“Tunggu sebentar.” Jose memutari pilar, berusaha melepas simpul tali tambang yang digunakan untuk mengikat Nolan. “Simpulnya keras sekali! Hei, siapa pun! Bantu aku melepaskan ini!”
Para pekerja saling pandang, kemudian menatap Marco, menunggu perintah. Pria tua itu melesakkan fedoranya makin dalam ke kepala. Matanya kembali menemukan mata biru Nolan.
“Apa yang kau lakukan di rumah Keluarga Argent? Kau mengendap-endap masuk ke pondok pengurus kuda. Apa yang kau cari?”
“Aku tidak masuk ke pondok siapa pun!” seru Nolan. “Aku bukan pencuri!”
“Bukan dia yang kulihat di pondok, kan sudah kubilang!” Jose ikut berseru dari belakang pilar. “Hei, apa kalian tidak ada yang punya telinga? Bantu aku membuka simpul ini! Siapa, sih yang membuat simpul sekacau ini!?”
“Tidak akan ada yang membantu Jose sampai aku memerintahkan,” titah Marco. Ia masih menatap Nolan lekat-lekat. “Sedang apa kau di pondok Higgins?”
“Siapa itu Higgins? Aku tidak tahu!” Nolan menggerak-gerakkan kakinya dengan gelisah, seperti cacing. “Aku tidak tahu! Aku ke sini untuk bertemu Jose!”
“Tuan Argent,” ralat Marco tajam.
“Apanya? Namaku Nolan!” bentak Nolan, tidak tahu bahwa dirinya sedang diralat. “Aku bukan tuan!”
“Tentu saja,” ejek Marco. “Aku bisa melihatnya.”
Nolan melotot. Ia menoleh ke samping, berteriak pada Jose dengan kesal, “Sudah atau belum!?”
“Melihat dari caranya bicara, dia pasti datang dari daerah paling kumuh di Bjork. Makan dari sisa sampah.”
Ucapan Marco barusan sangat merendahkan, membuat Nolan naik pitam dan menyepak tanah sekali lagi, membuat gumpalan kotoran mengenai kaki Marco.
Pria itu menunduk pada celana hitamnya yang kotor, lalu memerintahkan, “Ikat juga kakinya, kurung dia di sini sampai menangis, lalu kembali cari si penyusup!”
***
“Paman tidak bisa melakukan itu padanya.” Jose mengusap wajahnya dengan gelisah. “Ini sudah masuk kategori kriminal!”
“Tidak." Marco menggeleng dari balik meja. Mereka berdua kini ada di dalam pondok Higgins. Marco ingin melihat apa kira-kira yang diinginkan oleh penyusup itu di pondok pengurus kuda. “Ingat apa yang kubilang tentang membantahku di depan para pelayan? Kau mempermalukanku.”
“Aku tidak akan mempermalukan siapa pun dengan membebaskan orang yang tidak bersalah!” Jose menukas.
“Tidak, kau mempermalukan keluarga kita dengan mematuhi apa yang diperintahkan oleh orang lain.” Marco menaruh kedua sikunya di atas meja, menautkan jari-jarinya sehingga membentuk piramid. “Kau mempermalukan nama Argent dengan menggoyangkan ekor seperti anjing ketika orang lain membentakmu. Di atas semua itu, dia cuma anak kecil dari keluarga kumuh.”
Jose membuka mulut untuk membantah, tetapi kemudian menutupnya kembali. “Jadi itu?” tanyanya, hampir berseru. “Jadi itu yang membuat Paman mengikatnya di pilar gudang?! Kalau begitu harusnya Paman menghukumku, bukan dia!”
“Kau keponakanku, dia bukan,” Marco menyahut santai. “Dia berkata kasar pada keluarga kita, di depan wajahku, dan kau tidak merasa itu merupakan penghinaan?”
“Ya Tuhan, Paman! Dia diikat ke pilar dan dipukul, juga ditampar! Kalau Paman pikir ada yang bisa tetap sopan dalam keadaan seperti itu, Paman pasti sudah gila!”
“Pertanyaan paling inti adalah, untuk apa dia di tanah kita? Malam-malam? Setelah jam malam yang ditetapkan kepolisian Bjork? Kalau menurutmu tidak aneh ada seorang anak jalan-jalan sendirian di kawasan orang lain, dalam kegelapan, dan tidak mau mengatakan niat sebenarnya, kau pasti sudah gila.”
Jose terdiam. Ia menatap ke sekeliling ruangan. Pondok Higgins bahkan lebih sempit daripada kamarnya. Keseluruhan ruang dibangun dengan kombinasi bata warna putih dan kayu merah. Atapnya juga dari kayu. Pondok itu hanya terdiri dari satu ruang tamu yang tersambung langsung ke dapur, serta dua buah pintu yang menuju ke kamar tidur dan kamar kecil. Karena Marco dan Jose memutuskan menunggu para pekerja di sini, penerangan dalam ruangan ditambah sehingga pondok itu jadi terang benderang. Tungku perapian juga dinyalakan, api yang berkobar di sana mengirimkan udara hangat pada dua tubuh yang menunggu di ruang tamu. Di depan pintu ada tiga orang pekerja laki-laki yang berjaga, kalau-kalau dua majikan di dalam pondok membutuhkan sesuatu.
Jose membuang pandangan ke belakang, ke arah dapur. Ada jendela kayu yang terbuka, mengarah langsung pada gudang jerami tempat Nolan ditahan. Mengingat anak itu membuat Jose kembali memikirkan saat ia menyeberangi jembatan kayu, terperosok ke dalam lubang tanah, serta dilempari lumpur serta mendengar suara tawa.
Mungkin Nolan tahu sesuatu, pikirnya. Mungkin Nolan ingin mengatakan sesuatu yang penting.
Jose menimbang-nimbang dalam hati, memikirkan apakah sebaiknya ia perlu memberi tahu pamannya soal kunjungan ke sisi lain Bjork atau tidak. Kalau pamannya tahu, yang akan terjadi sudah jelas. Ia akan dimarahi, diejek, diberi ceramah, mungkin sesuatu semacam itu. Hal-hal menjengkelkan yang sudah pasti akan membuat Jose kabur makin sering dari pelajaran privat.
Namun bisa juga yang terjadi lebih buruk. Marco adalah orang yang posesif pada keluarganya. Mungkin saja pamannya akan berpikir bahwa ia menjalin pertemanan dari orang yang salah, lalu melakukan sesuatu yang buruk pada Nolan. Jose menggeleng pelan, memutuskan untuk tidak menceritakan apa pun pada pamannya.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Marco ketika melihat gelengannya.
“Apa?” balas Jose cepat. Jantungnya berdegup kencang barusan. Kadang-kadang ia merasa pamannya bisa membaca pikiran hanya dengan memberi tatapan yang cukup lama.
“Aku tanya, apa yang kau pikirkan?”
“Kenapa? Apa aku bahkan tidak bisa bebas memikirkan sesuatu?” Jose mengerutkan kening, sudah lama bosan pada sifat pamannya yang terlalu mengatur. “Paman sendiri, apa yang Paman pikirkan?”
“Bukan hal yang pantas kau tahu.” Marco memamerkan selarik senyum miring, jenis senyum yang bisa membuat siapa pun yang melihatnya jadi merinding seketika.
Jose menggigil, tetapi meyakinkan diri bahwa itu berasal dari hawa dingin yang menggigit. “Kalau Paman mau tahu untuk apa Nolan ke sini, biar aku tanyakan saja.”
“Dia tidak mau menjawab tadi, kenapa dia harus menjawab sekarang?”
“Dia ingin bertemu denganku. Sudah pasti dia akan menjawabku. Dia tamuku dan Paman tidak berhak memperlakukannya seperti itu!” Jose tahu kalimat itu terlambat dia lontarkan, tetapi lebih baik daripada tidak pernah sama sekali.
Pamannya menghela napas. “Dia berada di tanahku. Tentu saja aku berhak memperlakukannya seperti apa pun. Kita tidak punya kewajiban untuk bermurah hati pada gelandangan yang masuk ke dalam wilayah kita dengan diam-diam, saat malam hari.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 267 Episodes
Comments
Jatmiko
Kalau mau tau, kenapa anak itu tidak dilepas dulu lalu diberi kesempatan berbicara ?!
Nolan dalam keadaan panik, tentu saja akan mengeluarkan semua jurus pertahanannya.
Arogansi tidak selalu bisa menyelesaikan masalah, Paman Marco.
2023-03-28
1
AK.ENT
si Marco pengen dipanggang ini😡😡😡
2021-02-09
0
Iklima kasi💕
diselidiki dulu,cari tau dulu tp tolong deh jangan kasar sm nolan kasian dia masi kecil dikasarin gitu mana perempuan lagi😲
2020-09-04
4