Gagal lagi! Cinta menggerutu.
Wajahnya semakin merengut ketika menatap anak panahnya yang hanya menancap di cincin keempat berwarna merah. Angka 7 memang bukan poin yang kecil untuk panahan, tapi bukan berarti Cinta sudah cukup puas dengan angka yang baru saja diperolehnya.
Sebelumnya, jarang sekali Cinta menemui kesulitan seperti ini; susah berkonsentrasi hingga kesulitan mendapatkan poin 10 atau nilai sempurna. Cinta yang sudah berlatih memanah sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, selalu bisa menciptakan situasi di mana dirinya bisa berkonsentrasi penuh. Lain halnya dengan beberapa bulan belakangan ini. Pikiran Cinta selalu melayang ke mana-mana hingga konsentrasinya selalu saja terpecah.
Cinta mengangkat wajahnya ke atas; semburat merah sudah menghiasi langit sekolahnya. Bersamaan dengan itu, jam besar sekolah mulai berdentang. Lima kali. Artinya waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Sudah lebih dari dua jam berlalu sejak bel jam pulang sekolah berbunyi. Namun demi meningkatkan kemampuan memanahnya, Cinta lebih memilih berlatih daripada langsung pulang ke rumah. Sering kali Cinta merutuk, kalau aja aku bawa busur sama panahku dari rumah lama .... Meski begitu, mau merutuk seperti apa pun Cinta sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tak akan pernah lagi menginjakkan kedua kakinya di rumah itu.
"Maksain diri nggak baik, lho, buat badan kamu."
Ezra. Dia menghampiri Cinta yang tatapannya sudah beralih dari langit kepadanya. Alih-alih menghampiri Cinta, Ezra malah melewatinya dan bergerak mendekati papan target sejauh 30 meter di lurusannya. Sudah sering Ezra melakukannya; membantu Cinta mengangkut penyangga papan seberat 4 kg, sekaligus bantalan target yang digunakannya sebagai sasaran berlatih. Tak tega kalau harus melihat Cinta bolak-balik dari lapangan ke ruang klub untuk membereskan semuanya seorang diri.
"Jadwal latihan, kan, besok. Kalau kamu juga latihan sekarang, badan kamu nggak akan kuat." Sambil bicara, Ezra melewati Cinta dan berjalan mendahuluinya; gadis itu mengekorinya.
"Iya, sih. Tapi besok aku nggak ada jadwal. Latihan Jumat, kan, khusus buat senior. Besok kita cuma bakalan dipermaluin."
"Kok, dipermaluin, sih?" Ezra berhenti dan berbalik menatap Cinta. "Besok, tuh, evaluasi. Dijelasin apa-apa aja yang masih kurang selama kita latihan seminggu ke belakang."
Cinta melewati Ezra. "Evaluasinya depan junior. Ketahuan banyak salah, kan, malu," rutuknya.
Posisi berbalik, Ezra mengekori Cinta sekarang. "Namanya juga masih latihan. Kalau udah pro terus banyak salah, baru, deh, malu."
"Mau udah pro atau belum, aku pengin cepet-cepet nguasain jarak tiga puluh meter. Nggak pengin banyak salah lagi," sengit Cinta dengan kedua telapak tangan terkepal di sisi tubuh.
"Makanya kamu mati-matian latihan tiap hari?"
Cinta mengangguk dalam. Sebenarnya, sudah berkali-kali Cinta ingin mencoba merajuk pada mamanya untuk diperbolehkan ikut kursus memanah di luar. Namun setelah dipikir-pikir lagi, Cinta tidak tega jika mamanya harus mengeluarkan uang lebih untuk hal-hal di luar keperluan sekolahnya. Apalagi mengingat mamanya hanya mengandalkan penjualan brownies sebagai mata pencaharian.
"Kebanyakan latihan nggak baik, Ta," ujar Ezra mengingatkan.
Sejak kelas sepuluh sampai sekarang, Ezra sudah sering memperhatikan Cinta. Gadis itu berlatih lebih sering ketimbang anggota klub panahan yang lain. Bahkan ketika Cinta belum bisa menguasai panahan indoor dengan jarak 18 meter, gadis itu tak jarang menggunakan lapangan khusus klub panahan untuk berlatih seorang diri. Ezra kira setidaknya Cinta akan merasa bangga setelah menaklukan medan indoor tersebut. Tenyata pikirannya salah. Tak lama setelah Cinta berhasil terus-menerus mendapat poin sempurna di permainan indoor-nya, ia segera beralih dan menetapkan lawan baru, yakni lapangan outdoor berjarak 30 meter yang letaknya bersebelahan dengan lapangan sepak bola.
"Kak Puji juga sering bilang kalau latihan itu ada porsinya, 'kan? Harus seimbang. Jangan kurang, tapi jangan juga berlebihan." Ezra masih saja mencoba mengeluarkan semua yang ada dalam kepalanya. Tidak sadar kalau gadis di depannya sudah mulai bosan dengan ocehannya.
Memanah dirasa sulit bagi Cinta belakangan ini. Kegagalan yang terus didapatnya di jarak 30 meter, sering membuatnya kembali berlatih di lapangan indoor; jarak 18 meter yang tadinya sudah ia kuasai. Entah karena sudah terlalu lelah atau memang semangat berkurang karena terus-terusan gagal menguasai medan outdoor, permainan panahan Cinta di indoor pun malah berubah menjadi buruk. Poin sempurna yang sering didapatnya kini tak lagi singgah; membuat Cinta semakin depresi.
Kata-kata almarhum papanya selalu teringat tiap kali Cinta gagal mendapat poin sempurna. "Setiap kegagalan adalah proses yang akan membawamu pada keberhasilan. Asal tidak menyerah dan berputus asa, kamu pasti akan menemukan jalan untuk menang." Cinta percaya pada apa yang dikatakan oleh papanya itu. Namun semakin lama, semakin sering mencecap kegagalan, kata-kata dari papanya—yang selama ini selalu menjadi penyemangat—malah membuat dada Cinta terasa sesak. Entah sejak kapan kata-kata penyemangat itu berubah menjadi sebuah beban berat.
Cinta dan Ezra sudah selesai menempatkan semua perlengkapan memanahnya di ruang klub. Chest guard, arm guard, dan finger tab yang sampai tadi melekat di tubuh Cinta pun sudah ditaruhnya ke tempat semula.
"Ara mana?" tanya Ezra. Sepertinya ia baru sadar kalau sejak tadi Cinta berlatih sendiri tanpa ditemani sahabat baiknya.
"Pulang duluan," jawab Cinta sembari meregangkan otot-otot tubuhnya. "Padahal udah aku suruh dia buat nemenin aku latihan. Tapi dia malah kabur. Malah katanya, dia udah capek lihat aku yang sama sekali nggak ada kemajuan. Nyebelin banget, 'kan?" sungut Cinta dengan bibir mengerucut.
Ezra tertawa. "Ara emang keras. Tapi aku yakin dia nggak bermaksud bilang begitu."
"Kamu mau bilang kalau omongannya itu adalah bentuk dukungan?" Cinta memicingkan mata. Kedua lengannya pun ia lipat di dada seraya menunjukkan sikap menantang.
Ezra mengangkat bahu. "Tapi dia emang begitu, 'kan? 'Ara itu suka nutupin perhatiannya sama sikap ketus,' itu yang pernah kamu bilang ke aku."
Memang benar. Cinta akui pernah mengatakannya. Dafira Pratista atau yang sering orang-orang panggil "Ara", memang terkenal sebagai perempuan tomboi yang kasar. Namun di balik sikapnya yang tak menyenangkan itu, tersimpan sebuah perhatian yang sangat besar. Terutama pada orang-orang terdekatnya.
Cinta menggendong tasnya. Latihannya hari ini sudah selesai. Dia akan kembali lagi Sabtu nanti. Di saat sekolah libur dan digantikan oleh kegiatan ekstrakurikuler.
"Kamu mau pulang pake itu?" Ezra menatap Cinta skeptis. Tak ada tanda-tanda gadis di hadapannya akan berganti pakaian sebelum pulang.
"Kenapa?" Gantian Cinta bertanya.
Ezra menggeleng; raut wajahnya meringis. Pakaian olahraga sekolahnya memiliki desain yang tak biasa, alias aneh. Belum lagi warnanya yang tua dan terlihat pudar. Malas sekali kalau harus mengenakannya di luar sekolah. Apalagi kalau sampai bertemu siswa dari sekolah lain. Memalukan.
"Kita harus bangga sama sekolah kita, Zra," tegas Cinta.
Ezra semakin menatap skeptis gadis mungil di hadapannya. "Bukan karena bangga. Bilang aja kalau kamu males ganti. Iya, kan?"
Cinta terkekeh. Itu memang alasan yang paling tepat.
Sehabis latihan sendiri, Cinta memang selalu enggan mengganti pakaian olahraganya dengan seragam sekolah. Malas. Lagi pula, ganti di ruang klub tidak aman. Siapa saja bisa masuk ke sana. Memang, ruangannya bisa dikunci dari dalam. Namun tetap saja tak lantas membuat Cinta merasa tenang. Lain lagi ceritanya jika berganti di toilet. Meskipun aman, hampir tak ada siswi yang ke sana pada jam-jam seperti ini. Rumor yang mengatakan bahwa toilet wanita itu angker, membuat para siswi enggan pergi ke sana di waktu sepi.
Biasanya, Cinta menggunakan jaket sebagai penutup baju olahraganya. Namun karena beberapa hari ini cuacanya begitu panas, membuatnya enggan membawa benda "tak berguna". Benda yang hanya akan merepotkan kedua tangannya karena tak terpakai.
"Kamu tunggu di depan gerbang aja. Aku ngambil motor dulu. Aku anterin kamu pulang," kata Ezra yang sudah bersiap-siap mengayunkan langkah ke pelataran parkir.
"Nggak usah, Zra," cegah Cinta. "Aku pulang naik angkot aja."
"Naik angkot? Yakin? Di jam bubaran kantor kayak gini?" cecar Ezra seraya menaikkan sebelah alis matanya.
Cinta mengangguk mantap.
"Angkot pada penuh, Ta. Kalaupun dapet, ntar kamu malah kemaleman nyampe rumah." Ezra menatap Cinta penuh cemas. Sayangnya, Cinta malah membalas kecemasannya dengan senyum lebar.
"Nggak apa-apa. Aku pasti dapet angkot. Aku juga nggak bakalan pulang kemaleman," Cinta bersikukuh.
"Ta—"
"Nggak apa-apa, Zra. Percaya, deh."
Mata bulat Cinta yang semakin melebar menandakan bahwa ia benar-benar yakin dengan keputusannya. Kalau sudah begitu, mau tak mau Ezra harus mengalah. Ia tak akan mungkin bisa memaksa Cinta. Jika Cinta sudah berkehendak, maka itulah yang akan gadis itu lakukan. Ezra tahu pasti hal itu.
"Ya udah," desah Ezra. "Tapi kamu hati-hati, ya!"
Cinta mengangguk lagi. "Pasti," katanya. "Aku langsung ke depan, ya."
Kali ini Ezra yang mengangguk. Rasa khawatir masih tak kunjung hilang, tapi Ezra tak bisa berbuat apa-apa. Daripada dianggap bawel dan dibenci oleh Cinta, Ezra lebih memilih menuruti kemauannya. Lagi pula, akan ada saatnya di mana Ezra bisa menempatkan Cinta setiap hari di boncengan motornya. Hanya tinggal menunggu saat yang tepat hingga ia bisa menyatakan perasaannya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments