“Dari sebelah sana ada ibuku, kakek, nenek, adik-adikku, lalu bibi.”
“Kau tidak menyebut nama?” tanya Jose heran mendengar perkenalan yang asal jadi itu. Ia mengikuti anak laki-laki—yang ternyata perempuan— tadi ke rumahnya di kawasan perumahan kumuh, diberi handuk untuk membersihkan lumpur dari wajahnya dan diberi tempat istimewa dekat tungku pemanas. Mereka saling memperkenalkan diri sambil menyesap pelan-pelan teh yang disajikan.
“Memangnya nama itu penting?” balas anak perempuan itu ketus.
“Penting. Aku jadi tahu harus memanggilmu apa.” Jose menjawab. “Namaku Argent. Jose Argent.”
“Nolan,” ucap anak yang diajak bicara. Sikapnya ogah-ogahan.
“Nolan nama anak lelaki,” Jose menukas. “Nama aslimu?”
“Nolan bisa untuk nama anak perempuan dan namaku memang Nolan!”
“Namanya memang Nolan,” ibu Nolan memberi senyum tipis. Wanita itu kurus, dadanya rata, pakaiannya tipis dan longgar, terlihat menggantung di tubuhnya. Namun ada kecerdasan memancar di bola mata itu.
Jose mengangguk sopan. "Maafkan saya. Terima kasih sudah mengizinkan saya berteduh di rumah ini."
“Kau harus bayar,” ucap Nolan ketus.
“Untuk gubuk kecil ini?” Jose bertanya polos. Ia segera meminta maaf dengan malu.
“Gubuk kecil ini melindungimu dari kabut!” Nolan memberi pelototan tajam. “Bersyukurlah!”
“Tentu, maafkan aku. Oh ya, soal kabut. Kabut itu selalu datang dengan cepat?”
“Lebih cepat dari kakimu! Dan bahaya berjalan dalam kabut!” Nolan menyesap minuman di tangannya. Mata birunya sibuk memperhatikan kedua adiknya yang sedang mendebatkan sesuatu tentang kabut. “Aku tidak pernah melihat ada orang dalam kabut sebelumnya.”
Jose menangkap senyuman Nolan, dan ia merasa jadi lebih nyaman. Seperti ada udara penerimaan, meski ia tahu bahwa senyuman itu bukan untuknya. “Aku sedang mencari seseorang. Kau sendiri sedang apa di tengah kabut?”
“Pulang! Aku mau pulang saat kau menabrakku!” sembur Nolan.
Jose tertawa. “Maaf soal itu. Aku kan sudah minta maaf berkali-kali.”
Nolan menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. “Siapa sih yang kau cari itu? Cewek?”
“Laki-laki. Namanya Sir William Bannet,” ungkap Jose jujur. Ia memperhatikan bagaimana orang-orang dalam rumah kecil itu saling berpandangan, seperti bertukar pertanyaan secara telepati. Mereka kelihatan tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. "Orangnya tinggi, mengenakan mantel hitam dan topi tinggi hitam, rambutnya pirang emas."
“Tidak tahu, tidak pernah dengar.” Nolan menggeleng.
“Dan aku terperosok dalam lubang!”
“Lubang apa sebenarnya?” kali ini Nolan bertanya penasaran. “Siang tadi aku melewati jembatan dan tidak ada lubang apa pun di sana.”
“Ada.” Jose mengangguk. “Aku jatuh ke dalam sana. Dalamnya setengah kali tinggiku. Lalu ada suara orang tertawa dan wajahku dilempar lumpur. Benar-benar tidak sopan.”
Nolan melongo, begitu pula semua orang dalam rumah. “Suara tawa?”
“Ya,” Jose mengangguk.
“Laki-laki atau perempuan?”
Pertanyaan Nolan mengundang kecurigaan dari Jose. Dia menatap perempuan itu dengan serius, kemudian bertanya, “Laki-laki, kurasa. Tapi aku tidak terlalu yakin. Suaranya aneh. Ada apa?”
Seketika gumaman-gumaman pelan memenuhi ruangan, sehingga Jose terpaksa harus mengulang pertanyaannya, “Ada apa dengan itu? Ada masalah?”
“Di Bjork sering ada manusia hilang,” Nolan memulai. Ia menelan ludah. “Bjork berarti Selatan dan Utara. Di sini juga ada kisah-kisah kehilangan. Kami yakin pasti yang menyebabkan adalah pihak yang sama.”
Jose mengerjap. Ia tidak pernah tahu bahwa di Bjork selatan juga ada yang hilang. Pamannya tidak pernah memberi tahu tentang hal ini. Padahal ternyata ada. Ada korban lain dan dari wilayah lain.
Jose menghela napas. “Lalu?”
“Hilangnya selalu dalam kabut, dan katanya ada suara tawa di dalam kabut,” Nolan berkata ngeri. “Tawa mistis yang terdengar selalu jadi awal dari hilangnya satu dari kami.”
“Kenapa kalian tidak lapor polisi?” tanya Jose cepat. “Apa kalian sudah lapor?”
Nolan memutar bola matanya dengan kesal, muak pada Jose yang dinilainya sangat naif. “Polisi mana peduli soal kami? Melapor pun tidak akan dicatat. Kami ini bukan orang-orang kalangan atas sepertimu. Kami cuma bisa saling memperingatkan. Kalian punya polisi patroli sebagai penjaga, tapi kami punya kabut. Saat kabut turun, kami harus segera pulang dan mengunci pintu serta jendela rapat-rapat. Kami tidak mau dibawa pergi oleh kabut.”
Jose baru pertama kali berkunjung ke Selatan, jadi ini pengalaman baru baginya. Ia mengangguk penuh ketertarikan. “Jadi yang melempar tanah ke wajahku itu memang kau?”
Nolan menggeram pelan. “Tidak ada yang main lempar lumpur di sini! Semua orang sibuk mempertahankan hidupnya masing-masing!”
“Lalu siapa?”
“Apa penting?” ketus Nolan lagi. “Saat kabut sudah hilang aku minta kau segera pergi.”
“Tenang saja, aku pasti pergi tanpa kau suruh.” Jose menukas, agak tersinggung. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah, merasakan kehangatan dari tiap sudutnya. Ada yang berambut pirang di ruangan itu—entah kakak atau paman Nolan, Jose tidak terlalu ingat. Tetapi rambut pirang itu mengingatkannya kembali pada Sir William serta apa yang mau dia lakukan sebenarnya.
Ia harusnya ada di Gedung Diskusi sekarang, bersama Dave, mendebat Sir William. Tapi sial baginya Dave terlambat datang, dan Sir William malah pergi ke dunia penuh kabut. Jose berpikir sekali lagi, kali ini lebih dalam.
Jangan-jangan yang melemparku memang dia. Dia tahu aku mengikutinya dan dia mau mempermainkanku. Dasar si brengsek itu!
Jose ingat bagaimana lelaki itu menatapnya ketika di pesta tempo lalu. Tatapan penuh antipati. Ingatan itu membuatnya terbakar dalam amarah, dan ia jadi ingin kabut cepat-cepat pergi dari sini supaya bisa kembali ke seberang jembatan.
Ketika akhirnya kabut sudah hilang, hari terlanjur malam. Jose pulang dikawal polisi patroli yang kebetulan melihatnya berjalan ke arah Gedung Diskusi. Rupanya Marco tidak main-main dengan ancamannya tadi. Pamannya benar-benar mengerahkan polisi patroli untuk menyeret Jose pulang tidak pulang tepat waktu.
Jose merasa malu dan kesal, tetapi setengahnya juga lega. Malam begitu dingin, dan sudut-sudut Bjork di malam hari mengirim denyar yang tidak mengenakkan.
Ia kembali teringat pada kunjungannya ke Selatan.
Ada yang aneh pada lubang itu. Jose tidak menemukannya saat memeriksa sekitar jembatan lagi ketika Nolan dan dua saudaranya mengantar Jose ke jembatan. Ia sudah berjalan ke sana-kemari, sampai membuat Nolan jengkel, tetapi tidak ada lubang yang ia temukan. Seperti raib seketika atau ada yang menimbunnya.
Karena hari sudah gelap dan Nolan sudah meninggalkannya karena bosan, Jose akhirnya berjalan kembali ke pusat kota Bjork bagian utara. Ia baru saja mau melihat apakah masih ada diskusi di Gedung Diskusi ketika dua orang polisi patroli menghampirinya dan menyuruhnya pulang atas perintah Marco.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 267 Episodes
Comments
Jatmiko
Mungkin kabut itu memberikan efek Halusinasi.
Atau memang ada hal hal ghaib yang tidak bisa dijelaskan dengan nalar ?!
2023-03-27
0
Reksa Nanta
Kabut
Orang Hilang
Dracula
Tampaknya saling berhubungan
2023-03-25
0
Maria Modesta
ini kali ke 2 aku bca novel ini.. tdk bosan 🥰
2022-05-04
0