!!!" sentak gue sampe orang yang duduk di depan menoleh, untung aja di samping gue kosong jadi enggak ada yang tahu serangan mendadak dari Vita tadi.

"Vit, sorry gue pulang!" sahut gue sambil berdiri, tapi Vita narik tangan gue sampe kembali terduduk.

"Pliiis ... jangan pulang, Ko! Oke gue minta maaf, tadi gue terlalu agresif sama lo."

"Enggak! Gue mau pulang sekarang, jangan ganggu gue lagi, ngerti lo!" pekik gue sambil ngelempar buku yang tadi gue beli ke pangkuan Vita, lalu gue cabut dari bioskop.

"Markoooooo!" Vita teriak sampai orang-orang merasa terganggu dengan teriakkannya. Gue gak peduli, lari, lalu berhasil keluar dari gedung bioskop itu. Jujur aja keluar dari sana seperti keluar dari gua hantu paling nyeremin se dunia.

Sebelum pulang, gue mampir dulu ke toko buku yang tadi, dan beli lagi buku yang udah gue lempar ke Vita. Kali ini dari duit gue sendiri. Itu lebih aman.

🍁🍁🍁

Terpopuler

Comments

Mela Rosmela

Mela Rosmela

widddiiih.. ada ya cewek yg kaya gitu.. menyeramkan

2020-08-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!